32 | Kau Bukan Prioritasku

15 3 0
                                    

Arskam Lifanya mengumumkan, "Aku menolak aliansi."

Hal pertama yang kusyukuri dari hal itu adalah tidak adanya manusia sejenis Remikha di sini, dan tentunya Remikha sendiri—yang sedetik lalu kujamin sudah menggebrak meja batu sampai retak (mejanya), melompat naik ke atas meja dengan pedang terhunus, atau menyambar kerah setelan si pangeran kedua Lifanya.

Reaksi pertama semua orang beradab dan berbudaya di sini adalah mengheningkan cipta. Yang kalau di komik biasanya diisi koak gagak lewat atau irama dua-dua suara jangkrik.

EEEHHH?

Satu-satunya yang menusuk kupingku dari dalam adalah benak Manda dan segenap ketidakpercayaannya. Sial. Aku serius tinggal selangkah dari jatuh jantungan. Wajar-wajar saja kalau mau syok, dan kalau mau berteriak dramatis demi refleks—tapi jangan lakukan itu kalau semua benakmu membanjiri kepalaku otomatis, oke?

"Pangeran Arskam, apa maksudmu?"

Sahutan pertama akhirnya disuarakan putri tuan rumah ini sendiri, Oilivea.

Arskam membiarkan dirinya kembali duduk terlebih dulu dengan kaki bersilang dan bersandar di kursinya menjauhi meja. "Maksudku tentu sejelas yang kukatakan dengan gamblang beberapa detik lalu. Di manakah bagian yang kurang jelas untukmu, Putri Oilivea?"

Eh? Apa dia serius menghina tuan rumah di rumahnya?

Yah, begitulah.

Tapi Oilivea menangkapnya sempurna dengan sahutan merdu, "Maaf, sepertinya pertanyaanku yang kurang jelas tersampaikan. Yang kutanyakan adalah, apa maksudmu mengumumkan oposisi kerajaanmu terhadap aliansi perdamaian, tepat di tengah-tengah lingkaran pendukung aliansi tersebut?"

Ah ... benar juga.

"Terima kasih sudah bertanya, kalau begitu," tanggap Arskam dengan senyum sinis yang melebar, seakan sengaja menantikan. "Lifanya tidak bermaksud mencari musuh secara terang-terangan dengan menyatakan sebagai oposisi di sini. Kami semata-mata memutuskan untuk menjadi terbuka dan tidak munafik, bahwa ketertarikan kami pada aliansi ini tidak ada."

"Apakah aku bisa menganggap bahwa Lifanya mendukung terjadinya perang, Pangeran Arskam?" potong Leopold.

"Gaokuvo, hanya karena aku bukan putih tidak berarti serta-merta aku adalah hitam." Kali ini, mata Arskam menyapu tajam deretan Raharnias. "Aku tidak peduli sebanyak apa dari kalian yang akan percaya bahwa kunyatakan Lifanya pun tidak mengharapkan perang, tetapi itulah kejujurannya."

Lifanya, Lifanya, Lifanya ... hanya karena dia tidak mengharapkan perang bukan berarti dia akan bergabung dengan aliansi damai? Tunggu, itu tidak masuk. Sejak awal, aliansi damai mengumpulkan kerajaan yang tidak mengharapkan perang, bukan? Alasan, alasan, alasan ... apa alasannya?

"Lifanya hanya berpikir selangkah lebih jauh," lanjut Arskam. "Di sini, langkah paling aman tentunya adalah masuk aliansi perdamaian. Kita semua menjadi teman. Namun, bagaimana jika dalam gambaran nyata? Siapa pihak yang sudah menjadi rahasia umum bahwa merekalah yang siap memicu perang? Fakta bahwa mereka belum turun dari takhta kecurigaan kita semua membuktikan bahwa pihak siap perang mereka, sampai sekarang, masih percaya diri dengan kekuatannya untuk berperang."

Rahasia umum... .

"Maka, Lifanya tidak ingin mengambi langkah gegabah dengan menjadikan kerajaan kami sebagai target untuk dilibas lawan sekuat itu terang-terangan."

Ah, betapa nostalgia. Sejak pertama kali membaca, bahkan sampai berkali-kali membaca ulang Chaos Crown, kalimat Arskam favoritku ini selalu membuatku terbahak. Tidak ada kesan lain semakin tawaku makin keras setiap membaca ulang. Betul-betul menghibur, ada manusia yang seterang ini mengumumkan keegoisannya! Apalagi mewakili segenap kerajaannya—

Stay Staring Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang