07 | Waktunya Reuni Identitas

50 11 4
                                    

Sama sekali, aku tidak berharap aku tahu bagaimana rupa ekspresi yang sedang tampil di wajahku saat ini. Tapi begitu kepalaku serasa berhenti bekerja, pandanganku seketika buyar. Tahu-tahu saja tatapanku melebur ke balik gadis di hadapan, dan bertemu tatap dengan seseorang yang tengah membelalak lebar-lebar, mulut terbuka, muka hampa—ekspresi yang tidak keren bukan main.

Lalu kusadari bahwa itu aku.

Ternyata Narai bisa pasang wajah begitu juga, ya—kata sisi diriku yang sinting dan tidak bisa membaca situasi.

Demi apa pun, sekarang bukan waktunya untuk itu!

Aku menyudahi ekspresi hampa di wajah Narai, menarik fokus dari cermin dan pantulan permukaannya yang dibarengi cahaya senja, kembali pada seraut wajah yang masih bertahan selangkah saja di hadapan. Entah kenapa, aku tidak bisa melihat wajah tegas berbingkai helai merah dengan mata berwarna serupa itu, sebagai Putri Lenavern lagi. Sosoknya tiba-tiba menjadi berbeda.

Seolah aku langsung memercayai pengakuan barusan tanpa sadar.

Roda-roda gerigi dalam kepalaku serasa berhenti lagi. Jadi dua kali. Padahal yang pertama tadi juga masih mati.

“Maaf ... bisa diulangi, Tuan Putri?”

Serius, aku tidak menyangka kata-kata itu bisa menjadi hal paling waras yang kulakukan. Tapi itu sungguhan—reaksi ini masih sesuai dengan karakter Narai. Masih cocok juga untuk sebuah keterkejutan. Tidak akan ada yang mencelaku tuli dadakan atau apa, dan yang terpenting, aku berhasil memecahkan jeda sebelum berlangsung lebih lama dan membuat segalanya basi.

Putri Lenavern—atau siapa pun itu yang menggantikan dirinya di dalam sana—terkesiap kecil. Jelas, bukan cuma aku yang overthinking.

“Aku ... aku bukan putri ini, aku bukan Putri Lenavern.” Dia menggeleng-geleng, seperti berusaha menggugurkan kebimbangannya sendiri. “Aku bahkan tidak tahu di mana ini—ini, ini ... bukan duniaku. Seharusnya tidak ada kerajaan, tidak ada istana, dan aku seharusnya bukan seorang putri ....”

Aku berhasil mencuri waktu untuk menjernihkan pikiran, sampai satu frasa di antara ucapannya mencuri fokusku seketika—ini bukan dunianya, dia bilang?

“Aku cuma seorang pelajar biasa ... aku bukan Putri Lenavern, sungguh! Namaku Diva Manda Anjani, semua orang setidaknya memanggilku Manda—“

Ah, ya, itu dia.

Nama itu, aku mengenalnya.

Ini di luar kemauanku untuk mengingat nama itu. Kalau yang disebutkannya adalah nama orang lain, yang meski sebenarnya juga dari orang yang kukenal, aku butuh waktu untuk merasakan de javu dan baru tahu nama siapa itu.

Tapi—Diva Manda Anjani adalah sebuah pengecualian, secara mau tidak mau. Pertama, karena nama itu masuk daftar teman sekelasku. Kedua, karena nama itu yang paling sering dipanggil di upacara. Ketiga, karena nama itu sangat rajin didengungkan siapa saja—siapa saja.

Namanya pun menjadi familiar di telingaku sampai sebosan-bosannya, dan jadilah nama itu menjadi segelintir nama yang muat diingat pelitnya kapasitas sosial kepalaku.

Jadi, masalahnya, kenapa nama teman sekelasku itu menguntitku sampai ke dunia ini?!

Apa yang dilakukan si gadis populer favorit semua orang di sini—di dalam raga Putri Lenavern? Apa aku perlu bertanya-tanya juga bagaimana? Kayaknya itu tidak bakal berguna, sih—eksistensiku di sini saja sudah cukup di luar logika.

Nah. Itu dia!

Tapi, serius? Memang ini kemungkinan yang paling mungkin, bahwa Diva Manda Anjani ini kasusnya sama denganku.

Stay Staring Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang