Kalau kau berada di posisiku saat ini, menontoni Hancya yang tegak berdiri dengan kedua tangan terangkat dan dikepalkan penuh semangat, berwajah cerah dengan seringai puas terkembang lebar-lebar, serta terbahak-bahak seperti raja iblis murahan yang baru menguasai dunia ... kau bakal menebak pemuda itu baru memenangi undian yang barangkali membuatnya layak melamar Putri Lenavern.
Eh, pengandaianku ngawur sekali? Atau, baiklah, apa pun itu yang layak disebut menangkap durian jatuh dengan kedua tangan yang kemudian masih utuh.
Tapi tidak.
“Enduruvo!” sorak Hancya sembari berdansa dengan beberapa lembar kertas laporan di tangan. Matanya berkilat-kilat dan tangannya seakan hendak menggebrak meja—beserta teko teh di atasnya yang baru kubawakan—ketika berucap menggebu kepadaku, “Kita sudah mendapatkan mereka, Narai!”
Sekilas info, enduruvo adalah istilah khas kampung halaman Hancya, yang kurang lebih artinya sama dengan bingo.
“Kita?” Aku berjaga-jaga melindungi teko teh di atas meja dengan defensif di tengah kebingunganku. “Mereka?”
“Mereka!” ulangnya tergelak. “Orang-orang sudah memakan umpannya! Rumor miring mengenai Raharnias yang memberi aba-aba pecah perang dengan beraliansi lewat pertunangan kemarin!”
Ehm, ya ... tenang saja, aku juga melongo, kok. Ternyata, Pramu satu ini bersorak puas karena merayakan rumor jelek yang tersebar mengenai kerajaannya.
“Duh, bukan berarti aku senang Putri Lena dituduh jadi dalang perang, yang berkebalikan ironis sekali dengan kenyataannya,” dengus Hancya setelah membaca ekspresiku—mungkin satu paragraf tadi terlalu kentara mengisi muka kosongku. “Aku menertawai mereka yang memakan umpan kita, tahu? Kau seharusnya tertawalah juga, Narai.”
Mengesampingkan ajakan Hancya untuk sinting bersama, aku mengerti lucunya membayangkan orang-orang yang kalau di zaman modern sebutannya adalah netizen itu menjadi ikan dan secara harfiah memakan umpan. Tapi masih naif untuk senang sekarang. “Lumuxin?” desisku rendah, melempar tebakan.
Hancya paham bahwa aku merujuk pada biang dari rumor terbalik seratus delapan puluh derajat itu, dan dia angkat bahu. Tawanya terkatup di balik seringai miringnya. Ekspresi yang selalu dipasangnya ketika menghadapi situasi yang ... kompleks. Karena dia malas memicu emosi orang lain gara-gara salah berekspresi.
Tapi dalam novel, mau semiring apa pun seringainya, mata Hancya tidak pernah berbohong.
Dan sekarang, aku tahu bahwa mata Pramu mesin informasi itu mencerminkan perhitungan untuk biang rumor murahan yang menyerang tuan putrinya.
“Tidak. Masih semuanya. Ini bisa siapa saja.”
***
“Tenang saja,” ujarku. Kemudian aku menundukkan kepala untuk berbisik ke telinga Manda, sembari tetap menyejajari langkahnya. “Tersebarnya rumor miring ini sama seperti alur novel yang kuingat. Mungkin, ini adalah salah satu konflik yang harus kita hadapi.”
Kudapati Manda sempat tersentak kecil dan langkahnya nyaris berhenti, tapi baguslah tidak jadi. Menarik kepala sesegera mungkin setelah berbisik pada Manda ternyata adalah prosedur standar keamanan diri.
“Begitu, ya,” jawab Manda dengan anggukan samar. Fokus di mata merah Putri Lenavern kelihatan tenggelam ke dalam benaknya sendiri, memelankan langkahnya.
Aku bisa saja memburunya bahwa tidak ada alasan berleha-leha di lorong yang lengang pada penghujung siang, tapi biarlah. Lagipula, dia cuma mau menengok perpustakaan tua yang beberapa kali kusebutkan. Mungkin tertarik dengan koleksi lama serupa seri Huriah, acuan sejarah favorit Putri Lenavern. Rasanya percuma saja memberitahunya bahwa perpustakaan itu masih setengah jalan dalam proses poles ulangnya, agar layak dikunjungi sang putri.
“Hancya bilang, semua kerajaan masih tersangka,” celetuk Manda, dengan volume suara yang masih aman. Gadis itu menatapku di sudut mata tanpa menolehkan kepala. “Tapi apa kau punya opini spesifik, Rav—Narai?”
“Maaf karena aku tidak ingat fakta spesifik dalam novelnya,” ringisku dengan rasa bersalah akan kelupaan yang meyakinkan, biar kata-kataku tidak melenceng jadi penghinaan. “Aku sendiri belum. Masih terlalu awal. Bukannya itulah kenapa hari ini para Pramu lain berpencar keluar? Mengumpulkan petunjuk. Syukur-syukur bukti.”
Berhenti.
Jantungku seakan terlompat lewat dari satu detaknya ketika mendengar sepatah kata itu. Tidak, bukan mendengar—kudapati diriku sudah mematung di tempat, kedua kaki terpasak di ubin lorong yang berkilat oleh cahaya matahari keemasan. Yang barusan itu ... anggaplah sekujur anggota tubuh bisa bicara, itulah pengandaian paling dekat yang bisa kukatakan.
Di luar kesadaranku, tubuhku sudah patuh untuk berhenti.
Waspada.
“Narai...?” panggil Manda, ikut berhenti beberapa langkah di depan.
Awasi sekeliling. Dengarkan baik-baik.
Kudapati diriku menolehkan kepala. Kanan, lalu kiri. Tak ada apa-apa selain kedua sisi lorong yang terbuka, menghadap hamparan lapangan beralas rerumputan dan deretan pepohonan di tepiannya, lalu pilar-pilar berlilitkan sulur keperakan. Telingaku pun menyimak dengan fokus, gemerisik angin ... hening dari minimnya aktivitas luar ruangan di siang hari.
Tidak ada apa-apa. Tapi suara yang bahkan bukan suara itu keras kepala.
Jangan lengah.
“Narai, ada apa?” Manda memanggil sekali lagi. Aku mendesis dengan telunjuk teracung sebagai isyarat supaya dia tidak berisik dulu. Kuturuti sesuatu-yang-mirip-suara itu untuk menyelami fokus sekali lagi.
Manda melangkah mendekat. Rautnya berkecamuk cemas, tertular gelagatku yang mendadak bertindak seperti radar. “Hei, katakanlah kalau ada sesuatu!” bisiknya tertahan.
Aku bisa membacanya gelisah dengan ketidakpastian, tapi begitu pun diriku. Kugali nihil yang kudapatkan, meyakini ada yang tak sengaja kulewatkan.
“Lebih baik pikirkan saat kita sudah sampai di perpustakaan, Narai!” desak Manda, kali ini sembari mencubit kain pakaian dari sebelah lenganku. Begitu aku ikut melangkah, dia melepaskan tangannya. Meski pikiranku masih ketinggalan pada instruksi yang merasuki tadi, desakan Manda tidak memberiku pilihan.
Lalu aku teringat satu arah yang belum kuperiksa dengan mata. Kuhentikan langkah, untuk menoleh dengan setengah berputar dalam satu sentakan ke belakang—
Nihil. Cuma ada lorong yang lengang.
TUAN PUTRI.
Seketika peringatan itu menyentak tubuhku dengan sendirinya, aku berbalik dan menemukannya—tuan putri, yang kini adalah Manda.
Bukan itu masalahnya sekarang.
Manda terpaut jarak serentangan tangan di depan. Tampaknya baru berbalik, menghadapku, menyadari aku yang tertinggal tak mengikutinya. Bukan. Di belakangnya, ada sosok yang berkelabat secepat hantu, dengan sesuatu berkilat pantulan cahaya matahari—
TUAN PUTRI.
Aku tidak akan sempat. Tidak kalau berlari begitu saja. Insting yang begitu tajam menggerakkan tanganku pada belati berbilah setengah jengkal yang tersembunyi di selipan pergelangan lengan pakaian, dan melemparkannya. Tidak ada detik yang kupunya untuk membidik, dan aku memang tidak membutuhkannya.
Gerak sosok itu terhambat. Dia tersentak. Kaget. Tidak menyangka aku berani melempar senjata tajam begitu dekat dengan sang putri. Tentu saja. Aku tahu sasarannya adalah menyandera Manda dalam sekejap mata, tapi dia kalah cepat.
Jarak serentangan tangan yang terbentang sudah kupangkas, kemudian aku sungguhan merentangkan tangan untuk meraup bahu Manda. Menjauhkan Manda dari jangkauan si penyusup. Tapi momentum yang kupilih berimbas pada posisiku yang terbuka; aku membelakangi si penyusup, dan sesuatu terdengar menebas angin.
Dari belakang, bilah tajam itu datang.
Lakukan.
Semua terjadi dalam sekejap. Genggaman tanganku mengerat pada bahu Manda, membawanya berputar penuh bagai gerakan dansa sembari menunduk rendah, meloloskan senjata si penyusup melibas udara di atas kepala. Tidak berhenti, aku mengganti tumpuan kaki sekaligus keseimbangan dengan tempo terbaik, merentangkan dorongan pada genggamanku yang berpindah ke lengan Manda, selagi aku lanjut mengayunkan tendangan berputar yang menghantam telak pangkal leher si penyusup.
Kuulangi, semua itu terjadi dalam sekejap yang sungguhan sekejap—sampai-sampai tamu tak diundang itu tak sempat bereaksi. Ditambah lagi, cakupan momentum Narai yang tak terikat aliran bela diri apa pun ini selalu melampaui prediksi. Yah, seperti tadi.
Ini belum selesai. Aku menjejak untuk menyepak kedua kaki si penyusup, tapi kali ini dia berhasil bereaksi dengan lompat menghindar. Saat itulah aku bisa menangkap jelas keseluruhan penampilannya, dan mendapatkan jawaban kenapa di awal kemunculannya benakku refleks melabelinya sebagai hantu—pakaiannya berwarna bak bias pucat dan pudar transparan, jauh dari serba hitam alias citra penyusup kebanyakan. Modelnya seperti jubah yang kelihatan agak kaku, menyamarkan bentuk serta tinggi badannya.
Lalu, separuh wajah bagian bawahnya dibekap kain penutup yang tersambung dengan tudung kepalanya. Menyisakan sepasang mata yang menatapku nyalang. Seakan-akan sedang menandaiku dengan tanda silang warna merah terang.
Kau tahu apa artinya itu, kan?
Seketika, dia menerjang. []▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎
Instagram: (at)Azza_Fatime
Karyakarsa: AzzaFatime
(*μ_μ)♪
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Staring Happy Ending
FantasySudah susah payah dapat hadiah kehidupan kedua setelah kehidupan awalnya yang payah, kenapa Raven tanggung sekali cuma menjadi seorang tokoh figuran di dunia novel fantasi hidden gem favoritnya? Baiklah, bukan masalah. Tapi saat tokoh utama yang d...