Narai tidak bisa mengulang waktu. Dan aku juga tidak mendadak diberkati kekuatan super ketika berpindah ke dunia ini.
Tapi tiba-tiba, aku merasa dunia berputar mundur. Melemparkanku kembali ke detik-detik menjelang kaos. Detik-detik terakhir yang ... tunggu, rasa-rasanya saat itu bahkan sudah ada aba-aba.
Apa aku bodoh karena memilih mengabaikan itu?
Mau bagaimana lagi? Sekilas—itu cuma sekilas, dan bahkan ragu kunamai firasat.
Serius, setipis benang.
Rasa akan sesuatu yang seakan meremas jantungku tadi. Bukan, itu bukan sakit hati, meski barangkali diri Narai yang asli diam-diam sedikit menelannya andai momen ini diceritakan dari sudut pandangnya.
Bukan ketika Putri Lenavern dihadapkan dengan pasangannya di tengah-tengah aula. Bukan ketika prosesi pertunangan dimulai dengan kata-kata puitis penuh sumpah dan janji dibacakan dengan khidmat, dan petikan dawai pun mengganti nada sebagai iringan latar belakang yang serasi.
Bukan. Lebih mundur dari semua itu.
Satu momen yang membuat aula indah ini tiba-tiba saja menjadi sangat salah bagi satu sisi diri ini.
Ketika Putri Lenavern tepat melangkah maju melewatiku. Ketika aku melepasnya, ketika dirinya lepas dariku. Ketika aroma dari padu padan formalitas demi pertunangan darinya menyergap hidungku dalam semerbak khas.
Ketika itulah, aku merasa seakan-akan Putri Lenavern berpamitan.
Melangkah pergi sejauh-jauhnya. Selama-lamanya.
Tak akan lagi tergapai. Tak akan lagi kembali.
Seakan-akan itu adalah sebuah perpisahan.
Tentu, semua rasa dan firasat itu bercampur-aduk hanya sekian detik dalam kepalaku. Kecamuk itu lenyap dalam setiap semarak kebahagiaan yang kembali berwarna di sekitarku. Petikan dawai yang merdu, baru saja mengakhiri pembacaan prosesi pertunangan yang panjang dan basa-basinya bukan main itu. Kau tahu, inilah kenapa kita semua membenci formalitas, kan?
Tapi sekarang, benang tipis itu kembali. Berputar-putar mengejek di dalam kepalaku, sepertinya berharap aku bakal tumbang tak sadarkan diri akibat syok—biar dia bisa makin keras mengolok-olok. Sial. Aku tidak bakal tahan berdiri lebih lama lagi, maka kubantingkan punggung agar bersandar pada dinding lorong yang kosong. Sebentar, sebentar saja—biarkan kepalaku ikut melompong.
Tarik napas, dan hela pelan-pelan. Aku mengulanginya sampai simpul sesak yang sepertinya berasal dari benang sialan tadi melonggar. Terurai dari rongga dada, atau bisa jadi hati. Bernapas, Raven—atau Narai, terserahlah. Lepas.
Ketika Putri Lenavern lepas dariku—
Aku hampir refleks menampar jidat sendiri gara-gara benak itu berbisik merdu dari dalamnya—yang berarti aku nyaris menumpahkan nampan yang memangku seteko teh panas berkelontangan pecah ke ubin lorong. Selisih akal sehat ini sangat tipis dari membuat keributan.
Hasilnya, aku harus mengulangi sesi tarik-dan-hela-napas. Kuberi ancaman pada diri sendiri, sekarang atau tidak selamanya. Jangan buang waktu. Ada yang menungguku. Di balik pintu kamar Putri Lenavern ini, ada dia yang tak bisa dibiarkan sendirian lebih lama.
Dia yang seharusnya adalah Putri Lenavern Raharnias.
Tapi sekarang, aku tidak yakin akan hal itu.
Kenapa Putri Lenavern menolak pertunangannya?
Tangan kananku terangkat, memberikan ketukan berirama khusus seperti biasa. Mendadak, dilema melandaku seperti gelombang pasang. Haruskah aku menunggu sahutan? Bakal seberapa lama? Aku tidak tahu, dan itu masalahnya. Aku sedang tidak ada waktu tapi apa bakal tetap terhitung lancang kalau langsung masuk bahkan meski ini Narai yang—
“Masuk.”
Itu cuma sepatah suara yang lemah, atau mungkin sekadar samar karena terhalang daun pintu—tapi aku kembali pada pijakanku berkatnya. Selain harus membiasakan diri dengan nama yang bukan milikku, mungkin aku juga harus melatih harmonisasi antara di mana pijakan dan lamunanku berada.
Langkahku menyanggupi sahutan yang sudah mempersilakan, pun tanganku yang mengayun gagang pintu dengan hati-hati. Tak ada bunyi keriut, dan atmosfer yang entah bagaimana sangat berbeda dengan udara di sepanjang lorong kosong segera menyergap. Terlambat sudah kalau aku mau overthinking untuk balik badan—tanganku sendiri yang menutup pintu baik-baik di belakang punggung. Memang tidak dikunci, tapi serasa ada isyarat tersendiri ketika kulihat jemari yang meninggalkan gagang pintu.
Ini keputusanku sendiri. Mana mungkin aku lari?
Aku menemukan sosoknya dalam sekejap mata. Ya, ini hal langka, kalau mengingat sebelum-sebelumnya aku baru menyadari eksistensi sang Putri paling terakhir. Jangan menyalahkanku untuk itu, karena aku sendiri tidak tahu kenapa, dan aku sudah dapat karma berwujud tamparan keterpanaan.
Kali ini adalah pengecualian. Dan, tidak—aku tidak bakal bilang entah kenapa karena seseorang rasanya siap menimpali dengan lagi-lagi.
Sosok gadis yang satu-satunya berada di ruangan ini tengah berdiri—posisinya yang menghadap dinding di mana sebuah cermin sebesar badan tergantung, baru memasuki bingkai pandang ketika aku melangkahkan kaki benar-benar memasuki ruangan. Helai rambutnya yang tergerai menutupi punggung serupa ombak berwarna merah.
Merah. Untuknya, darah sama sekali bukan kiasan yang hormat; suatu narasi novel Chaos Crown mengatakannya. Aku tak akan menggugat, tapi ... benakku tak bisa menunda kesan pertama itu. Jangan salah, warnanya begitu indah, sampai-sampai menyandingkannya dengan mawar malah terasa rendah. Memang, darah tetap agak ... sesuatu. Di masa lalu yang dulu sekali, Putri Lenavern pernah membenci warna rambutnya karena ini.
Tapi sekarang bukan itu masalahnya.
Putri Lenavern bergeming di hadapan cermin. Aku menghitung langkah ketika membiarkan diriku bergabung menjadi refleksi dalam cermin itu. Kucoba mencari kontak mata, tapi cuma butuh sekilas saja bagi mata yang menyala bagai bara itu untuk menghindar. Uh, bahkan aku tidak perlu mengatasnamakan sisi Narai yang asli untuk merasa sakit hati.
Dengan hati-hati, kuletakkan teko teh beserta set cangkirnya di atas meja. Kata-kata dari mulutku tidak mau menunggu dilema, dan lebih memilih menuruti suatu dorongan yang memecahkan keheningan. “Aku letakkan teh untukmu di sini, Tuan Putri.”
“Ya ....”
Di luar dugaan, dia tanggap terhadapku. Seharusnya tidak salah kalau aku membujuknya dengan bersikap selayaknya pelayan yang bisa diandalkan. “Maukah dirimu meminumnya sekarang? Dari yang kulihat, Tuan Putri tampak banyak pikiran dan kurang sehat.”
Perlahan, Putri Lenavern berbalik, ketika tanganku tengah menimang teko teh. Alih-alih penolakan atau pengusiran yang kutebak—apa pun yang menentukan apakah teko kaca di kedua tanganku akan menyeduh atau menganggur, aku kembali dibuat tidak menduga karena dia bertanya, “Kau ... bisa tahu?”
Ada apa ini? Benakku berpacu, mengulangi suaranya yang jelas sama seperti suara Putri Lenavern Raharnias yang kuingat. Itu suara yang sama, tapi, sekaligus juga terasa jelas berbeda. Terasa? Tidak, terdengar. Putri Lenavern tidak akan pernah menggunakan nada yang mengesankan lemah dan goyah seperti itu. Dia memang manusia, dia tetap bisa goyah—dan memang akan goyah—tapi entah kenapa aku bisa bersikeras.
Ini bukan suara Putri Lenavern.
Nadanya terlalu kalut, ditambahi ragu yang sama-sama tidak beralasan. Terkejut, juga? Tidak menyangka? Tapi sepatah pertanyaannya terlalu mengganjal untuk apa pun itu!
“Tentu saja, Tuan Putri,” jawabku dengan nada yang bisa-bisanya sempurna tenang-tenang saja. “Bagaimana bisa aku menjadi pelayanmu yang paling setia jika tidak bisa?”
“Apa itu benar?”
Aku terkejut. Kenapa dia menyahut begitu cepat?
“Narai. Narai, kau ... kau adalah pelayanku yang paling setia ... benar?”
Serta-merta, aku mengangguk. Melangkah maju kepadanya yang limbung demi berjaga-jaga. “Ya, Tuan Putri. Mohon tak perlu ragu akan hal itu.”
Satu sisi dalam diriku tidak menginginkan tuan putri ini terlupa—satu hal itu saja, jangan.
“Kalau begitu, Narai,” kata Putri Lenavern dengan nada goyah yang tersingkir dari kata-katanya, oleh ketergesa-gesaaan, tapi juga kebimbangan. Seakan dirinya membutuhkan sebuah sandaran secepatnya, supaya tidak tumbang. “Apa kau bisa berjanji? Bahwa kau akan selalu ada, dan bertahan di sisiku, tidak akan mengkhianatiku, dan, dan ... selalu memercayaiku?”
Aku terkesiap, tidak bersiap dengan kata-kata Putri Lenavern yang memburu bertubi-tubi. Matanya mengunciku sehingga tidak bisa lari ke mana pun selama berkata-kata. Dan tahu-tahu saja, sosoknya tepat berada selangkah saja di depanku.
“Tentu saja, Tuan Putri. Aku berjanji.”
Kulafalkan itu tanpa ragu, tanpa palsu.
Putri Lenavern seakan sangat lega mendengarnya. Sekilas, kepalanya tertunduk, seperti mencari remah-remah tekad untuk dikumpulkan, sebelum kembali mendongak. Kesungguhan berkobar di matanya. Bahwa ini sama sekali bukan main-main. Perlahan, dia mengatakannya.
“Aku bukan Putri Lenavern.”
Eh?
“Aku ... aku bukan putri yang asli. Sebenarnya, aku ... aku Manda,” ujarnya gemetar. “Namaku sebenarnya Diva Manda Anjani—“
Hah...?
Kenapa nama teman sekelasku muncul di sini?! []◇◇◇◇◇
Marii mampir ke karya Kak sweet-stripes inii—bagaimana keputusan mereka antara bertahan di masa lalu atau berusaha balik ke masa depan?
Lalu, karya Kak SeiongJeans inii—bagaimana Gema bertahan demi tetap bernapas di dalam isekai dari karmanya?
Penutup, karya Kak wanderspace_ inii—bagaimana Fiza bermain hidup-hidupan di isekai Doon-Yea Game?
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Staring Happy Ending
FantasySudah susah payah dapat hadiah kehidupan kedua setelah kehidupan awalnya yang payah, kenapa Raven tanggung sekali cuma menjadi seorang tokoh figuran di dunia novel fantasi hidden gem favoritnya? Baiklah, bukan masalah. Tapi saat tokoh utama yang d...