Selalu ada yang pertama untuk segalanya. Bagiku, itu adalah dansa.
Meski begitu, aku mendengarkan langkah demi langkahku menginjak setiap irama musik dengan tepat. Sensasi jemari halus yang menyangkut di ujung-ujung jemariku terasa alami. Angin bersenandung di telingaku, menyanyikan hitungan gerakan yang begitu saja kutahu. Perasaan akan senyuman manis yang menjadi satu-satunya fokus pandanganku sementara dunia di sekelilingku mengabur ini familier.
Jelas saja dansa yang kulakukan ini berdasarkan memori otot Narai.
"Supaya tidak salah paham," Embuni berucap saat aku menariknya sekilas dalam gerakan bertukar tempat. "Aku bukan bermaksud menghiburmu karena Putri Lena harus berdansa dengan Pangeran Leo."
Langkahku mengejar irama langkahnya. Embuni mempelajari respon diamku yang seolah masih menunggu, sebelum memutuskan untuk mengedikkan alis main-main. "Hmm ... kalau kau mau menganggapnya begitu juga tidak apa."
"Kukira itu kau sendiri, Embuni," sahutku memakai suara Narai. "Karena kau tidak pernah percaya dengan siapa pun yang mendekati Putri Lena selain kita."
Embuni mengalunkan tawa kecil, langkahnya balik mengejar langkahku. "Risiko diracuni di tengah-tengah dansa cukup rendah. Apalagi, ketika orang yang mau kau racuni adalah pasanganmu sebagai atensi utama di tengah-tengah aula pesta. Akan merepotkan kalau racunnya jenis yang tidak berefek seketika, tetapi toh ada Hancya."
"Aku setuju."
Embuni mengamati saat tempo dansa kami diburu ketukan musik. "Kau sudah tahu kalau aku punya sesuatu yang perlu dibicarakan, ya?"
Aku mengangguk. Saat tadi Embuni mengajukan ajakan berdansa, kepalaku sontak kosong dan hanya diisi kata berhuruf kapital EH?-tapi nyaris secepat menjentikkan jari, itu berubah mejadi OH beserta insting yang entah datang dari mana, inilah caranya memberi kode bahwa dia punya sesuatu untuk dibicarakan.
Kemudian, di dalam novel aslinya, sudut pandang Lenavern tidak menyorot apa yang dilakukan Narai sampai mereka berkumpul kembali begitu itu terjadi. Jadi, aku bisa melakukan apa pun yang tidak terhitung penting untuk diceritakan. Kukira berdansa dengan Embuni termasuk kriteria.
Lagipula ini cuma satu dansa, apa salahnya?
"Aku tahu."
Embuni tersenyum. Tangannya lepas mengibas ke sisi, terus mengikuti musik, seolah dia tidak perlu sepeser pun fokus untuk berkata-kata, "Kau tahu, Araistasi merasa tersaingi olehmu, Narai."
Huh?
"Hmm, tersaingi sebenarnya bukan istilah yang tepat," sambungnya, menangkap kembali uluran tanganku. "Dia menceritakan padaku soal kekacauan di pesta Lumuxin. Penyusup bertopeng yang menyandera Pangeran Rui dan ingin menukarnya dengan Putri Lena, dan sepasukan anak buahnya yang seketika membubarkan pesta... ."
Oke. Ini bukan informasi yang ada dalam novel asli.
"Araistasi mengutuk dirinya sendiri sebagai satu-satunya yang tidak melakukan apa-apa." Tatapan Embuni menerawang jauh. "Remikha menyela penyanderaan dan menyelamatkan Pangeran Rui. Kau menyelamatkan Putri Lena dengan menggunakan dirimu sebagai tameng jatuh saat ledakan di balkon. Sementara dia sangat terlambat bereaksi saat akhirnya membantumu mengurusi anak buahnya."
"Mengurusi sepasukan penyusup yang datang dari segala arah bukan pekerjaan tidak berguna," gugatku.
Embuni tersenyum tipis. "Benar, bukan? Tapi Araistasi hanya merasakan penyesalan dan menyalahkan dilema tentang identitas aslinya pada saat itu."
Sampai sini, aku tahu pasti bahwa inilah efek domino dari tindakanku menyalahi alur asli, yang bahkan mungkin cuma salah satunya. Karena Narai melompat menyelamatkan Lenavern gara-gara aku, Pramu lain tidak menyalahkannya dan Narai tidak tertekan menyalahkan diri sendiri. Tidak kusangka rasa bersalahnya pindah pada Araistasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Staring Happy Ending
FantasySudah susah payah dapat hadiah kehidupan kedua setelah kehidupan awalnya yang payah, kenapa Raven tanggung sekali cuma menjadi seorang tokoh figuran di dunia novel fantasi hidden gem favoritnya? Baiklah, bukan masalah. Tapi saat tokoh utama yang d...