Nostalgia, entah bagaimana.
Dapur kerajaan masih bertahan sama seperti yang kuingat, tapi ini pertama kalinya aku kembali masuk kemari setelah sekian lama. Yah, barangkali tidak selama yang kurasakan dengan dramatis sampai membuahkan rasa nostalgia.
Mau bagaimana lagi? Sejak keadaan berkembang makin genting, tidak penting lagi untuk menyamarkan identitas Pramu tuan putri dengan tugas-tugas serupa pegawai istana lainnya. Aku, kami—sudah berubah lebih dibutuhkan langsung membersamai sisi tuan putri.
Tidak bisa dibilang kangen juga dengan waktu-waktu aku bangun dini hari dan mengepalai neraka yang berlangsung di sini. Tapi ... yah, biar kuakui, ada secercah rasa lega ketika tanganku kembali menggenggam pisau dapur—bukan belati tarung—searah dengan talenan kayu dan seperangkat alat masak nan lengkap lainnya.
Kenapa dulu Narai merangkap sebagai juru masak? Aku lupa apa ini sudah pernah kuceritakan, jadi aku mau cerita lagi saja—itu karena Narai punya segudang pengalaman mengunjungi macam-macam daerah, melintasi samudra nyaris ke semua negeri ... meski bukan dalam petualangan yang menyenangkan, sebab dia sedang diperdagangkan sebagai budak.
Nah, dark, kan? Seorang bocah tanpa marga keluarga, cuma membawa sepotong nama yang tidak berguna karena panggilannya menuruti angka yang dikalungi di lehernya; angka yang terus bergonta-ganti seiring dia dibeli dan dijual kembali sebagai budak berharga tinggi. Insting bertahan hidupnya yang kuat membuat Narai praktis sanggup menjalankan pekerjaan apa pun. Kemampuan serba bisa itu terbawa sampai menjadi Pramu, toh.
Salah satunya, tentu berasal dari berbagai aroma dapur yang dia hirup beserta bentakan perintah yang memaksanya bekerja tanpa diperbolehkan lelah—memasak.
Entah bagaimana, barangkali pengalaman Narai itu diteruskan padaku—sesuatu dari proses langkah demi langkah mengolah bahan-bahan dengan berbagai alat-alat ini mengirimkan sinyal menenangkan padaku.
Bagaimanapun juga, tidak ada gunanya aku terus mengingat apa yang terjadi kemarin. Malas sekali kalau aku harus bercerita. Begini, kegagalan itu selalu pahit, tapi lebih pahit lagi ketika itu adalah kegagalan orang lain yang memengaruhi hidupmu—dan kau sudah mengerahkan usaha untuk membantu si orang lain demi berhasil, tapi ujung-ujungnya dialah yang menggagalkan.
Terlalu tidak berguna bahkan untuk sekadar diingat.
Matikan sekarang.
Ada juga bisikan seperti batin sekaligus insting ini, di setiap waktu di luar dugaanku.
Tanganku bergerak meniriskan potongan wortel dari dalam panci rebusan.
Khusus wortel merah, Putri Lena menyukai rebusannya setengah matang.
Haha. Sekarang, ada berapa orang di dalam kepalaku?
***
Aroma cahaya matahari.
Kapan terakhir kali aku menghirupnya? Udara pagi yang beranjak cerah tanpa terik, hanya semerbak oleh segar dan harum bebas ruang terbuka. Rerumputan yang lembut bergemerisik, dan kelepak sehelai permadani yang dibentangkan di atasnya. Warna merah lembut di atas rerumpun hijau.
Cahaya matahari menari-nari di depan mataku. Dari baliknya, tersibak suara-suara. Seakan sebelumnya telingaku lupa bisa mendengar.
Suara-suara familiar.
"Narai, jangan tidur!" Salah satu suara menegur. "Setidaknya jangan selagi tanganmu masih memegang nampan-nampan itu. Kau akan menjatuhkan semua menu piknik kita!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Staring Happy Ending
FantasySudah susah payah dapat hadiah kehidupan kedua setelah kehidupan awalnya yang payah, kenapa Raven tanggung sekali cuma menjadi seorang tokoh figuran di dunia novel fantasi hidden gem favoritnya? Baiklah, bukan masalah. Tapi saat tokoh utama yang d...