18 | Waktu untuk Bermain Kartu

22 5 0
                                    

Dalam satu sentakan, aku membuka mata.

Hasilnya, dunia langsung berdansa di hadapanku. Tidak keren sama sekali dan cuma membuatku tidak tahan sampai harus memejam lagi. Setelah sekian detik menenggelamkan mata di balik kelopak, aku kembali membukanya. Sekarang lebih mending, langit-langit itu tidak kelihatan seperti permadani ajaib—

Langit-langit ... tunggu, sejak kapan aku berbaring?

Selanjutnya, kusadari sesuatu terasa menyesakkan rongga dada. Aku mengira sambil setengah berharap itu adalah seekor kucing yang tidur di sana, tapi salah. Ini gara-gara napasku yang pendek-pendek dan kacau—yang segera kuambil alih menjadi lebih tenang dengan penuh perjuangan.

Sial. Sudah lama sesak macam ini tidak kurasakan. Lebih sialnya lagi, sekalinya kembali, dengan paket lengkap pula—kebas kesadaranku mulai mengungkap perban yang melapisi beberapa potongan tubuh, menguarkan aroma antiseptik bekas pengobatan yang, meski berbeda dengan versi modern, kesannya tetap sama.

Aku tahu pembaringanku ini adalah ranjang di ruang perawatan, teritori Embuni. Dalam novel, Putri Lenavern pernah dibaringkan di sini ... berapa kali, ya. Lagipula, di mana lagi seprai dan selimut tipis bisa terasa senyaman ini? Memang kubilang ini teritori Embuni, tapi kini ruangan ini sepi. Cuma ada meja-meja kayu berlaci banyak menempeli dinding, brankas obat-obatan yang beberapanya tergeletak di atas meja—jenis semacam standar P3K yang tidak butuh pengawasan khusus. Seisi ruangan dipenuhi remang keemasan dari kisi-kisi jendela tinggi. Entah lilin-lilin di wadah lampu ruangan ini baru saja dipadamkan atau mendekati waktunya untuk dinyalakan—ini pagi atau sore hari?

Wah. Hebatnya, pertanyaan itu bisa keluar duluan daripada pertanyaan, apa yang terjadi?

Yah, mungkin karena sebenarnya aku sudah sangat mengerti. Dan itulah yang menambah alasanku untuk lekas bingkas—baru kusibak selimut, sekujur tubuhku berdetak seakan mengklaim punya jantung masing-masing.

Sialan. Mau luka yang mana saja sudah tidak berguna—ini tubuh Narai, tahu, yang terlatih untuk pulih cepat-cepat! Kubentak sisi diriku yang payah, jangan lembek! Dengan kurang ajarnya, dia menyumbat telinga dan meringkuk seperti bola—membuatku limbung kembali ke ranjang di langkah pertama menjejak lantai.

Aku tidak punya waktu kalau sisi sialan itu ogah dibentak. Tanganku terangkat, siap mendapat sengatan sakit meski itu berarti menambah luka baru, selama bisa jadi stimulus agar aku waras—

“Narai!”

Suara pintu terbuka dan panggilan itu datang di waktu bersamaan. Oh, Embuni. Baguslah, aku bisa menurunkan tanganku dan bertanya pertama-tama, “Ini pagi atau sore?”

Embuni muncul sendiri. Dia cekatan menuangkan segelas air putih selagi menghampiri. “Ini sore, kok,” jawabnya lembut. Aku sudah sedikit menduga—soalnya kalau ini pagi, senyum Embuni saat ini bakal menyiratkan kejengkelan horor. “Baik-baik saja? Termasuk ingatan?”

Segelas air putih tandas karena ternyata aku kehausan. Ingatan. Benar, aku harus menjelaskan, tapi—“Putri Lenavern?”

Embuni tersenyum, begitu sejuk menenangkan. “Putri Lena baik-baik saja. Bukankah itu berkat dirimu, Narai?”

Ya ampun. Tenanglah, Embuni, aku peka dengan kodemu yang memintaku cepat bercerita. “Aku berhadapan dengan penyusup. Dia sendirian, dan yang diincarnya adalah Putri Lena. Dia muncul di lorong terbuka dekat lapangan yang sedang sepi, tepat di waktu paling minim aktivitas di dalam istana ... kemungkinan dia sudah menyelidikinya.”

Embuni mengangguk. Mungkin Manda sudah sepotong-sepotong menerangkan, aku semata menggenapkan. “Kami sudah dengar ciri-ciri si penyusup dari Putri Lena, tapi apa kau menangkap sesuatu dari pertarungan kalian?”

Aku berusaha mengingat lebih dalam, tapi kepalaku berdenyut protes. Hanya jejak berupa kelebat cepat nyaris transparan dari sosok itu yang menghantuiku. “Dia satu tingkat di bawah Araistasi.”

“Apa itu kabar bagus atau buruk?”

“Aku tidak tahu, tapi ada sesuatu yang harus kuberikan pada Han,” kataku sembari merogoh saku terdalam, menunjukkan satu-satunya hal bagus yang kudapatkan dari penyusup sialan tadi. “Dia menjatuhkan ini ketika akhirnya Arvvan datang.”

Di atas telapak tanganku, itu adalah benda yang amat familier.

Sekeping roda gerigi bersepuh emas.

