"Navlaru terpecah dua."
Wow. Hancya sungguh tahu bagaimana cara untuk membuat kalimat pertama yang menarik. Fix, dengan begini, aku bakal meladeni obrolan tengah malamnya sampai rampung.
"Maksudmu?" pancingku selagi mendorong cangkir teh rempah Hancya. Tengah malam begini, perpustakaan kerajaan sepi total. Hancya tentunya sengaja, karena dialah yang memegang kunci perpustakaan.
Hancya menyeruput teh rempah miliknya, santai sekali, seolah teh itu tidak benar-benar barusan diseduh dan penuh uap mengepul. "Jadi," mulainya, juga mulai memasang seringai andalannya untuk sesi penjelasan. "Navlaru punya masing-masing dua pangeran dan putri. Totalnya empat. Kerajaan mereka diam-diam pecah dari dalam; raja dan ratu membentuk kubu sendiri-sendiri. Pangeran Asa dan Putri Lagita berpihak pada sang Raja, sedangkan Pangeran Sadra dan Putri Rawala berpihak pada sang Ratu."
Aku menggapai benang merahnya. "Berarti, yang mendatangi kita tadi adalah perpanjangan tangan kubu Raja Navlaru."
"Enduruvo!" cetusnya berseri. "Sekarang, aku ingin mendengar tebakanmu. Kenapa aku menganggap perpecahan kubu internal keluarga kerajaan Navlaru ini penting kubicarakan di tengah malam?"
Kalau mau tebakan tidak serius, gampang saja; insomnia Hancya sedang kambuh berbarengan dengan kerinduannya pada teh rempah, sehingga dia perlu menyeret seseorang untuk membuatkannya teh rempah sekaligus menjadi teman tidak bisa tidur.
Kalau tebakan serius?
Jujurnya, aku perlu waktu—untuk pikir-pikir dulu sambil menyeruput teh rempahku sendiri. Hei, bukan karena tidak tahu atau aku melupakan sesuatu. Malah karena aku ingat semua detail alur sebab-akibat di sepanjang novel Chaos Crown, aku harus hati-hati mengingat; apa benar akibat A ini biangnya gara-gara sebab A? Atau sebab A itu yang memunculkan akibat B? Jadi yang benar sebab B? Atau sebab C ... dan seterusnya.
"Ayolah?" pancing Hancya, memainkan alisnya dengan gaya provokasi paling menjengkelkan sedunia. "Lemparkan tebakan apa saja. Sebenarnya, aku menantikan jawaban salahmu, supaya bisa kuingat sebagai biang masalah yang barangkali terjadi dari sudut pandang seroang Narai."
Itu ide yang bagus, tapi tidak berlaku bagi seorang pembaca budiman yang tidak ingin tebakan apa saja-nya menjadi ramalan terkabulkan. Mau bagaimanapun juga, pengumuman, Raven sedang dalam mode ekstra hati-hati—demi alur cerita yang semakin naik mendekati puncak paling dinanti-nanti.
"Beri aku waktu sebentar lagi," tuturku saat Hancya menarik napas untuk mengocehkan desakan provokasi selanjutnya. Seringai menjengkelkan itu setidaknya tidak bersuara—meski astaga demi apa pun, seringai itu super menjengkelkan.
Oke, aku harus mengingat lebih cermat. Navlaru ... kerajaan kelima, rival Lumuxin, warna khas kerajaannya biru, kubu raja dari anak-anak bermata langit dan kubu ratu dari anak-anak bermata samudra... .
Enduruvo.
"Karena salah satu dari kubu di dalam keluarga kerajaan Navlaru adalah pihak pendukung perang." Aku mengetukkan jemari pada pegangan cangkirku, seolah tidak sedang mati-matian menahan seringai kemenangan. "Dan, alasan pecahnya dua kubu tersebut berkaitan dengan keberpihakan aliansi perdamaian atau perang."
Hancya berdecak. "Kenapa aku lupa betapa tingkat kecerdasan otak kita setara, dan kenapa kau memberikan jawaban kedua padahal pertanyaanku tidak sampai sana?"
Aku angkat bahu dengan wajah datar-tak berdosa Narai. "Entalah. Mungkin karena aku merasa itu bisa menghemat waktu?"
Kontan, itu membuat Hancya ter-trigger menengguk teh rempahnya dengan dramatis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Staring Happy Ending
FantasySudah susah payah dapat hadiah kehidupan kedua setelah kehidupan awalnya yang payah, kenapa Raven tanggung sekali cuma menjadi seorang tokoh figuran di dunia novel fantasi hidden gem favoritnya? Baiklah, bukan masalah. Tapi saat tokoh utama yang d...