“Narai!”
Aku terkesiap, bergegas melajukan kaki yang seenaknya menunda langkah sendiri. Bobot dari buku-buku bersampul keras yang tebal dan padat mendadak baru terasa kembali membebani kedua tanganku. Seharusnya ada troli yang bakal sangat berguna kupakai, tapi semua troli sedang terpakai. Hilir-mudik roda-roda troli yang biasanya paling-paling mengantarkan makanan dan minuman di jam-jam tertentu, sekarang seakan sedang berlomba di sepanjang lorong dan membawa apa saja.
Tapi, demi apa pun—aku harus segera membiasakan diri bahwa namaku sekarang adalah Narai. Asal kau tahu saja, ya, ini masalah yang lumayan merepotkan.
“Ya?” sahutku berhenti di hadapan suara yang memanggil tadi, dengan memutar tubuh supaya aku bisa menatapnya dengan menolehkan kepala ke samping kiri. Bahkan seorang Narai tidak bisa melihat menembus tumpukan buku yang sedang dibawanya, kau tahu.
Satu hal yang lumayan bisa membuat lega, dia bukan Remikha.
“Berapa banyak lagi buku-buku yang harus kau pindahkan?”
“Prioritasnya, satu lemari lagi.”
“Oh, tinggal sedikit lagi,” Pemuda jangkung itu mengguratkan pena pada papan catatan di tangan. Perkenalkan, salah seorang Pramu lain, Hancya—alias Han. Sosok yang khasnya adalah sepaket dengan pena dan kertas. Dialah rekan diskusi utama Narai jika menyoal strategi. “Kau bisa cari Mikha kalau sudah selesai dan minta bantuannya untuk persiapan itu.”
“Siap.”
Hancya memberikan masing-masing satu tepukan ringan di sebelah bahuku dan cengiran sebelum berlalu. “Kesibukan ini memang bisa membuat kita gila, tapi jangan sampai kau lupa namamu sendiri, ya.”
Baik aku atau Narai yang asli tidak suka dikasihani, tapi—serius, sebaiknya Hancya mengasihani dirinya sendiri dulu. Kesibukannya adalah mengatur kesibukan semua orang—bukannya kemungkinan pemuda itu gila jadi pangkat dua?
Tentu saja, yang kulakukan cuma mengangguk dan menyahut, “Siap.”
Jangan salah. Sebenarnya Narai adalah Pramu yang paling irit bicara, tahu.
Langkahku kembali berderap. Sudah berapa hari aku ada di dunia ini? Satu sisi diriku masih belum berhenti mencoba menghitung soal itu, masih gencar mengingatkan bahwa ini bukan duniaku. Heran, aku baru tahu ada sisi macam itu dalam diriku. Sisi yang ... realistis? Atau malah yang pertama kali tidak waras lagi karena mewanti-wanti? Lucunya, dia sendiri yang menyibukkan pikiranku, sampai-sampai hitungan hariku hilang. Cuma menyisakan keyakinan, waktuku masih bisa dihitung hari dengan jari.
Berkebalikan dengan itu, segalanya berjalan secepat langkahku menyusuri lorong-lorong bermandikan cahaya mentari pagi, tapi aku tahu ini bukan permulaan untuk sesuatu yang salah. Tenang saja. Saat ini aku cuma merasakan alur yang bergerak maju dari sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang yang jauh lebih sibuk.
Setidaknya, sekarang aku tahu, kenapa Chaos Crown diceritakan dari sudut pandang Putri Lenavern seorang. Andai meleng pakai sudut pandang Narai—Pramu yang tubuhnya sedang kutempati ini—cerita bakal berjalan berdampingan dengan kesibukan sehari-harinya.
Tenang saja, aku tidak bakal menceritakan kesibukan yang tidak ada maknanya. Aku yang sekarang sedang berlari bolak-balik menyusuri lorong, mengangkut buku-buku berdebu nan berharga seperti simulasi evakuasi ini—tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mempersiapkan penyambutan.
Penyambutan alur cerita yang akan segera dimulai!
Oh, jujurnya, ini juga penyambutan sesuatu yang lain secara harfiah. Kau bisa mengabaikan rasa antusiasku yang berdebar-debar dan tak akan bisa dimengerti siapa pun ini. Nah, penyambutan apa kiranya yang mencambuk semua pegawai istana dari Pelayan sampai Pramu untuk berlomba sibuk? Penyambutan yang dipenuhi dekorasi sana-sini, penataan ulang ini-itu demi makin rapi, seakan bunga-bunga merah yang bermekaran belum cukup indah—mau menebak?
Tidak. Baiklah.
Ini adalah penyambutan pertunangan Putri Lenavern.
Hei, jangan patah hati! Sadar diri kau bukan siapa-siapa, dan ini memang hal yang harus dilakukannya. Jadi tokoh utama itu tidak pernah mudah, tahu? Malah, kayaknya sebaliknya; tidak ada penulis yang mau menceritakan kisah seorang tokoh utama yang perjuangannya mudah.
Pertunangan dengan pangeran dari negeri seberang, justru adalah hal paling pertama yang harus dilakukan Putri Lenavern. Ini adalah langkah satu-satunya yang tidak boleh berubah, batu pijakan pertama dari alur segenap cerita.
Jadi, sepertinya aku harus berlari lebih cepat lagi. Mari cari Remikha dan mempersiapkan diri.
Pikirmu, kalau bukan abdi paling setianya, siapa yang bakal mendampingi sang Tuan Putri?
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Staring Happy Ending
FantasySudah susah payah dapat hadiah kehidupan kedua setelah kehidupan awalnya yang payah, kenapa Raven tanggung sekali cuma menjadi seorang tokoh figuran di dunia novel fantasi hidden gem favoritnya? Baiklah, bukan masalah. Tapi saat tokoh utama yang d...