30 | Memangnya Siapa yang Mau Tahu Isi Kepalamu?

21 5 0
                                    

Saat ini, Raven Kalundra sedang absen sebagai Narai, tapi tidak juga sedang balik jadi Raven. Untuk pertama kalinya, aku beralih eksistensi jadi sebutir pemikiran di tengah hampanya ketidaksadaran.

Gampangnya, aku sadar bahwa aku sedang tidak sadar.

Kalau timeline alur tidak terganggu, aku bakal mendekam di sini selama tiga hari. Itu pengetahuan yang tidak begitu berguna karena tidak ada jam yang bisa kupelototi di kehampaan ini.

Sekarang, apa yang harus kupikirkan untuk jaga-jaga biar eksistensiku tidak lenyap?

Oh, ya. Meski entah sudah berapa lama yang berlalu sampai saat ini, aku sudah kangen sekali dengan diriku di tempo hari-benar sekali, tempo hari yang itu. Memangnya yang mana lagi kalau bukan di malam pesta Lumuxin itu, saat penutupnya malah berupa sepasukan penyusup yang dipimpin seorang sialan dengan penyamaran super niat.

Hai, halo, kepada diriku di tempo hari yang itu, aku cuma ingin tanya, nih.

APA-APAAN YANG KAU LAKUKAN SAAT ITU?!

Keadaanku sekarang tidak bisa dibilang berkepala tenang, tapi ketika aku mereka ulang ingatan tentang apa yang kulakukan pada pesta kekacauan itu-dengan jengah setengah mati, serius, aku tidak habis pikir.

Kenapa kenapa kenapa kenapa?

Padahal seharusnya aku tahu.

Bagaimana setiap kejadian di dalam kisah ini serupa domino yang menyelesaikan sebuah puzzle sempura. Mengapa setiap kejadian, mau sebaik atau seburik apa pun, harus terjadi di dalam kisah ini.

Baik, contoh langsung. Malam itu, seharusnya Lenavern terjatuh, mengakibatkan luka yang cukup parah untuk membuatnya tidak sadar selama tiga hari. Kejadian ini akan membuat Narai jatuh dalam rasa bersalah, sekaligus disalahkan oleh Pramu lain. Koordinasi di antara Pramu meretak. Rasa tidak percaya menyeruak. Belum lagi Leopold, dia harus lebih protektif dalam bertindak.

Ya, ya, semua itu kedengarannya buruk sekali.

Kau bakal menyumpahiku karena menurutmu aku seharusnya bersyukur tidak perlu jungkir balik melewati segala halang rintang itu. Seharusnya aku bersyukur dengan keberuntunganku berhasil menghindarinya dan dapat cuti cuma-cuma tiga hari.

Heh. Yang benar saja.

Raven Kalundra dan keberuntungan? Mana pernah bersua.

Kembali ke alur. Berlanjut. Di lanjutan inilah semua alasan terungkap. Setumpuk character development para Pramu diracik dengan apik, menegaskan peran Lenavern sebagai perekat super yang dapat memperbaiki apa yang memang seharusnya dia jaga. Lenavern genap mengikat ulang kekompakan di antara Pramu dua kali lipat lebih kuat.

Nah. Nah. Sudah bisakah kelihatan mana yang kira-kira menjadi masalah?

Kalau tidak ada reset dengan istirahatnya Lenavern selama tiga hari, apa tingkat kekompakan Pramu yang sekarang saja cukup untuk mengawal beban menuju perdamaian seperti alur asli?

Bagaimana kalau tidak?!

Aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk memperbaikinya, tahu! Andai persoalan ini bisa diselesaikan semudah mendorong jatuh Manda di suatu atap rendah sampai pingsan tiga hari.

Kenapa ini harus terjadi?

Aku tahu Raven itu sinting, tapi sepanjang yang kutahu bukan sinting yang seperti ini. Raven masih manusia dan bukan psikopat, kok, cuma punya sedikit trauma bawaan dunia sebelumnya-tapi, insting menggantikan seseorang untuk jatuh dan hilang kesadaran tiga hari?

Masalahnya, aku melakukannya selagi sadar dengan risiko-bahwa menyelamatkan satu orang itu akan menyalahi segenap alur asli yang kujaga setengah mati.

Terlebih lagi, satu orang itu adalah Diva Manda Anjani-yang selama ini kuyakini sebagai manusia terakhir untuk kuberi simpati dan empati.

Stay Staring Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang