08 | Bisa Kita Bicara Baik-Baik Bahwa ini Bukan Salahku?

49 7 0
                                    

Keputusanku untuk segera menarik mundur kepala begitu bisikan tadi tersampaikan sangat tepat. Putri Lenavern yang diisi Manda menolehkan kepalanya secepat kilat ke sebelah telinganya yang baru kubisikkan—sampai aku meringis ngilu. Kalau kepalaku bertahan di sana lebih lama sedetik saja, aku pasti terpental berhadiah gegar di jidat.

“Eh?” Gadis itu memutar kepalanya lagi sambil mengerjap-ngerjap. Aku hampir bisa menghitung persen loading di kedua matanya yang menanjak setahap demi setahap. Prosesnya menabrak 100% dan entah bagaimana logikanya, itu membuat matanya berbinar sekaligus berkaca-kaca. “RAV—"

Buru-buru kuacungkan telunjuk di depan bibir yang mendesis seperti ular. Setidaknya itu sangat tepat waktu membungkam Manda karena, sudah kubilang, aku menghitung proses loading pemahaman yang terpantul di matanya. Dan beruntunglah aku karena Manda yang cepat tanggap, sehingga aku tidak perlu membekapnya dengan telapak tangan seperti penculik murahan.

“Raven...?” ulangnya menyebut namaku, nama yang sungguhan namaku, dengan suara yang sudah diturunkan. Alisnya mengerut dan bertautan di tengah. Nah, kan, sudah kubilang. Namaku cuma remahan kentang bagi seorang Diva Manda Anjani—

“Ini sungguhan? Raven yang nomor absen 19?”

Aku nyaris berjengit terang-terangan. Dia mengingatku dari label nomor absen yang rasa-rasanya terakhir kali kudengar satu abad lalu?

Oh, benar juga. Dia kan sekretaris.

“Ya, aku Raven yang itu,” jawabku membenarkan, tak lupa mempertahankan senyum Narai. Soalnya Raven tidak punya senyum sendiri. Memberi jeda, aku mengamati wajah Manda yang seakan mencair dalam kelegaan—iya, mencair seperti es krim. Ini bakal jadi rekor pertama kalinya ada yang bisa merasa lega karena mendengar nama Raven Kalundra. Rekor yang bagus, karena sekarang aku bisa membaca ketenangan sudah mendominasi keseluruhan dirinya.

Kusempatkan diri menandaskan teh yang sudah mendingin di cangkirku sebelum kembali bersuara, “Jadi, jangan panik, oke? Karena aku harus pergi dulu sekarang.”

“Ke mana?” sambarnya seketika, meluapkan kecemasan tak ingin ditinggal sendirian.

“Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Ada urusan yang harus kuselesaikan, sebagai orang yang tubuhnya kupakai ini,” sahutku. Sebelum Manda bersuara lagi, aku segera menutup dengan, “Kau akan baik-baik saja. Orang-orang di sini tidak jahat, sebenarnya. Pastikan saja kau menjaga rahasia yang barusan.”

Manda termenung, tapi memberiku anggukan samar. Diam-diam, aku menghela napas lega. Baguslah dia tidak banyak tingkah. Kubereskan peralatan teh untuk kembali kubawa di atas nampan, dengan meninggalkan satu cangkir yang masih di tangan Manda.

“Tidak jahat, ya,” gumamnya dengan nada yang ganjil. “Aku ... rasanya aku ingin minta maaf, pada orang-orang di sini. Ini berarti, aku sudah mengacaukan pertunangan putri mereka yang seharusnya membahagiakan, kan?”

Membahagiakan, ya.

Andai dia tahu, betapa pertunangan itu jauh dan lebih dari sekadar membahagiakan.

Karena aku tidak mungkin mengucapkannya keras-keras, aku cuma menundukkan kepala dan benar-benar berbalik badan, melangkahkan kaki ke luar dan menutup kembali pintu kamar.

Rasanya ... hebat sekali.

Aku tidak menduga bakal mendapatkan beban seberat ini ketika tadi memasuki kamar sang Putri. Bahkan sebagai Narai, ada juga hal-hal yang tetap tidak tertebak dan tersembunyi.

Atmosfer lorong yang lengang balik menerpaku, memberikan kesan yang begitu kosong dan sepi. Kubawa kedua kaki untuk menyusurinya, mendengarkan gema suara langkah sendiri yang terpantul. Sekeras apa pun aku mencoba fokus menghitung langkah-langkahku sendiri dan menimbang beban nampan di kedua tangan, latar ini terlalu mendukung lamunan dalam kepalaku untuk mengelana ke mana-mana.

Sampai akhirnya kedua kakiku kalah dan berhenti melangkah, terdiam di tengah-tengah lorong. Rasanya aku mengecap pahit di sudut bibir, padahal keduanya masih tertarik ke masing-masing sisi dengan baik.

Ah, benar juga. Berarti ... aku cuma pernah bertemu Putri Lenavern yang asli satu kali, ya.

Benakku masih sibuk merenungi kesadaran mengenaskan itu, dan sepasang tangan mendadak menyergapku tanpa suara. Geraknya kelewat sigap, sampai memekik kaget saja aku tidak sanggup. Jemari bersarung tangan kesat telah terlanjur membekapku. Aku berontak, tapi tahu-tahu tanganku sudah dibekuk menempel punggung. Bukannya aku tidak bakal selamat kalau kedua tanganku dibuat mati gerak—

Sudah sangat terlambat ketika kucegat napasku sendiri. Aroma menyesakkan dari sepotong kain yang ditekan tangan pembekap mulut dan hidungku itu sudah terlanjur kuhirup. Satu kerjapan, dan pandanganku mulai berkunang-kunang. Kesadaranku seperti balon helium yang batu pemberatnya dilepas, mengawang-awang ... sampai mentok langit-langit ruangan. Ada sehelai kain pekat yang menutup mataku erat-erat, diikuti kedua tanganku yang diikat dengan cekatan. Mulutku bebas dari bekapan, hanya untuk ganti disumpal kain yang ikut diikat ke belakang. Dunia pun berputar, menghanyutkanku terjungkit-jungkit berirama ... tunggu, sial, mau dibawa ke mana aku?!

Aku yang sama sekali buta ruang dan waktu tidak bisa tahu apa-apa, dan aroma serupa kloroform tadi juga membuatku tidak berdaya—sampai dunia berputar sekali lagi. Rasanya derajatku sebagai manusia turun menjadi sekarung kentang, saat kurasakan sepasang tangan yang sama mendudukkanku dengan bantingan dadakan. Tidak, bahkan kalau aku cuma sekarung kentang, aku baru saja jatuh berceceran.

Dan ... tunggu, bukannya ini penculikan?

Kain penutup mataku direnggut lepas. Aku harus mengerutkan wajah sedemikian rupa demi mengenyahkan kunang-kunang nyeri yang seenaknya menginvasi dunia dalam pandangan. Di mana ini? Ruangan yang sempit ... dan penerangannya remang-remang. Tidak, ruangan ini lebih luas dari tebakan pertamaku, tapi berkesan sesak. Padahal, bukannya aku sendirian?

“Kau,”

Ralat, aku sama sekali tidak sendirian. Udara kosong tidak punya tangan yang bisa menerkam kerah pakaianku secepat sambaran ular. Mencekikku, tanpa peduli sama sekali atau malah dengan senang hati.

“Apa yang kau lakukan, hah?!”

Dari suaranya sejak menggeram sambil menyentak lepas kain di mulutku, aku sudah mengenalinya. Remikha. Cuma pemuda itu yang bisa bersuara seperti beruang gunung menggerung. Sialnya, sekarang dia mendadak menjulang di hadapanku, dengan kedua tangan bergeming mengungkitku, dan berwajah mengerikan.

Serius. Aku jauh lebih mending diculik sungguhan.

“Apa yang ... aku lakukan—“ Aku terbatuk. Leherku serasa terbakar, tapi mata biru buram di hadapanku lebih mengerikan bak berkobar. “Apa maksudmu?”

Sehabis mengucapkannya, baru kusadari betapa itu adalah jawaban terburuk untuk Remikha yang murka. Pemuda itu kelihatan siap meledak, tapi sepotong tangan muncul dari keremangan dan merenggut bagian tengkuk kerahnya.

“Re-mi-kha!” bentak penyelamatku itu dengan mengeja setiap suku kata. Eh, kau keheranan ada yang bisa membentak Remikha? Tapi justru karena spesies itu cuma ada satu-satunya di sepanjang Chaos Crown, aku langsung tahu siapa gerangan penyelamatku itu. Bahkan sebelum kalimat selanjutnya menyusul dengan geram yang sama, “Sudah kubilang jangan asal main culik! Dan jangan mencuri ramuan racikanku untuk itu!”

“Cuma sedikit!” Remikha berkelit, kelihatan tidak betah dengan kerahnya yang direnggut dari belakang tapi masih ogah melepas cengkeramannya di kerahku. “Kenapa juga kau pelit sekali, sih?! Kau bisa membuat ramuan yang sama ratusan kali, Embu—“

“Karena aku tidak sudi racikanku disalahgunakan macam ini!” potong Embuni geram setengah mati. Tidak ada lagi sisi lembut lagi manis yang tersisa dari gadis berambut putih perak itu, berkat Remikha. Buat catatan baik-baik dalam kepalamu untuk tidak pernah mengusik segala yang diracik tangan Embuni tanpa izin, oke?

“Aku cuma mau menginterogasi bocah ini!” Remikha membuangku terduduk kembali ke kursi yang berderak menabrak tembok belakangnya.
Memang aku tidak tahan dicekik, tapi barusan itu bukan cara yang baik untuk memperlakukan sekarung kentang sekalipun. Di sisi lain, perdebatan sengit dua Pramu itu efektif memulihkan kesadaranku yang diombang-ambingkan kloroform versi Embuni—dengan cara yang kasar. Sehingga aku tidak bisa untuk tidak mengerang ketika berusaha mewaraskan kepala—membuat Embuni beralih seketika kepadaku.

“Narai, kau baik-baik saja?” tanyanya sembari membongkar ikatan di tanganku dengan cekatan. “Apa efek ramuannya masih terasa?”

Aku menggeleng demi menenangkannya, meski gerakan kecil itu saja sudah serasa membuat otakku bergeser dalam tengkoraknya. Sukses membuat dustaku tidak berguna bagi gadis yang seketika melempar tatapan sengit kepada Remikha di dinding belakangnya itu.

“Remikha, ambilkan penawarnya dari ruanganku sekarang,” perintah Embuni. “Kau pasti tahu karena sudah menginterogasiku dari tadi. Cepat.”

Remikha terjengit sekaligus mengernyit, berkata dengan nada tidak terima sepenuh jiwa, “Hah? Kenapa aku harus—“

“Tolong,” Embuni menyela, dan dari posisiku saja, aku bisa melihatnya mengembangkan senyum menyeramkan. Tambahannya barusan bukan dimaksudkan sebagai penghalusan perintah—itu penegasan yang dilengkapi dengan, “Tang-gung ja-wab.”

Aku bersyukur aku tidak ter-isekai jadi Remikha.

Sang Pramu terkuat itu terkalahkan juga dengannya yang mengangguk kaku—pilihan tepat, setelah dari tadi dia kepala batu mendebat. Ketika Remikha entah untuk apa maju mendekat padaku lebih dulu, Embuni memelototinya hingga dia buru-buru mengelak, “Hei! Aku cuma mau bicara baik-baik dengan Narai sebentar!”

Bicara baik-baik...?

Embuni mendebas, “Seharusnya kau lakukan itu dari awal tanpa culik-culikan.”

Kuputuskan untuk memusatkan ketenangan khas Narai dalam menyambut Remikha yang masih berwajah beruang gunung. “Jadi, apa maksudmu dengan apa yang aku lakukan tadi?”

Pemuda itu tidak berbasa-basi. Meski langkahnya berhenti karena aku ditamengi Embuni, telunjuknya menudingku sama tajam dengan hunjam tatapannya. “Ya. Akui apa yang kau lakukan sampai Putri Lena membatalkan pertunangan yang dirancangnya sendiri.”

Embuni sudah menarik napas, “Remi—“

“Siapa lagi kalau bukan Narai?!” sengitnya pada Embuni dengan mata menyipit. “Putri Lena pasti dipengaruhi bocah ini sampai-sampai dia—“

“Re-mi-kha. Pergilah sekarang.”

“Embuni—“

“Sebelum aku memakai salah satu tombak yang kelihatannya menganggur sekali di gudang senjata favoritmu ini.”

Akhirnya, ancaman itu manjur mengusir Remikha—meski dia tak lupa menyumpah-nyumpah di bawah gumamannya. Semoga saja tidak ada siapa pun yang sial tak sengaja bertabrakan dengan pemuda itu. Bertabrakan—karena entah ditabrak atau menabrak, Remikha yang itu bakal seketika meledak.

Embuni menghela napas. Sorot lembutnya telah kembali ketika mengecek keadaanku. “Jangan diambil hati, ya, Narai.”

“Tenang saja. Kita semua tahu Remikha itu bagaimana.” Aku menjeda setelah mengangguk. “Lagipula ... kurasa dia memang benar.”

Selembut sebelah matanya yang tidak tertopengi tatanan rambut, gadis di depanku menepuk bahuku yang baru kusadari terasa sangat berat dan lunglai. “Aku juga sangat penasaran soal itu, tapi kau harus mengendalikan dirimu sendiri dulu. Juga, kau tidak mau menerangkan dua kali, kan?”

“Oh, iya. Tidak ada Han dan Araistasi, ya.”

“Remikha tidak sempat merekrut mereka,” kekeh Embuni. “Mari kita hitung bersama sampai empat puluh, dan kalau Remi masih belum sampai, aku janji bakal menyambutnya dengan lemparan tombak.”

Hebatnya, gadis itu sungguhan mengambil sebuah tombak yang terpajang di dinding gudang. Meski aku mengembangkan senyuman Narai sebagai terima kasih, diam-diam, sepatah kata dari Remikha terngiang kembali dalam benakku.

Dipengaruhi ... ya?

Kalau benar aku bakal memakai cara satu itu, berarti inilah masalah pertama yang harus kuperbaiki. []

Stay Staring Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang