34 | Sang Manipulator

17 4 1
                                    

Kurasa kita sepakat bahwa itu adalah pernyataan perang paling gamblang yang pernah ada.

Kuyakin bahkan Seodrako Hauridea sendiri sepakat, tapi apa baginya itu sudah cukup spektakuler sebagai sebuah drama? Hei, jangan remehkan pangeran dari negeri yang berjodoh dengan seni teater itu sendiri.

Maka, yang menyusul kemudian adalah kelanjutan dialog dari seringai angkuh Seo bernada begitu merdu, "Sekarang, aku mempersilakan kalian semua untuk angkat kaki dari kerajaanku."

Nah, itu baru drama.

"Apa—"

Aku memejam. Percuma. Seruan entah dari siapa tepatnya itu seketika terbungkam. Kubuka mataku kembali, untuk menatap pemandangan yang sama seperti yang telah berkali-kali kubaca lewat barisan narasi. Aku bahkan lupa kapan tepatnya kedua kakiku berselaras irama dengan Embuni—tapi kali ini bukan untuk berdansa, melainkan berlari; menghampiri di mana Lenavern dan Leopold berada. Hancya, masih mencengkeram erat panah modifikasinya sepasang dengan sebuah anak panah, pun bergabung. Lengkap dan genap sudah Raharnias menjadi satu rombongan.

Pemandangan dengan permainan musik latar yang telah berhenti. Semua dansa, pertunjukan, dan estetika yang menghiasi aula pesta juga telah undur diri. Tapi aula pesta masih terisi. Tamu-tamu lain dalam gaun bergradasi, setelan berselendang, juga para pelayan dalam seragam; mereka ada, baik-baik saja, kompak menghadap kami—semuanya.

Tajam menghunjam, setiap mata mereka menyorotkan tatap hina.

Mengusir yang tak lagi diinginkan dari rumah mereka.

Persis seperti titah pangeran kerajaan mereka.

Jelaslah; mereka semua sudah dicekoki propaganda karangan si pangeran sialan yang intinya membuat Raharnias menjadi redflag bagi semua rakyat Hauridea. Hore!

Nah.

Semua orang berpikir bahwa keadaan macam ini tidak akan bisa menjadi lebih buruk lagi. Setidaknya itulah positive thinking otomatis bawah sadar yang tersisa. Langkah demi langkah yang seberat direkatkan lem. Dorongan tak kasat mata yang memaksa tanpa bisa dilawan. Karena inilah dia. Berbalik kembali dengan label kalah di wajah. Karena tidak ada yang bisa kami lakukan, untuk saat ini.

Aku memejam. Sayangnya, aku tahu—bahkan dengan mata tertutup dan tanpa berbalik ke belakang. Ada suara tapak kaki yang bukan langkah-langkah pergi kami. Seseorang yang menuruni pilar batu dengan aman dengan pijakan tersembunyi karena dia sendiri yang mengoordinir renovasi arsitektur tiap tahunnya. Seseorang yang mengoper Oilivea untuk dibaringkan segera pada seorang pelayan, dan meminta sebuah biola sebagai pengganti yang mengisi kedua tangannya.

Permainan musik? Tidak. Pangeran itu punya ide lain untuk mencipta sebuah perpisahan akhir yang berkesan.

Aku tahu bagaimana pangeran itu membongkar biolanya menjadi dua, tepat di tengah-tengah, terbelah vertikal pada senar-senarnya ... sementara sehelai senar lain, satu-satunya yang berbeda dan tersembunyi, merentang lurus dari ujung ke ujung yang baru, sebagai tempat di mana sebatang anak panah dijepitkan di sana.

Membidik.

"Tuan Putri Raharnias. Sayang sekali, aku tidak bisa membiarkanmu pulang tanpa hadiah perpisahan ... atau peringatan."

Persis seperti balas dendam, anak panah itu lepas.

Hancya menyadari paling pertama. Embuni selisih sedikit. Manda sama sekali tidak sadar dengan benaknya yang mengawang seringan gula-gula kapas—

Bagaimana denganku, katamu?

Insting tajam Narai menyentakku berbalik seketika, seri dengan Hancya. Tapi yang satu ini adalah anak panah. Terlalu cepat, terlalu ekstrem. Hal terbaik yang bisa Narai perjuangkan dalam novel asli adalah meneriakkan nama tuan putrinya dengan segenap nada peringatan, dan itu terbelah di tengah-tengah oleh lesat anak panah. Kali ini, sisi sintingku tak akan sempat melompat, atau apa pun itu menyelamatkan Manda.

Stay Staring Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang