15 | Kapan-Kapan, Kau Harus Mencoba Menguasai Suara Tuan Putri

20 6 0
                                    

Awalnya aku berniat untuk berlagak kaget supaya tidak ada yang mencurigaiku sudah tahu lebih dulu—parahnya lagi, sampai curiga sebenarnya akulah muasal keputusan sinting itu—tapi aku teringat bahwa Narai tidak bisa kaget. Setidaknya secara terang-terangan.

Kalau aku berakting jantungan di sini, aku malah bakal jadi super mencurigakan. Kagetnya Narai adalah sisa-sisa ekspreksi di wajahnya terserap lenyap ke dalam kehampaan. Kuharap aku punya cermin demi memastikan apa wajahku sudah mirip ekspreksi begitu, karena tidak ada cermin berwujud tanggapan keempat Pramu lain yang sibuk dengan keterkejutan masing-masing.

Remikha kelihatan mau membalikkan meja beserta lilin yang menyala di atasnya, tapi menahan diri dengan memelototi Manda, berusaha memastikan apa ini cuma prank. Semoga Manda bisa bertahan.

Hancya yang awalnya bersandar santai dan memainkan kursi, nyaris terjengkang ke belakang—bayangkan sebuah boneka perca yang disandarkan ke kursi, lalu mendadak boneka itu berubah jadi patung batu; kursinya bakal terbalik, kan? Nah, begitulah.

Araistasi ternganga, seolah mau melahap lilin di meja—tapi anehnya, kedua mata gadis itu berbinar-binar. Tidak kelihatan keberatan, justru kentara tidak sabar menantikan rencana yang baru akan dibicarakan.

Yang paling kalem adalah Embuni, masih bergeming dengan segaris senyum lembutnya, tapi aku menyadari senyum itu juga bermakna keinginan meracuni seseorang, dan dia tidak mungkin memikirkan nama lain selain Pangeran Leopold—dialah yang paling salah paham.

Nah, di sinilah bagianku untuk jadi yang pertama kali buka suara dengan berkata, “Maaf ... Tuan Putri, bisa jelaskan?”

Manda mengurai tawa dengan cengiran kecil. Kalau dinilai, aku bakal mengacungkan jempol buat ekspreksinya yang sempurna memenuhi kriteria; geli, rasa bersalah, dan keseriusan. Heran sekali kenapa gadis itu tidak jadi bintang ekskul drama. “Ah, maaf. Aku masih berusaha mengira bagaimana reaksi kalian, sih.”

“Aku tidak bakal seketika bilang tidak setuju,” sahut Remikha seraya melipat lengan tersilang di depan dada. Bukan mengintimidasi, itu caranya untuk menenangkan diri. “Jelaskan saja semuanya, Putri Lena.”

“Kami bakal mendengarkan,” sambut Hancya yang sudah pulih dari pembatuannya dan kembali bergestur santai, memangku tengkuk dengan kedua tangan yang saling terjalin. Araistasi menimpali dengan anggukan berbinar cerah yang auranya berpadu sempurna dengan Embuni ... meski dia sedikit mengkhawatirkan karena belum melunturkan senyumnya.

Manda mengangguk berterima kasih. Selanjutnya, aku mendengarkan segenap kata-kata yang sudah kurancang bak naskah dialog disuarakan oleh gadis itu.

“Sebenarnya, aku sudah berpikir cukup matang,”

Bukan tanpa alasan aku harus mempertahankan pertunangan Putri Lenavern dan Pangeran Leopold. Tapi alasan-alasan itu baru bisa dibuktikan di alur yang jauh dari sekarang, alias masa depan dari sudut pandang alur ini.

“Dan aku sudah menyampaikan soal ini pada Pangeran Leopold ketika kunjungan permintaan maaf.”

“Hah—?!”

Manda meladeni ledakan keterkejutan itu dengan memainkan telunjuk yang teracung. “Lalu Pangeran Leopold berkata bahwa dia setuju.”

Tersisalah kami semua yang ternganga. Hancya segera mengambil alih seraya memijat pangkal hidungnya. “Putri Lena, jelaskan dengan berurutan ... kumohon?”

Kalau kau tanya padaku—ya, memang begitulah sikap yang bakal ditunjukkan Putri Lenavern andai adegan ini dituliskan dalam novel. Dia memang hebat, kan?

Manda menyengir separuh meringis. Akhirya, dia benar-benar memulai diaog kata-kataku.

“Aku melakukan ini karena satu pemikiran,” ujarnya. “Bagaimana jika suatu saat nanti Pangeran Leopold menyadari maksud asli pertunangannya denganku? Dia tidak naif untuk mengetahui strategi pertunangan politik, tapi dia akan merasa terkianati ... sehingga akan balas berkhianat. Niatku untuk merangkul Gaokuvo sebagai sekutu utama menjadi kontradiksi dengan kemungkinan bahwa Gaokuvo bisa-bisa menjadi yang menusuk kita paling pertama.”

“Kami ada untuk memastikan dia tidak menyadarinya,” sahut Remikha. “Selama si pangeran tidak merasa dimanfaatkan atau dikhianati, apalah itu, rencana awalmu tidak akan terganggu.”

“Oh? Benar juga kata Mikha,” timpal Araistasi, mengetuk-ngetukkan jemari di dagu. “Tapi kedengarannya kita jadi jahat sekali, tuh.”

“Tidak ada baik dan jahat yang mutlak di medan perang. Jangan naif,” tandas Remikha tak terbantahkan. Pemuda itu siap menegaskan argumennya lebih kejam dengan Araistasi sebagai korban, tapi Hancya mengangkat suara sekaligus sebelah telapak tangan.

“Tidak, tidak, poinnya bukan itu, Mikha. Putri Lena bicara soal probabilitas emosional,” ujarnya bernada. “Jadi kau tidak bisa membalas dengan kemungkinan tidak di sini. Yang dibutuhkan adalah solusi.”

“Lagipula, Putri Lena sudah melakukan solusinya,” sambut Embuni, menepukkan tangan dengan ringan. “Ketika permintaan maaf kemarin, seperti yang dikatakannya. Tapi, Pangeran Leopold tidak memberi ancaman atau paksaan perihal pertunangan ini, kan?”

“Eh? Tidak, sama sekali tidak, tenang saja.”

“Baguslah kalau begitu. Silakan lanjutkan, Putri Lena?” Embuni mempersilakan dengan senyuman yang tak lagi menyebarkan aura menyeramkan. Aku nyaris bisa mendengar maksud tersembunyi dari perkataannya; baguslah kalau aku tidak perlu buang-buang racunku.

“Sebenarnya, aku berencana menyampaikan hal yang sebenarnya saat pertunangan—“

Hancya menyela, “Benar juga, kau belum menjelaskan alasanmu menolak pertunangan saat itu, Putri Lena?”

Manda terkesiap. Aku buru-buru membantu, karena dia memang tidak salah, “Han. Putri Lena pasti punya urutannya sendiri dalam menjelaskan ini semua.”

Ditimpali tatapan menghakimi Pramu lainnya, Hancya berakhir mengangkat kedua tangan di atas bahu sembari meringis. “Baiklah, maafkan aku, Putri Lena.”

Manda mengangguk, kelihatan lega. “Jadi, di hari pertunangan, kukira Pangeran Leopold akan langsung mengejarku yang lari setelah menyatakan penolakan. Saat itulah, ketika aku bersembunyi dari keramaian dan kami cuma berdua, aku akan mengaku. Bahwa pertunangan ini kumaksudkan sebagai jembatan aliansi antara Raharnias dengan Gaokuvo, karena aku berniat mendamaikan perang dingin ketujuh kerajaan.”

Benar. Itulah alasan yang akan dibuktikan di alur mendatang, tentang mengapa pertunangan Putri Lenavern dan Pangeran Leopold wajib dipatenkan. Putri Lenavern bagai berdiri menantang ombak dingin, menjadi satu-satunya yang diincar. Kerajaan Raharnias tidak akan bertahan dari semua itu sendirian—maka kerajaan ini butuh penopang. Back-up. Yakni Kerajaan Gaokuvo; kerajaan dengan kekuatan militer terbesar yang berdeklarasi netral.

Putri Lenavern tidak bermaksud melobi agar kekuatan militer memihak Raharnias. Dia mau menjadikannya jaminan ... sekaligus pancingan. Plus taruhan.

Siapa gerangan yang bakal memakan umpannya?

“Tapi ternyata ... Pangeran Leopold tidak mengejarku. Maaf,” tutup Manda dengan ringisan bersalah.
Remikha berkomentar datar, “Tidak semua orang seimpulsif dirimu, Putri Lena.”

“Tapi semua beres karena Pangeran Leopold sudah setuju, kan? Apa lagi yang jadi masalah?” tanya Araistasi, membuat para Pramu lainnya tersadar dan menunggu jawaban.

Manda mengembangkan senyum Putri Lenavern yang merupa cengiran kecil. “Aku hanya ingin menyampaikannya, dan memastikan apa ada keberatan dari kalian. Meski ini terasa seperti formalitas belaka, karena aku sudah melaksanakannya terlebih dulu lalu baru menyampaikan—sungguh, tidak terbesit sedikit pun di benakku untuk mengabaikan pendapat kalian.”

“Tenang saja. Kami mengerti, Putri Lena.” Embuni menyahut lembut.
Hancya mengangguk. “Kau cuma ingin membuktikan langsung bahwa rencana penggantimu ini bisa berjalan, kan? Kalau berdiskusi dulu dengan kami, Remikha pasti merecokimu dengan segenap probabilitas pesimisnya.”

“Itu namanya antisipasi, tahu!” seru Remikha tidak terima, sementara tawa Araistasi sudah terbahak dengan riangnya.

“Aku memercayaimu, Putri Lenavern,” kataku mantap, melakukan peran penutup seperti yang sudah direncanakan. “Sepertinya, hanya aku—”

“Enak saja,” sungut Remikha, bangkit berdiri mendahuluiku dengan tegap. Gesturnya dikenali oleh kami semua, yang cuma berselisih sedetik mengikutinya. Satu langkah kaki kanan kami menapak maju, lantas menjatuhkan diri—berlutut, dalam penghormatan serempak.

Kursi Manda berderak ketika dia bangkit berdiri. Tegak. Di hadapan kelima Pramu yang tidak ragu ketika mengeja jawaban serupa.

“Kami memercayaimu, Putri Lena.”

Suaranya yang merdu pun menutup pembicaraan pada malam ini.

“Terima kasih, semuanya.”









***









Setelah pembicaraan bubar, semua pulang ke kamar masing-masing bergiliran. Aku mendapat urutan pertama, dibalik dari kedatanganku yang terakhir. Untuk yang ini aku tidak protes, kulambaikan selamat malam, lantas menderap di lorong. Dimensi ruang serasa terlipat—tahu-tahu saja aku sudah memutar kunci pintu kamarku, memasukinya, dan menutup pintu di belakang punggung. Balik badan bersandar daun pintu, kuresapi betapa aku akhirnya sendirian ....

Seketika, tubuhku merosot dan jatuh terduduk. Sebelah tanganku menangkup mulut, berusaha mengatur napas yang terpatah. Bernapas, kuingatkan diriku sendiri. Di antara detak jantung yang serasa menggema sampai telinga, tanganku bisa meraba mulut yang mengembangkan seringai lebar. Andai ada cermin di hadapan, seringai ini pasti membuatku seperti orang gila.

Tapi ini bukan seringai gila, kuberi tahu kau—ini adalah seringai lega. Kau tidak tahu betapa gugupnya aku sejak tadi! Lebih tepatnya, sepanjang hari ini. Ya—sedari pagi, aku menanti-nanti malam tiba dengan tidak sabar sekaligus dengan kegugupan sialan ini!

Mau bagaimana lagi? Aku mendesah. Pokoknya, baguslah.

Semua Pramu sudah setuju dengan rencanaku yang disuarakan Manda.

Semua overthinking-ku akan penolakan mereka kini sirna, seperti ombak yang menyapu pasir pantai mulus kembali. Aku gugup setengah mati, dan aku ingin menyumpah seribu satu kali supaya kau percaya. Sekarang, rasanya aku mencair habis dari ujung kaki, berenang dalam kolam kelegaan. Debar jantungku mulai mereda, tapi sisa-sisa getar yang menjalar sampai tarikan napasku itu masih bersisa. Demi apa pun, ini—

Ini benar-benar seru. Aku menyeringai makin lebar.

Mana mungkin aku tidak melindungi alur yang menantangku jantungan begini? []



▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎

Instagram: (at)Azza_Fatime
Karyakarsa: AzzaFatime
(o・ω・o)

Stay Staring Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang