Pertama-tama, Remikha berkata, "Kau tidak akan berdansa dengan Putri Lena."
Aku, untuk kedua kalinya terjebak dalam setelan formal yang menyesakkan, sedang sibuk mengotak-atik kerah pakaian sialan ini agar tidak mencekik leherku sendiri ketika mendengarnya. "Hah? Apa maksudmu?"
Sejujurnya, aku mengharapkan Remikha yang sedang berdiri di sampingku ini bisa agak lebih toleran terhadap eksistensi lain-yang dalam kasus ini adalah aku seorang-karena kami sedang berada dalam nasib yang sama; menunggu make over si tuan putri di tangan Araistasi selesai. Namun, begitu menoleh, yang menjawab harapanku adalah sikap tegak sempurna bak tentara dan wajah paling tidak ramah dari seseorang yang diamnya saja disamadengankan pemarah.
Yah, kalau mengesampingkan aura permusuhan super terang-terangan itu ... kuakui saja, aku iri betapa Pramu satu ini bisa mempertahankan postur sempurnanya. Maksudku, dalam setelan formal yang seharusnya sama sesaknya dengan setelanku? Bagaimana bisa, coba?
Pramu teladan kesayangan kita pun melanjutkan ucapan-garis-miring-ancamannya, "Maksudku adalah, Putri Lena sudah bertunangan. Resmi dan diketahui seluruh kerajaan. Meski tunangannya tidak datang, bukan berarti Putri Lena boleh berdansa dengan sembarang pemuda lain. Gosipnya akan jelek sekali terutama kalau kau yang berdansa dengannya."
Aku sudah bisa menduga ke mana arah ceramah Remikha, tapi memancing-mancing Remi itu selalu lebih seru daripada sekadar menunggu. "Kenapa aku akan membuat gosip orang-orang menjadi jelek sekali?"
Sudut mata Remi berkedut dan rahangnya menggeram selagi telunjuknya teracung tajam di depan wajahku. Wah, aku sungguh bisa menyamakan telunjuk itu dengan todongan skakmat ujung pedang. "Karena kau adalah pelayannya, bocah sialan. Atau ksatria ... ck, jabatanmu bahkan tidak jelas. Perbedaan status macam itu adalah umpan kesukaan para penggunjing. Kau paham sekarang?"
"Kalau begitu, bukankah kau sama saja, Remi?"
"Aku tahu, sialan!" bentaknya. "Aku memperingatkanmu yang lebih tidak tahu diri."
Di belakang hinaan itu, rasa-rasanya aku bisa mendengar suara retaknya hati Remikha.
Bercanda.
Atau tidak, ya?
Yah, tentukan saja sendiri. Karena pintu yang dijaga di belakangku akhirnya terbuka dengan satu ayunan mulus dari dalam dan suara riang Araistasi, "Kerja bagus sudah menunggu, Tuan-Tuan Pramu!"
Araistasi, seperti yang sudah pernah kujelaskan, kurang-lebihnya berperan sebagai seorang assassin. Jadi, barangkali kau bertanya-tanya; apakah pembunuh yang bermain dalam bayang-bayang sepertinya pantas diandalkan untuk urusan persiapan pesta kelas atas yang penuh gemerlap?
Nah, biar kutanya balik; apakah kau lupa, bahwa bayang-bayang itu ada banyak sekali macamnya? Juga soal di mana cahaya bergemerlap paling terang, sejatinya di sanalah pula bayangan hinggap paling gelap.
Bagaimanapun juga, jawabannya jelas seketika si tuan putri menapakkan langkah pertamanya keluar mansion. Satu-dua detik pertama, aku bahkan diembus ilusi bahwa yang ada di depan mataku ini adalah Lenavern sejati yang asli.
Gaunnya berwarna biru, gelap mendekati magenta, seolah Araistasi mencurikan sepotong langit malam paling indah untuk mewarnai gaun itu. Bagian bawahnya tidak terlalu mengembang sebesar mangkuk terbalik, melainkan terkembang lembut dengan lipit-lipit teliti bersulam pola khas Raharnias di tepiannya. Rambut merah Lenavern digerai, ikalnya ditata dengan pita emas, menjalin dengan manik-manik hingga memahkotai puncak kepala. Kerahnya tepat di bawah garis leher, dan lengannya panjang berujung lipit rumit bak kipas. Sentuhan rias wajah dan parfum entah apa praktis membuat gadis di depanku menjadi definisi sejati seorang putri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Staring Happy Ending
FantasySudah susah payah dapat hadiah kehidupan kedua setelah kehidupan awalnya yang payah, kenapa Raven tanggung sekali cuma menjadi seorang tokoh figuran di dunia novel fantasi hidden gem favoritnya? Baiklah, bukan masalah. Tapi saat tokoh utama yang d...