“Narai,” desis Remikha separuh menggeram. Aku segera menahan gerak—yang memang seharusnya kulakukan, tapi kini harus kupaksakan karena suatu dorongan menandak-nandak berusaha memengaruhiku untuk bertindak gegabah. Komando di antara kami berada di tangan Remikha, yang kini dikepalkannya sejajar wajah. “Di aba-aba tiga.”
Aku mengangguk, bersiap dengan ancang-ancang untuk mendobrak gerbang bak barikade yang menjulang di depan. Juga mempertajam kedua telinga untuk mewanti-wanti—
“Tiga!”
Aku nyaris menoleh protes kepadanya, tapi derap Remikha yang sudah maju seperti banteng memecutku untuk ikut berderap menyusul dalam sepersekian selisih ketidaksiapan. Pramu sialan itu bahkan tidak menghitung satu!
Kami tetap menabrak gerbang bersama-sama, dengan segenap tenaga yang bisa dimiliki dua Pramu murka karena penculikan tuan putrinya, sehingga sekilas nyeri kebas berhasil telak mendobraknya.
Aksi kami selanjutnya mengandalkan cara masuk yang meriah dan menyita keterkejutan siapa pun di baliknya. Dalam kesempatan sempit itu, aku dan Narai harus bisa mengenali dan menguasai situasi.
Tapi, kami mendapati bahwa tidak ada situasi apa-apa. Tidak ada siapa-siapa. Gudang tua yang terkucil di tengah hutan ini bukan markas sementara si penculik yang membawa Putri Lenavern. Tebakan kami semua meleset, lagi.
***
“Dia tidak akan bisa jauh-jauh,” geram Hancya, mengacak-acak kembali kertas di kedua tangannya. “Semua jejak mengatakan penculik itu hanya sendirian. Waktunya sempit, dan dia membawa sandera. Dia masih ada di dekat sini.”
“Dan di mana dia berada sekarang?” potong Remikha, nyaris melubangi peta yang dibentangkan di atas meja dengan hantaman kepalan tangan. “Penculik sialan itu tahu dia tidak bisa jauh-jauh, maka dia sengaja berpindah-pindah seperti kutu loncat!”
Aku, yang sedang tidak berperan untuk menuangkan teh, menyahut, “Ya. Kita semua sudah tahu itu.”
“Lalu? Selanjutnya apa, Narai? Ini semua adalah rencanamu,” balas Narai tajam. Kalau dia mencoba untuk menunjukku sebagai gara-gara, aku tidak akan menyambutnya. Ketenangan dan kewarasan Narai di bagian alur ini masih ada, cukup untuk memusatkan kepala pada prioritasnya.
“Ya,” kataku, dengan tangan sibuk mencorat-coret kertas diselingi bolak-balik melihat data serta peta. “Sekarang kita punya beberapa pilihan, setelah semua jejak dan petunjuk sudah dihabiskan dan banyak tebakan yang salah.”
“Katakan, Narai.” Hancya mendesak tidak sabar.
“Pertama, kita habiskan semua jejak yang dia tinggalkan dengan sengaja, sampai dia tidak bisa lagi mengecoh kita ke mana-mana. Saat itu kita bisa balik mengecohnya.”
Remikha menggebrak meja—meski tidak terlalu keras karena ada banyak benda di atasnya, itu kedengaran sakit. Buat mejanya, maksudku. “Menghabiskan semua tipuan culas penculik sialan itu, katamu? Kita tidak punya waktu!”
Kunci untuk menghadapi Remikha dalam mode ganas adalah menjaga suaramu tidak ikut naik. “Ya. Jadi itu tidak kusarankan.” Remikha menyumpah tentang untuk apa memberi pilihan barusan kalau pada akhirnya tidak berguna, yang dengan senang hati kuabaikan. “Kedua, kita segera menuruti ancaman yang dia berikan.”
Lagi, Remikha menyumpah. Aku senang tidak menyeduh teh saat ini, yang bisa-bisa tercemar curahan hati Remi. Hancya menanggapi dengan lebih baik—meski aku nyaris bisa melihat badai berkecamuk di balik matanya. “Ancaman?” Alisnya bertautan sangsi. “Sepotong kertas jelek yang dia tinggalkan dan bertuliskan; akui bahwa kalian mau berperang dan tuan putri akan dikembalikan—maksudmu? Apa hanya aku yang berpikir bahwa ancaman ini sekadar omong kosong labil, alias satu lagi triknya untuk mengecoh kita pusing tujuh keliling?”
“Tidak, aku juga berpikir begitu. Namun, tidak ada pilihan keempat.”
“Kau—“ Remikha menyetop luapan kejengkelannya. “Apa maksudmu langsung meloncat ke yang keempat?”
Sementara, Hancya menyetop membolak-balik urutan berkas di tangannya, menghela napas. “Kuharap kau belajar menghilangkan kebiasaanmu mengatakan hal paling penting di belakang, Narai. Cepat katakan pilihan ketiga kita.”
Dengan senang hati.
“Ketiga, kita mengambil satu langkah di depan semua tipuannya untuk balik menjebak.” Bertepatan dengan tanda titik dari kalimatku, pintu ruangan mengayun terbuka dan dimasuki dua sosok yang kutunggu-tunggu. “Araistasi, Embuni, bagaimana?”
“Sempurna!” kata Araistasi, membenturkan kepalan tangan ke telapak tangan lainnya seperti siap membalas dendam. “Kami sudah memastikan titik-titik prediksimu. Ya, ada banyak jejak yang disebar, tapi prediksimu mempersempit kemungkinan. Semua tebakan salah sebelumnya juga menggiring penculik itu sendiri. Tapi sisanya masih ada lima titik yang saling berjauhan, kita pilih yang mana?”
Embuni membentangkan peta baru, yang lebih kasar dan kecil, dipenuhi detail tangan—dan yang paling tebal adalah lima titik yang hampir membentuk pola bunga di sana.
“Sempurna,” kataku, meniru Araistasi, karena memang begitulah adanya. Aku menyeringai. “Kita bertaruh dengan waktu. Lima titik—tepat untuk lima Pramu, bukan?”
***
Tentu saja, aku memilih titik yang merupakan tebakan benar. Bukannya aku mencurangi undian untuk jadi pahlawan yang menyelamatkan tuan putri, oke? Dalam novel, memang Narai yang berhasil menjemput Putri Lenavern.
Bukan berarti aku bisa bersantai dan minum teh dulu. Saat ini, di depanku, menjulang sebuah bangunan tua yang dinamai sebagai rumah singgah dalam novel. Berlantai dua dan sederhana, lumayan besar, meski jelas sudah tua dan tak ada yang mencoba memolesnya kembali muda. Berkat peperangan, ada banyak bangunan tunggal yang tersebar diam-diam di sepenjuru negeri—untuk markas, pos jaga, benteng, dan semacamnya. Aku tahu rumah singgah di depanku yang kelihatan seperti tumbuh bersama pohon-pohon di sekitarnya ini tangganya berkelak-kelok, menempeli dinding dan berputar meski bentuknya tidak melingkar. Setidaknya, aku juga tahu rumah singgah dari batu bata kusam ini masih cukup kokoh untuk menjadi panggung penyelamatan seorang putri.
Sekarang, apa yang Narai lakukan dalam novel? Oh. Standar saja, sih. Karena Narai tidak tahu apa tebakannya benar atau salah.
Aku tahu, tapi aku tetap akan melakukan yang standar saja jika itu yang seharusnya terjadi. Rumah singgah itu punya punya satu pintu depan dan satu pintu belakang yang dipalang. Memang membuat tidak tenang, tapi mana bisa aku mempreteli paku-paku karatan di sana sementara waktu terus tertawa. Kumasuki pintu depan yang berkeriut ngilu, menapak ke ubin-ubin batu, dan disambut sepasang kursi kayu panjang yang saling menghadap dengan meja di antaranya—meski furnitur itu kini menjadi kerajaan rayap dan tikus.
Narai tidak basa-basi dengan keraguan untuk menapaki tangga. Penuh debu, menuju sarang laba-laba yang seakan menggantikan lampu untuk mengisi langit-langit. Benar, tak ada lampu yang dinyalakan. Waktu yang sedang terombang-ambing antara sore dan malam meneroboskan cahaya remang dari lantai dua, ke anak-anak tangga yang kupijak bersama bayang-bayang.
Aku sangat siap untuk menghunus senjata mana pun yang kubawa, dan aku sudah tahu apa yang akan segera terjadi. Tapi tetap saja, aku kalah cepat dengan lesatan sebuah belati yang menyambut langkahku di anak tangga teratas. Maksudku, aku bahkan belum memijak lantai dua dan langsung disuruh memilih mati dihunjam belati atau jatuh dari tangga!
Tentunya, kupilih aku tidak mau mati dengan menuruti insting tubuh Narai. Aku membanting diri pada lengan kanan, berkebalikan dengan arah belati yang datang dari kiri. Kedua kakiku menekuk dan menyeret debu-debu untuk mengimbangi gerak mendadak barusan, sehingga resmilah aku menjejaki lantai dua. Serangan kejutan tadi memang kejutan, tapi juga hadiah karena aku langsung mengetahui posisinya.
Di seberang ruangan, melewati hamparan permadani dan memepet dinding di antara lemari-lemari lapuk penuh sarang laba-laba, di sanalah si penculik sialan dan sang putri yang kucari-cari berada. []▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎
Drop ur vote n comment here! ( ・∀・)
Instagram: (at)Azza_Fatime
Karyakarsa: AzzaFatime
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Staring Happy Ending
FantasySudah susah payah dapat hadiah kehidupan kedua setelah kehidupan awalnya yang payah, kenapa Raven tanggung sekali cuma menjadi seorang tokoh figuran di dunia novel fantasi hidden gem favoritnya? Baiklah, bukan masalah. Tapi saat tokoh utama yang d...