Seorang lelaki tampan dengan seragam pilot melekat di tubuhnya, berlari menuju ruang UGD sebuah rumah sakit.
Dirinya memang baru tiba di rumah selepas penerbangan dari China. Tapi tiba-tiba saja, ibunya menelepon, memberi kabar yang tentu saja membuat Haruto takut, khawatir, sedih, cemas, semua bercampur jadi satu.
Sewaktu menelepon tadi, Mashiho tidak mengatakan apapun lagi selain "Haru, cepat ke rumah sakit. Jeongwoo pendarahan," bukankah itu hal yang membuatnya merasa takut, juga khawatir?
Hingga langkahnya terhenti di depan ruang UGD, tentu saja sudah ada Asahi dan Mashiho disana. Jangan tanya dimana Junkyu. Pria paruh baya itu sibuk bertugas sejak beberapa hari lalu.
"Ma, keadaan Jeongwoo gimana?" tanya Haruto seraya mengatur napasnya.
Mashiho menggeleng, "Jeongwoo masih diperiksa, Ru."
Haruto menjatuhkan tubuhnya di kursi tunggu. Mengusap kasar wajahnya. Hatinya terus saja mengucap berbagai doa untuk sang istri. Sama hal nya dengan Asahi dan Mashiho.
Hampir dua jam menunggu, dokter pun keluar dari dalam ruangan.
Haruto bangkit dari duduknya. "Gimana keadaan istri saya, dok?" tanyanya tidak sabaran.
Hei, bagaimana mau bersabar jika seperti ini? Pulang kerja seharusnya mendapat sambutan manis dari istrinya, ini justru mendapat kejutan tidak terduga.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, namun sayang sekali kandungannya tidak bisa diselamatkan. Akibat benturan keras, juga lemahnya janin, kandungan dari pasien Jeongwoo tidak bisa diselamatkan."
Mendengar penjelasan dokter, membuat Haruto tertawa miris dengan tatapan kosong.
Apa-apaan ini? Baru kemarin dia dan Jeongwoo merasakan bahagia layaknya pasangan pada umumnya. Namun sekarang?
Asahi hanya bergeming. Sedangkan Mashiho memeluk erat tubuh tegap Haruto. Mengusap punggungnya guna menenangkan pilot muda itu.
"Ma.. Anak Haru sama Jeje, Ma.. Gimana caranya Haru bilang ke Jeje nanti?"
-𝕸𝖞 𝕮𝖆𝖕𝖙𝖆𝖎𝖓-
Haruto masuk ke dalam ruang inap Jeongwoo. Iya, istrinya sudah dipindahkan ke ruang inap.Menarik kursi di samping brankar, dan duduk tepat di samping Jeongwoo. Menggenggam tangan si manis yang terbebas dari selang infus. Mengusapnya lembut, sesekali mengecupnya.
"Je.." panggilnya lirih.
Katakanlah Haruto cengeng, sebab tadi ia menangis setelah memakamkan anaknya. Sepertinya memang bahagia tidak pernah berpihak pada mereka, ya?
Diletakannya tangan Jeongwoo pada pipinya. "Je, aku bingung. Aku harus bilang apa nanti setelah kamu sadar?"
Entah apa yang harus ia jelaskan pada Jeongwoo nanti. Kejadian itu memang bukan salah Jeongwoo. Entah karena lantai tangga yang licin, atau mungkin Jeongwoo tidak sengaja tersandung kakinya sendiri, entahlah Haruto tidak tau. Tapi yang pasti, ia harus bisa menjelaskan pada Jeongwoo yang sebenarnya nanti.
Perlahan, jemari Jeongwoo yang ada dalam genggaman Haruto bergerak. Disusul dengan kerjapan mata tajamnya.
Jeogwoo tersadar, ia menoleh ke samping, dan mendapati Haruto dengan senyum manisnya.
"Hai, sayang.." ucapnya sebelum memberikan satu kecupan di kening si manis.
"H-haru.. Kenapa Jeje ada disini?" tanyanya.
Namun ia kembali menyadari, ada hal lain. Ia melepaskan genggamannya, lantas ia mendudukan dirinya, menyentak selimut dan mengusap perutnya.
"Haru, kenapa perut Jeje kosong? Haruu, anak kita mana?" tanyanya lagi dengan mata berkaca-kaca.
Haruto bangkit, memeluk Jeongwoo, mengusap pungggung sang istri, juga beberapa kali mengecupi surainya.
"Tenang ya, Je. Tenangin diri kamu dulu, baru aku jelasin, ya.."
"Haru.. Adek bayi, dimana?"
Haruto melepas pelukannya, menangkup pipi Jeongwoo, mengusap sisa air mata di pipi si manis.
"Adek ada, Je.."
"Iya ada di mana, Ru?!"
"Sama Papa Jae.."
Pecah sudah tangisan Jeongwoo. Anaknya meninggal? Tidak bisa diselamatkan lagi? Ini semua salahnya. Jika saja ia lebih hati-hati saat turun dari tangga, pasti tidak jadi seperti ini.
Haruto kembali mengusap punggung Jeongwoo, berusaha menenangkan si manis.
"Je, jangan gini. Mungkin memang belum saatnya kita punya bayi," ucapnya.
Jeongwoo mendongak, menatap ke Haruto. "Haru, aku minta maaf. Harusnya aku hati-hati waktu mau turun tangga. Aku-"
Haruto tersenyum, mengecup singkat bibir ranum sang istri. "Jangan salahin diri kamu sendiri, sayang. Istri aku ngga boleh sedih, nanti dedek bayi sedih juga lho, Je.."
Jeongwoo mengerucutkan bibirnya, namun tak ayal kepalanya mengangguk. "Huum, maaf. Haru, aku mau ke tempat dedek, boleh?"
Haruto terkekeh, ia mendekap erat tubuh istrinya. "Boleh, sayang, boleh. Tapi kamu harus pulih dulu, ya. Nanti kita jenguk adek."
Jeongwoo tersenyum tipis mendengarnya. Ia sungguh bersyukur mendapatkan Haruto sebagai suaminya.
"Makasih, Haru..."
...
Hai, hai..
Hows ur day, guys?
Maaf ya baru bisa up lagi. But i hope y'all never bored with this story..
See u on the next chapter 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
My Captain
Teen FictionCerita lanjutan dari Our Captain dan Our Captain 2. Trilogy of Captain Series.