“Lumuxin,” desis Embuni. Matanya berkilat hati-hati. “Bukankah ketika kau bersama Araistasi kemarin juga—“

Aku mengangguk. “Entah sungguhan atau jebakan untuk adu domba, pertama-tama akan kuserahkan dulu pada Han. Antara mengkonfrontasi langsung atau memasang umpan jebakan, kita bisa diskusikan nanti. Di mana Putri Lenavern sekarang?”

Tentu, aku tidak benar-benar mengkhawatirkan Manda. Karena cuma Embuni yang kemari menginterogasiku, setidak-tidaknya pasti ada Remikha yang menjaga Manda. Manda sendiri seharusnya tidak bodoh untuk membeberkan hal-hal tidak berguna yang kuminta menjadi rahasia, cuma karena panik sehabis nyaris diculik.

Seharusnya ... kan?

Nah, yang itu mengkhawatirkan, jadi sebaiknya aku tetap mengecek—di samping Narai yang begitu setia kepada Putri Lenavern.

“Oh, kita bisa mengonfrontasi,” celetuk Manda selagi membantuku berdiri. Gadis itu mengulas senyum, tapi aku bisa melihat kegugupan yang berusaha ditipiskannya setara kelembutan. “Maaf, aku hampir lupa memberi tahumu. Besok ... bukan. Lusa, akan diadakan pertemuan ketujuh kerajaan yang bertujuan membahas rumor bahwa Raharnias bersiap memulai perang.”









***








Pertemuan Tujuh Kerajaan adalah sebuah acara yang ... dari namanya saja sudah jelas, kan? Tidak banyak yang perlu kujelaskan. Kerajaan mana saja bisa mengajukan pertemuan, dan persetujuan maupun penolakan akan dibalas kerajaan lain. Mempertimbangkan suara, pertemuan itu diadakan di kerajaan yang paling bersangkutan.

Bersangkutan dengan apa, tanyamu? Apa lagi kalau bukan dengan masalah yang sanggup membuat tujuh kerajaan mau repot-repot bermusyawarah? Kalau tidak ada kecenderungan, alias tujuan pertemuannya umum, Raharnias akan jadi tuan rumah.

Tapi kali ini, Raharnias menjadi tuan rumah karena dinilai sebagai tuan masalah.

Di sisi lain—sisi yang sepertinya cuma diisi aku sendiri—ini sama sekali bukan masalah. Soalnya, memang beginilah alur kelanjutan dari rumor miring Raharnias sebagai penabuh genderang perang. Aku malah bakal lega dengan kurang ajarnya, andai tidak ingat bahwa ubin yang kupijak saat ini adalah lantai ruangan pertemuan.

Kenapa aku ada di sini? Karena tidak mungkin pelayan paling setia sang putri tidak mendampinginya di pertemuan penting macam ini, yang berpotensi menyudutkannya setengah mati—dan aku tidak sendirian. Ada Hancya di sisi lain kursi yang diduduki Manda, yang sosoknya begitu mulus disetrika kerapian sempurna. Aku setengah berfirasat dia memaksudkannya buat mengintimidasi.

Pramu lain bagi tugas. Remikha mengomando semua keamanan istana, tiada lengah—dibantu Araistasi yang mengisi celah. Sedangkan Embuni mengawasi keamanan di antara lalu-lalang yang lebih tersembunyi dalam domestik—mengawasi kemungkinan penyelundupan racun, bom ... atau bahkan penyadap. Andai yang terakhir itu benar ada, Lumuxin akan tertuduh tanpa basa-basi.

Di sisi lain, Pertemuan Tujuh Kerajaan bukan sesuatu yang dilakukan untuk berbasa-basi, ya. Apalagi sebuah pertemuan yang diajukan dan disetujui dalam dua hari. Asal kau cukup berani untuk tidak keterlaluan memikirkannya, apa yang kulakukan saat ini cuma berdiri memihak satu kursi yang berhadapan dijembatani meja melingkar dengan enam kursi lain.

Di sini, aku cuma mendampingi. Aku cuma perlu menggarisbawahi kalimat yang kuingat dari novel Chaos Crown dan mematrinya kepada seseorang yang harus menyuarakannya—dalam dua hari. Belum lagi membangun nyali untuknya yang ... begitulah.

Sekarang, inilah panggung Manda dengan suara Putri Lenavern untuk menyatakannya.

“Kerajaan Raharnias sama sekali tidak memiliki intensitas untuk melakukan peperangan, maka begitu pula untuk tuduhan mempersiapkannya.” Manda mengumumkan lantang, berdiri tegak, menyembunyikan gemetar di ujung-ujung jemarinya dalam kepalan. Panggung ini mengharuskannya berjuang sendirian, tanpa satu pun genggaman menguatkan.

Dan kutahu Manda bisa melakukannya.

“Saya akan membuka, bahwa aliansi di antara Kerajaan Raharnias dan Kerajaan Gaokuvo dimaksudkan sebagai hubungan balas budi yang sehat untuk ketujuh kerajaan.”

Sebagai Narai, aku harus membenci dan memerangi perang ini sebelum terjadi.

“Mewakili kedua kerajaan, aliansi kami terbuka untuk semua kerajaan yang menginginkan kedamaian.”

Oh, dengan senang hati. []


▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎

Setiap vote & komentarmu amat berarti bagi saya dan cerita ini :3

Ikuti juga;

Instagram: (at)Azza_Fatime
Karyakarsa: AzzaFatime

Stay Staring Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang