12 | Manda dan Maaf

35 6 2
                                    

Bukan tanpa alasan Putri Lenavern menetapkan pertunangan sebagai langkah pertama untuk mendamaikan tujuh kerajaan. Pepatah berkata bahwa ada banyak jalan menuju Roma. Kesimpulannya, selama aku tahu bahwa Roma yang harus kutuju bukanlah sebuah merek biskuit kelapa, aku tidak perlu serta-merta putus asa cuma karena salahnya langkah pertama.

Selama aku tahu apa alasan, tujuan Putri Lenavern mengikat pertunangan, dan tidak mengubahnya—alur asli dari novel masih berkesempatan kuselamatkan. Dari perubahan-perubahan yang akan membahayakan runtutan kejadian sehingga sangat berbahaya jika sampai memengaruhi happy ending di akhir cerita.

Betapa naifnya aku yang sempat berpikir bisa melakukan itu tanpa mengubah apa-apa seratus persen. Dengan Manda yang sudah kuamankan, sumber informasi eksternal alias Arvvan sudah terjaga, segenap kesibukanku sebagai Pramu disempurnakan juga dengan tugas mandiri—yakni untuk merancang strategi. Yang sayangnya untuk satu ini, tidak bisa kudiskusikan dengan Hancya.

Soalnya, ini terkait dengan Putri Lenavern yang sebenarnya bukan lagi Putri Lenavern.

Senja sudah tenggelam ketika aku mengetukkan irama khusus pada pintu di hadapan. Rasa dari tangan yang mengepal menjadi jaminan bahwa tekadku tidak akan tergoyahkan. Ya, meski ini cuma manifestasi dariku yang berusaha meyakinkan diri sendiri.

“Masuk.” Jawaban dari balik pintu menanggapi dengan lebih cepat dari yang kuingat.

Ketika aku memasuki ruangan kamar sang tuan putri, aku mendapati sosoknya sudah menunggu. Jendela sudah terkunci rapat, dengan sepasang tirai dari kedua sisinya yang tertutup membingkai, berjumbai halus. Manda duduk di kursi berukir rumit yang berposisi menyamping dari jendela, sementara meja penuh lembaran kertas menyangga siku kanannya. Mudah saja menebak apa yang sedang dia lakukan. “Apa ada perkembangan dengan kemampuan baca-tulismu?”

Manda cekatan menepikan beberapa buku dan kertas di atas meja untuk memberiku tempat meletakkan cangkir teh. “Kurasa begitu. Rasanya aku mengerti apa mmakna dari tulisan-tulisan itu, tapi aku tidak tahu apa kata-kata sebenarnya yang dituliskan. Hari ini aku sudah membuka-buka banyak buku dan mencoba menulis seperti katamu,” selorohnya, menunjukkan selembar kertas penuh guratan abjad berulang. “dan pelan-pelan, aku mulai bisa menghafalnya. Ini ternyata tidak berbeda jauh dengan alfabet, Raven.”

Meski mataku mengamati kertas latihan menulis Manda, benakku berkelana. Sejujurnya, aku sendiri kaget setengah mati ketika mendapati abjad di dunia ini bukanlah alfabet. Dalam novel, tidak ada penjelasan mengenai huruf khas dunia ini, sama sekali. Bukan berarti aku kesulitan—sinkronisasi ingatan Narai yang bisa dibanggakan soal berbahasa cuma perlu sekejap waktu beradaptasi. Aku jadi menduga—apa huruf khas suatu dunia novel adalah variabel otomatis meski tidak pernah diceritakan di naskah aslinya, ya?

“Bukan masalah, kau bakal beradaptasi seiring waktu,” komentarku dengan anggukan kecil. Aroma dari teh yang telah larut kuseduh mulai menguar harum. Ah, terima kasih sudah menyemangatiku, aroma teh yang baik hati. “Jadi, aku akan mulai membahas yang sudah kubilang padamu sebelumnya, untuk esok hari. Kau ingat apa itu?”

Aku sengaja meninggalkan spoiler padanya, karena Narai sekalipun akan jadi mencurigakan  jika menempeli sang Putri sepanjang hari. Latar alur yang sekarang masih terlalu damai untuk kewaspadaan setinggi itu.

Manda menjawab dengan anggukan. Matanya yang bagai jendela terbuka menuju emosinya kini menampakkan kegugupan, selagi siap mendengarkan dan melakukan apa yang akan kukatakan.

“Mengunjungi Kerajaan Gaokuvo untuk permintaan maaf resmi.”







***







Sekilas, benar-benar hanya sekilas bagai sehelai tirai tipis yang terkibas, aku terlupa.

Bahwa sosok di sana bukanlah Putri Lenavern yang sesungguhnya. Di sana adalah Manda.

Tapi yang mana pun itu, dia bertindak tiada cela.

“Putri Lena akan melakukannya dengan baik.”

Tatapanku mengerling ke sudut mata untuk melihat si pemilik suara yang berdiri di sebelah kiriku. Seorang pemuda, tegap menjaga postur resmi yang persis sepertiku, dan pandangan dari mata berkilat emasnya tetap menatap lurus ke depan. Helai rambutnya sewarna karamel, yang tampak lebih cerah dari biasanya karena terbias latar cahaya lampu-lampu kandelir di atas kepala, tertata rapi oleh ikat rambut yang menggerainya ke belakang punggung.

Mata emas itu berhenti berpura-pura bukan dia yang mengajak bicara pertama, dengan balas menatapku seiring terkembangnya seulas senyum miring yang disamarkan di tengah keresmian sebagai pendamping seorang putri. “Atau jangan-jangan, kau tidak memercayainya?”

Dialah Hancya. Pramu yang serupa kotak misteri penuh kejutan di tiap sisi. Celetukannya yang barusan itu termasuk—tanpa aba-aba, dia berhasil membuat lubuk hatiku sebagai pembaca setia Chaos Crown tersentil. Aku? Tidak memercayai Putri Lenavern? Sejak kali pertama aku membaca novelnya, aku tak pernah membuka halaman demi halamannya tanpa percaya pada setiap keputusan sang Tuan Putri!

Nah, masalahnya, yang sekarang ini sedang kuawasi dengan mata elang bukan Putri Lenavern.

Lupakan selorohan sintingku bahwa aku sempat terlupa akan fakta sederhana itu, dan aku menyahut lancar, “Jangan bercanda sekarang, Han. Aku selalu memercayai Putri Lenavern.”

Kudengar Hancya mendengkus geli. “Baiklah, baiklah. Ayo jalan, sebelum kita tertinggal lebih dari lima belas langkah dari Tuan Putri kita.”

Aku menurutinya melangkah. Menyesuaikan irama bagai sedang melakukan baris-berbaris yang kompak. Bergema di lantai marmer yang mengilap, didengarkan dinding-dindingnya yang dipenuhi kanvas lukisan.

Gaokuvo amat berbeda dengan Raharnias—dalam novel, aku amat menyadari hal itu. Tapi perbedaan terasa dengan penegasan yang berbeda ketika sekarang ini aku sungguhan mengunjungi keduanya.

Istana Raharnias dibangun atas kehangatan dari bunga-bunga merah yang bermekaran. Terasa dekat dengan alam, udaranya segar dan bebas, dikelilingi nyanyian burung-burung pagi—nuansa budaya timur yang pasti ikut andil menjadi referensi.

Sementara, Gaokuvo adalah kerajaan yang paling banyak mengadaptasi gaya barat—dalam novelnya ini sudah amat tersirat. Lapis-lapis marmer, sepuhan emas dan perak, kesan kebangsawanan, pilar yang menjulangkan megah di sepenjuru istananya.

Tapi, sosok gadis itu bagai tidak terpengaruh sama sekali akan perbedaan ini. Baik dalam lorong yang membentang hangat atau dingin, langkahnya tetap menapak dengan segenap keberanian. Dengan atau tanpa rias resmi yang menghiasi, sosoknya serupa penengah. Netral. Tak terpengaruh apa-apa, tak akan pernah goyah.

Manda menjadi Putri Lenavern dengan baik. Bahkan, akan kuakui bahwa Manda melampaui ekspetasi. Baik sekarang, ketika dia tengah melangkah beriringan dengan Pangeran Leopold yang mengajaknya bicara seakan ingin berlama-lama menuju ruang makan di mana jamuan telah dijanjikan—baik untuk yang sebelum ini.

Raharnias telah mempersembahkan permintaan maaf di depan kedatangan. Tidak menunggu basa-basi untuk disambut lebih dulu, adalah cara untuk menunjukkan kesungguhan. Sedikit keluar dari prosedur formalitas resmi, tapi ini adalah berani berbeda dalam artian baik. Dan sangat cocok untuk karakter Putri Lenavern.

Manda melakukan semua yang kukatakan. Lebih tepatnya, gadis itu mengingat semua yang kukatakan padanya untuk dilakukan, juga jangan dilakukan. Kubiarkan dia menyusun kata-katanya sendiri, yang beberapa perbaikan dariku tidak dilupakannya ketika tadi tiba saat untuk mengatakannya.

Tidak ada alasan tentang tidak enak badan atau semacamnya yang dia katakan; alasan yang cuma akan merendahkan harga diri bangsawannya—tepat seperti laranganku.

Jangan berlebihan. Camkan bahwa yang salah di sini adalah dirimu. Kau datang kemari untuk meminta maaf, menyesali kelancangan, berjanji tak akan mengulangi, semata-mata itu saja—dan itulah yang dilakukannya ketika mengutarakan maaf.

Aku baru tahu—dan ini bukan berarti aku berharap untuk tahu sebelum ini. Padahal dia tidak ikut ekskul drama, tapi ternyata, Manda bisa berakting begitu sempurna. []


▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎

Instagram: (at)Azza_Fatime
Karyakarsa: AzzaFatime

σ(o・ω・o)

Stay Staring Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang