16 | Aku Terlibat dengan Sesuatu yang Lebih dari Sakit Hati

30 5 0
                                    

“Ada kesalahpahaman,” kataku, lancar menjabarkan skenario yang ternyata harus dibongkar juga. “Seharusnya, yang dilakukan hari itu bukan pertunangan.”

Araistasi mengerjap-ngerjap di sampingku. Meski gadis itu sedang bergelantungan di dahan pohon dengan jepitan kedua pangkal lututnya, kepalanya tetap sejajar dengan kepalaku. Angin pagi yang sejuk berembus mengacak-acak rambut pendeknya—meski sudah berantakan disisir gravitasi. Saat membaca Chaos Crown, jujurnya, aku mengernyit di bagian narasi warna rambut Araistasi—aku tidak bisa menangkap maksud yang membuat sang penulis menggambarkan rambutnya bagai langit sore yang baru berubah menjadi malam.

Nah, sekarang, melihatnya langsung, aku pun paham. Rambut Araistasi sekilas hitam, tapi seperti bergradasi dengan warna magenta ... yah, seperti ungunya langit malam yang baru menelan senja. Sementara si senja itu turun menjadi warna matanya.

Araistasi adalah gadis yang berada di antara senja dan malam. Sang bayangan.

“Eh?” Dia menambah satu kerjapan penuh. Wajahnya yang mengerut sedemikian rupa jadi makin rupa-rupa karena terbalik. “Kenapa bisa?!”

Setengah langkah, aku mundur demi mengantisipasi keterkejutannya yang selalu disuarakan keras-keras. “Miskomunikasi. Sebenarnya, Putri Lenavern sempat berkata bahwa dia ingin menyelenggarakan pertunangannya berdasarkan tradisi lama Raharnias. Putri Lenavern pasti mendapat ide itu seusai membuka buku-buku tua.”

“Apa ada tradisi lama soal pertunangan di Raharnias?”

Bagusnya, itu sungguhan ada. Bukan dari hasil karanganku belaka, sehingga aku bisa lanjut menjabarkan tanpa perlu merasa bakal disalahkan. “Ada. Tradisi itu membagi pertunangan menjadi dua tahapan. Tahap pertama, bertujuan untuk melepas kedua pihak yang akan bertunangan dari kerajaan masing-masing. Ibaratnya, di sini mereka hanyalah seorang manusia, tanpa keterikatan pada gelar putri dan pangeran kerajaan. Mereka bebas, hanya memiliki satu sama lain.”

Araistasi mengangguk-angguk, menyimak dengan atensi penuh—hebatnya, masih dengan posisi menggantung diri terbalik.

“Tahap kedua, barulah kedua pihak dipasangkan. Bertujuan menyatukan ikatan dari mereka yang sebelumnya saling memiliki menjadi resmi. Selesai.” Aku mengulurkan tangan kepada Araistasi untuk mengakhiri pelajaran sejarah singkat barusan. Isyarat agar gadis itu turun dari pohonnya dan kembali menjejak tanah dengan kedua kaki, lanjut melangkah.

“Oh, kau juga mau naik, Narai?”

Buru-buru aku mencegah gadis itu mengungkitku ke atas untuk bergabung dengannya di dahan pohon yang mulai berderak mengkhawatirkan. “Bukan, bukan! Maksudku, kaulah yang turun, Araistasi, kita masih harus melanjutkan perjalanan.”

“Perjalanan untuk memeriksa jalur-jalur rawan di perbatasan yang banyaknya bukan main,” ocehnya dengan nada mengeluh yang lucu, seperti sengaja bersenandung sumbang. “Kita bisa menyelesaikan ini lebih cepat dengan memakai jalur pohon, Narai! Ayo!”

Jangan mengira bahwa cuma kaki Araistasi saja yang kuat, sampai biasa mengait dirinya sendiri di dahan pohon. Tangannya juga—jadi, ya, kau bisa bayangkan sendiri bagaimana kondisiku saat ini. “Kita harus memeriksa, maksudnya soal jejak lalu-lalang di sepanjang jalur. Orang-orang tidak bergelantungan di pohon sehingga jejaknya ada di sana, hei.”

Kami mengadu tatap tanpa kerjap selama beberapa saat, sampai Araistasi dengan sengaja melepaskanku tiba-tiba.

Sayang sekali, meski Narai tidak menyangka sekalipun, keseimbangannya kembali dengan cepat berkat ketenangan yang selalu seimbang dalam dirinya. Satu putaran dengan tumpuan sebelah lengan, aku berdiri tegak kembali, berhadapan dengan tepuk tangan Araistasi.

“Ayo.”

Kali ini, Araistasi luluh juga, meski masih sambil bertepuk tangan ria. “Tradisi lama yang tadi, kedengarannya manis sekali. Seharusnya aku lebih banyak membaca soal itu, ya,” senandungnya.

“Hm.” Aku bergumam singkat—tepat waktu menyetop sederet kata-kata yang gatal ingin bersuara di ujung lidah. Mataku sibuk berlompatan memerhatikan setiap cabang ranting pohon yang menjaring sinar matahari di sekitar. Wah, indah sekali. Bisa kupuji manis bukan buat bermanis-manis seperti suatu tradisi manusia tadi.

Yah. Setidaknya, baguslah tradisi macam itu sungguhan ada untuk kugunakan sebagai alasan. Alasan yang beralasan, kok—dalam novel, memang tersirat Putri Lenavern mendamba tradisi lama itu. Tersiratnya memang tipis sekali—aku saja baru sadar saat ketiga kalinya membaca ulang. Hint tipis itulah yang kuwujudkan jadi sungguhan di sini.

“Benar juga, apa pertunangan ulangnya benar-benar harus dilakukan?” Araistasi kembali menceletuk. Gadis itu memang cerewet—baguslah, dia cocok untuk membuatku tidak banyak putar otak untuk mengoceh sebagai Narai. “Maksudku, kita sedang bersiap untuk segala kemungkinan terburuk. Acara besar seperti pertunangan itu menguras biaya, bukan?”

Aku paham apa yang ingin disampaikan Araistasi. “Bahkan bukan cuma biaya,” timpalku menyetujui. Sebagai Pramu, kami yang paling tahu soal banyaknya waktu dan usaha yang dikerahkan untuk memenuhi lorong dengan lalu-lalang troli. “Tapi ini adalah sesuatu yang harus kita tanam. Mendapatkan undangan pertunangan untuk pasangan yang sama untuk kedua kalinya, adalah hal yang menarik dan sayang dilewatkan.”

Araistasi menepukkan tangan. “Karena itulah Han bilang jangkauan untuk undangan untuk pertunangan ulang ini akan lebih luas! Umpan kali ini ditebar jadi jaring besar, bukan?”

“Tepat,” sambutku mengulum senyum. Cuma karena seseorang banyak bicara dan selalu kelihatan ceria berbunga-bunga, bukan berarti tidak ada isi dalam kepalanya.

Tapi kemudian, Araistasi menceletuk dengan nada kecewa, “Yah, sayang sekali, dong.”

Seketika, aku menoleh. “Apanya?”

“Narai batal jadi pasangan pengganti untuk Putri Lena.”

Untuk kedua kalinya, berkat orang yang sama, bisa kubayangkan yang barusan itu bakal membuatku menyembur dengan epik. Pelajaran yang bisa diambil; memang benar kalau kau tidak punya kebiasaan untuk minum sambil berjalan.

Sambil bicara dengan seseorang bernama Araistasi, lebih tepatnya.

“Sudah cukup candaan—“

“Wah!” pekik Araistasi mendadak. Tidak, itu bukan pekikan bernada seolah dia baru tersandung atau apa. Mau kubilang terdengar riang juga salah, nadanya lain dari standar keceriaan bunga-bunga gadis itu. Belum sempat aku bertanya, dia sudah berderap sendiri—langkahnya meloncat-loncat cepat, dan seakan menghampiri sesuatu.

Pokoknya, mana mungkin aku cuma melongo di tempat macam zombi. Berderap, kukejar gadis yang kelincahannya menjadi bahan rutukan untuk saat-saat begini. Bagusnya, kelebat rambut hitam-magenta miliknya tidak lenyap—sosoknya yang diselubungi jubah cokelat muda sepanjang selimut dari pangkalnya yang cuma di sebelah bahu, kutemukan tepat di percabangan jalan setapak.

“Narai,” panggilnya mendahuluiku. Kali ini, keseriusan menyelubungi suaranya yang rendah. Aku pun tidak punya pilihan selain menghampirinya—yang ternyata sungguhan menghampiri sesuatu, sampai berlutut di depan sebatang pohon berakar mencuat. “Lihat ini!”

Aku menjatuhkan lutut di sebelahnya, dan mengunci atensi pada apa yang ada di telapak tangan kanannya. Sesuatu yang kusam, tapi tidak tampak lapuk—kelihatan jelas bahwa debu-debu yang menempelinya itu masih baru, sama sebab dengan serpih tanah di sekujurnya.

“Roda gigi bersepuh emas,” cetus Araistasi, menyuarakan benakku. “Dari pola geriginya, ini bukan bagian dari suatu peranti. Lalu ukuran dan emasnya ... ini simbol dari lencana kerajaan Lumuxin, bukan?”

Aku mengerjapkan mata, meminta roda gigi yang, yah, cuma berupa sekeping logam bundar berpinggiran gerigi—selayaknya roda gigi, kau tahu—yang besarnya tak jauh berbeda dengan lingkaran dari tempelan ujung jari telunjuk dan jempolku. Warnanya emas, kemilaunya yang jelas setelah kubersihkan dari tanah, membuktikan kadar kemurniannya yang tinggi.

Sedikit berita bagus, tak ada riasan tidak mengenakkan apa pun di roda gigi ini—seperti, ya, noda darah nan merah. Atau barangkali ukiran kata-kata kutukan yang bisa saja tidak sengaja kulafalkan.

Banyak berita yang kurang bagus ... pikiranku langsung berpusat pada nama kerajaan dari mulut Araistasi barusan.Kerajaan Lumuxin. Dengan warna khas kerajaan yang hampir serupa dengan warna mata Araistasi, yakni jingga yang begitu pas—tak terlalu mencolok mata ataupun terlalu suram—Lumuxin adalah kerajaan paling berpengaruh terbesar kedua setelah Raharnias.

Rahasianya adalah, Kerajaan Lumuxin merupakan tanah bernaungnya teknologi paling maju. Meski tidak sampai bisa memberiku smartphone yang sungguhan smart supaya bisa kukirimkan pesan SOS ke dunia nyata. Ya, supaya ada yang menjemput Manda balik ke sana.

Lumuxin adalah bukti yang berwujud kerajaan, bahwa teknologi di dunia fantasi tetap bisa membuatmu terpana, meski tanpa sihir ataupun smartphone.

Nah, itulah kenapa ini jadi berita yang kurang bagus. Teknologi adalah tombak umat manusia yang kuat. Dan sekeping roda gigi khas Lumuxin yang tertinggal jatuh di jalur setapak berbatasan bentang hutan, yang jarang digunakan ....

“Narai,” panggil Araistasi lagi. “Apa ini berarti, Lumuxin yang—“

“Araistasi,” panggilku balik. Sebagai Narai, yang ketenangannya bisa keterlaluan sekali, aku menggelengkan kepala perlahan. Barusan itu bukan bagian serupa dengan benakku yang pantas disuarakan Araistasi. “Tenanglah. Itu belum tentu. Kita tidak tahu apa memang Lumuxin yang menjatuhkan ini, apa yaang menjatuhkan ini sengaja atau tidak ... tapi pertama-tama, kita akan mengantongi dan membawanya pada Hancya.”

Aku berpura-pura tidak tahu betapa ini sangat menggangguku.

Mau tahu? Seharusnya, bukan Lumuxin yang mencari gara-gara paling pertama. []

▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎

Instagram: (at)Azza_Fatime
Karyakarsa: AzzaFatime

σ(o・ω・o)

Stay Staring Happy EndingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang