Extra 5.2

1.8K 119 38
                                    

Wajib baca writer's note di bawah, ya! Serius /ᐠ。ꞈ。ᐟ\

***

Helia duduk di meja makan dengan suasana hati yang aneh. Bukan, bukan aneh. Lebih tepatnya, asing.

Helia terbiasa memakan makanannya di meja makan hanya berdua saja. Helia dan kakak laki-lakinya, Demian.

Akan tetapi, ada satu variabel baru yang bergabung di meja makan pada sarapan kali ini. Terlebih, raut wajah dan ekspresi yang digunakan oleh pria itu tetap saja tidak membuat Helia merasa terbiasa.

Dulu, satu-satunya hal yang selalu diterima Helia dari hubungan timbal balik antara dia dan pria itu biasanya hanyalaj rasa sakit. Akan tetapi, ada kehangatan baru di tiap gerak-gerik Holland. Kini, ada afeksi, ada kelembutan, dan ada kasih sayang yang tercipta dari sorot hangatnya.

Helia melirik Demian yang duduk berhadapan dengan Helia. Demian sedang berbincang ringan dengan Holland yang duduk di ujung meja, menandakan kekuasaan Floral ada di bawahnya.

Demian tidak tampak canggung. Keduanya bicara dengan santai dan membicarakan banyak hal, bahkan hal-hal yang tidak penting. Padahal dulu

Biasanya, Helia akan merasakan kebencian di tatapan Demian terhadap Holland. Namun, kini semua sorot itu menghilang. Itu adalah sorot yang dipancarkan oleh putra yang memiliki kehidupan normal dan bahagia bersama ayahnya.

"Helia, kenapa kamu tidak makan, Sayang?"

Helia terlonjak pada nada penuh afeksi itu.

Helia hanya tersenyum kaku pada Holland yang menatapnya khawatir. Kini, Demian pun memberikan atensi padanya.

"Apa makanannya kurang cocok di lidahmu, Helia?" tanya Demian. "Aku bisa meminta pelayan untuk membuatkanmu yang baru."

Demian bersiap-siap memanggil pelayan sebelum suara Helia menginstrupsi.

"Tidak! Saya baik-baik saja, Ayah. Dan terima kasih, Kakak. Tapi makanannya lezat sekali dan cocok di lidahku."

Helia melayangkan senyuman cerah.

Akan tetapi, suasana di meja makan malah kembali berubah. Itu berubah menjadi ... suram.

Helia seolah bisa melihat telinga anjing yang melemah di kepala ayahnya, ekspresi wajahnya juga tampak suram, seolah kabut berkumpul di sekitarnya.

"A-Ayah? Ada apa? Apa saya mengatakan hal yang salah?"

Holland menggigit bibirnya sedih. "Helia, kenapa kamu bicara formal pada Ayah?"

"Eh?"

Helia mengerjap. Bicara formal? Bukankah itu memang wajib dilakukan oleh Helia?

Semenjak kecil, Helia selalu bicara dengan nada dan kalimat yang formal terhadap Holland. Itu karena Holland memerintahkan Helia untuk melakukannya. Holland melakukan itu agar jarak di antara Holland dan Helia terlihat jelas dan untuk mendeskripsikan betapa kakunya ayah dan anak itu. Sebab, bagi Holland, dinyatakan sebagai ayah dari Demian dan Helia adalah sebuah aib. Di mana ibu dari Demian dan Helialah yang merupakan titik awal dari seluruh pertentangan dan seluruh penderitaan yang dialami kedua anak itu.

"Benar, Helia. Kenapa kamu bicara formal pada Ayah?" tanya Demian dengan bingung.

"A-Apa itu salah?"

Holland bangkit dari kursinya. "Tentu saja itu salah, Helia. Kamu adalah putri kesayangan Ayah, jadi kamu tidak perlu bicara formal pada Ayah, Sayang. Kamu adalah kesayangan Ayah."

Dalam satu gerakan, Holland mampu mengangkat tubuh Helia yang berusia tujuh tahun ke dalam gendongannya.

"A-Ah! Ayah, apa yang Ayah lakukan?"

Holland hanya terkekeh kecil, sesekali mengecup rambut Helia dengan gemas. "Kesayangan Ayah. Dan Demian juga. Jadi, kalian berdua tidak perlu bicara dengan formal pada Ayah. Jika kamu bicara formal pada Ayah, maka Ayah akan merasakan jarak di antara kita melebar, Helia. Dan kita akan terasa seperti bukan ayah dan anak. Ayah akan sedih."

Helia terenyuh. Hatinya meleleh karena hangat. Ada sesuatu yang penuh di dadanya, itu adalah keserakahan terhadap kasih sayang yang belum pernah Helia rasakan sebelumnya.

Holland yang Helia kenal adalah pria yang dingin dan kolot, bukan pria yang lembut dan pengertian seperti Holland yang sekarang.

Akan tetapi, Helia merasa bersyukur. Jikapun ini adalah mimpi, Helia akan tetap merasa bersyukur. Sebab, Tuhan telah memberikan kepada Helia kesempatan untuk dicintai ayahnya sendiri. Sesuatu yang telah Helia dambakan semenjak dia bisa belajar berjalan dan bicara. Sesuatu yang telah Helia jadikan obsesi sebagai rasa sukanya kepada Allan. Sesuatu yang Helia harapkan hingga dia mati.

Visi Helia memburam. Lalu, tes, tes. Dia menangis lagi.

Kali ini, Demian bahkan menghampiri Helia dan menanyakan apa ada yang salah dengan nada khawatir dan panik.

Holland tidak kalah paniknya. Dia memeluk erat tubuh Helia, saking eratnya, Helia merasa sesak. Alih-alih malah, Helia justru makin menenggelamkan wajahnya di dada Holland.

"Ayah, Helia sangat-sangat sayang pada Ayah. Jangan tinggalkan Helia."

Mendengar kalimat tersebut dari bibir putrinya membuat Holland tersenyum lembut.

"Tentu saja, Sayang, Putri Kesayangan Ayah. Ayah juga sangat-sangat mencintai Helia dan Demian."

***

Luna di sini lagi! Terima kasih sudah membaca, ya. Nah, sekarang aku mau minta pendapat kalian, nih.

Banyak yang minta untuk LMYM dilanjut, tapi aku bingung untuk pilih transmigrasi atau ulang waktu? Jadi aku minta vote kalian di sini untuk pilih ide mana, pilih Helia dijadiin tubuh transmigrasi dan punya jiwa asing atau Helia mengulang waktu dengan tubuh dan jiwa yang sama.

Gimana? ꒰⑅ᵕ༚ᵕ꒱˖♡ Tolong dipilih, ya, sampai jumpa nanti!

10 September 2022

END | Look at Me, Your Majesty! [E-book]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang