35 | Kerajaan Ketujuh

16 5 0
                                    

Waktunya kembali mengingat peringkat kasar kerajaan-kerajaan. Di mana Raharnias ada di nomor satu, diikuti Lumuxin dan Gaokuvo. Hauridea si negeri seni duduk di peringkat keempat, dan Lifanya yang punya trio pangeran menyebalkan ada di peringkat keenam.

Jadi, yang tersisa dan belum diberi lampu sorot sama sekali adalah kerajaan berperingkat tujuh. Kerajaan inilah yang memuatku yakin bahwa peringkat yang sedang kugunakan ini sangat-sangat tidak bisa diandalkan.

Kau bakal mati kalau berani menganggap kerajaan ketujuh sebagai kerajaan terlemah di antara tujuh kerajaan.

Kerajaan ketujuh yang keberadaannya seperti bayangan ini, sebenarnya sudah mulai berkaitan dan didiskusikan di dalam bisik-bisik percakapan pesta. Keberadaannya yang dipertanyakan sebab tidak diundang.

"Ada Raharnias, Gaokuvo, dan juga Lifanya. Andai Lumuxin dalam keadaan prima, berani bertaruh mereka juga akan diundang. Pesta ini hampir mengumpulkan seluruh perwakilan ketujuh kerajaan. Tetapi ... bagaimana dengan Putri Anixela?"

Hancya menepukkan kedua tangan, menyeringai tipis dengan kepuasan menikmati keterpanaan hadirin di depannya. "Begitulah yang kudengar di pesta Hauridea tempo hari."

"Kau ... mengingatnya?" tanya Embuni, mengerjap takjub.

"Persis. Aku mengingat sampai pemotongan kalimat dan logat setiap percakapan."

Aku menyela sebelum topik kami bergeser mengikuti Hancya yang besar kepala, "Hancya, percakapan yang barusan didengarmu dari siapa?"

Hancya menoleh dan menjawab lancar, "Dari seorang pelayan yang mengurusi bufet bersama seorang temannya. Aku memang harus menyelinap sedikit, tapi itu aman-aman saja."

"Jadi," sambung Remikha, bergumam dengan suara rendah. "Itulah kartu yang cocok dipasangkan dengan pernyataan perang pangeran Hauridea sialan sebelumnya. Karena menurut pengulanganmu, Han, pangeran itu menyatakan perang dengan rujukan kami terang-terangan. Kita sudah punya aliansi oposisi."

"Setuju. Sisanya adalah mengidentifikasi," timpalku. Pace berjalan dengan seimbang, bagus. Aku menoleh kepada Manda. "Bagaimana menurutmu, Tuan Putri?"

Ah, Raven... .

"Oh. Benar, aku punya sedikit tambahan pemikiran ... barangkali, kemungkinan saja, aliansi oposisi yang menginginkan perang ini, sebenarnya sudah ada lebih lama dari yang kita kira. Kalau diasumsikan demikian, kasus-kasus seperti penculikanku saat itu'juga termasuk salah satu rencana mereka."

Aku mengulum senyum. Argumen yang lumayan. "Benar juga. Seingatku, kau yang mengambil penyelidikan tentangnya, Remikha. Bagaimana?"

Bagaimana? Seharusnya itu yang ditanyakan padamu, Raven.

Suara benak Manda lagi-lagi menyela.

Bagaimana lukamu? Bukan cuma luka yang kemarin. Kau punya banyak luka.

Hah? Apa-apaan yang sibuk dipikirkannya?

Aku mencemaskanmu. Kumohon jangan ragu untuk memberitahuku lagi.

Trauma itu. Luka-luka itu. Keluargamu.

Itulah yang mencelus jantungku. Membuat tatapanku spontan berpindah fokus kepada Manda. Pada mata merahnya yang menerawang. Seolah menyimak percakapan yang terus berlanjut, hadir di sini; padahal benaknya mengawang begitu jauh—

Berceritalah lagi, Raven.

Ruang, waktu, dunia—segalanya mendadak tak lagi berlaku bagiku; karena sudah terlambat bagiku untuk menyadari diriku hanyut dalam gema suara benaknya.




***

Stay Staring Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang