Toxic - 15.

16.5K 1.7K 121
                                    

"Bangun, Jerga! Jevano terluka!"

"Jerga, kamu mau membiarkan Jevano mati begitu saja? Bangun!"

"JERGA!"

Dengan nafas menderu Jerga membuka matanya. Ia langsung mendudukkan dirinya. Ia berusaha mengatur nafasnya yang entah mengapa terengah engah. Suara aneh yang menyuruhnya bangun kini sudah berhenti.

Ia menoleh ke sekelilingnya. Baru menyadari jika sekitarnya gelap gulita. Ruangan tempat ia terbangun sangat minim penerangan. Ia bisa mengetahui ini sebuah kamar. Tapi ia sama sekali tidak dapat mengetahui dengan jelas ada dimana dirinya.

Ia beringsut turun dari tempat tidur lapuk itu. Ia baru menyadari jika kakinya tidak mengenakan alas kaki sama sekali. Mendapati jika pintu kamar terbuka membuat ia penasaran. Jerga melangkahkan kakinya, membuka pintu itu perlahan.

"Oh, udah bangun?"

Suara yang familiar menyapa indra pendengaran Jerga. Membuat laki laki itu langsung menatap ke sekelilingnya waspada. Siluet seseorang keluar dan kegelapan. Membuat Jerga langsung mengepalkan tangannya. Menatap laki laki itu tajam.

"Jayden."

"Hi, Jerga. How'd you feel? Terbangun di alam tempat trauma lo?"

Jerga menatap Jay yang memiliki banyak noda darah di pakaian dan wajahnya tidak mengerti. Apa maksudnya?

Jerga memundurkan dirinya ketika Jay berjalan mendekati. Jay tersenyum kecil. Merentangkan kedua tangannya. Secara tiba tiba tempat di sekitarnya berubah menjadi terang.

"Welcome, to your trauma Jerga"

Jerga menahan nafasnya. Melihat pemandangan sesisi rumah yang familiar. Rumah neneknya.

"And you know what more traumatizing is?"

Langkah pelan kembali terdengar. Bukan Jay, melainkan seorang perempuan tua dengan wajah dingin. Menatap Jerga tajam. Membuat Jerga hampir tersedak air liurnya sendiri. Itu neneknya.

"Apa yang-"

Jerga semakin memundurkan badannya, menjauhi sang nenek yang terus berjalan mendekat ke arahnya. Ini tidak mungkin. Neneknya, Martha sudah meninggal 2 tahun lalu.

"Halo bocah nakal"

Masih setia dengan wajah dinginnya. Sang nenek tersenyum kecil. Senyum yang selalu Jerga dapatkan ketika wanita itu akan 'menghukumnya'

Jerga meneguk air liurnya kasar. Ia sudah terpojokan. Sementara itu Jay menyeringai di sana. Menatap Jerga seakan akan ia adalah mainanya.

"Have fun Jerga, gue mau jemput Jevano, lagi."

"Lagi? BRENGSEK, LO APAIN JEVANO?!"

Jay yang sudah berbalik dan hendak melangkahkan kakinya pergi menolehkan wajahnya. Tersenyum simpul.

"Gue ga apa apain, tapi cukup buat dia masuk ke rumah sakit, rawat inap."

"Bajingan—"

Ucapan Jerga terpotong oleh tamparan tepat di wajahnya oleh Martha. Ia jatuh tersungkur. Merasakan pipinya yang panas dan berdenyut nyeri.

"Urusanmu dengan ku sekarang, bocah"

***

Jay mendudukan dirinya di sofa rumah tua itu. Kepalanya terasa sakit setelah berkomunikasi dengan Jerga. Biarkan saja, orang itu sudah tertidur selama 3 hari. Itu justru kejutan bangun tidur yang sangat bagus.

Ia melirik ke arah jam antik yang ada di sana. Ia sudah tertidur selama setengah jam lebih. Jay beranjak dari sana, menuju kamar tampat Jevano tidur. Atau lebih tepatnya pingsan.

TOXIC. [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang