Entah ada angin mana yang menghempas sisi jahat Brillian. Aleesha mungkin berlebihan berpikir begitu. Tapi, Brillian membebaskannya dari pekerjaan setelah sebelumnya selalu memberinya setumpuk tugas adalah hal paling mencurigakan. Aleesha bukan bermaksud untuk berpikiran buruk. Tapi, ia cuma waspada. Makanya sejak tadi, Aleesha terus memperhatikan Brillian.Duduk di ruang kerjanya, cowok itu tengah memainkan komputernya. Aleesha mengintip dari celah pintu. Memyipitkan mata, memandang saksama sejak hampir setengah jam lalu. Brillian masih belum bergerak dari kursinya. Cowok itu kentara sibuk. Padahal di rumah.
Merasa capek, Aleesha menegakkan punggung. Ia berbalik, membelakangi pintu dan tembok ruangan Brillian. Harusnya ada rapat pukul 2 siang nanti. Harusnya Aleesha menyiapkan semuanya. Tapi, sejak tadi Brillian kentara sibuk. Terlalu sibuk untuk sekadar menyapa aja.
Aleesha berputar 180 derajat. Hendak mengintip cowok itu lagi. Tapi, sedetik kemudian Aleesha nyaris terjungkal mendapati Brillian di depannya. Cowok itu menyedekapkan tangan. Memberi pandangan dingin pada Aleesha.
"Ngapain kamu ngintipin saya?"
Menggelengkan kepala, Aleesha tersenyum kikuk. "Gak ada, Pak. Cuma ... mastiin aja Pak Bri baik-baik aja."
"Maksud kamu, kamu mau mastiin apa pekerjaan saya tercecer gara-gara gak ada kamu? Kamu mulai ngerasa kepedean ya kerja sama saya? Kamu ngerasa kamu itu emang paling dibutuhkan, gitu?"
"Gak gitu, Pak. Saya cuma gak enak karena Bapak kelihatan lebih sibuk setelah Bapak meliburkan saya." Cewek itu menekan kalimatnya, menegaskan agar Brillian bisa membuka lebar pikiran sempitnya. Bisa-bisanya cowok itu selalu berpikir buruk tentang Aleesha.
"Jadi, intinya kamu tetep mau bilang pekerjaan saya bakal kacau tanpa bantuan dari kamu? Kamu ini emang makin kepedean, ya." Brillian menunduk, menatap Aleesha merendahkan.
Aleesha menghela napas. Dia harus ingat. Kesabaran adalah hal penting saat berhadapan dengan Brillian.
"Maksud kamu ngehela napas berat kayak gitu apa?" Brillian senewen. Tersentak, Aleesha hanya melipat bibir ke dalam dan memggeleng pelan. Brillian memandangnya sengit. "Bakal lebih baik kalau kamu menghilang dari hadapan saya."
Aleesha mencebik dalam hati.
"Hush!" Brillian menggerakkan dagunya, mengusir.
"Tapi, Bapak beneran gak butuh bantuan? Saya masih bisa ker–"
"Ayo, kita ke rumah sakit!"
"Gak mau!" Aleesha histeris. Mundur sejauh yang dia bisa. Cewek itu menatap horor pada Brillian. Melihat reaksi sekretarisnya, Brillian mendengkus. Melayangkan tatapan penuh selidik. Menyorot Aleesha dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Sebenernya apa yang buat kamu segitu takutnya sama rumah sakit?" heran Brillian. Menelengkan kepala, membero sorot bertanya pada cewek di depannya. Dia melanjutkan,"Kamu di sana bakal diobati, bukan dibunuh, paham?"
"Ya–, ya pokoknya saya gak mau ke rumah sakit. Apalagi sama Bapak."
Kedua kelereng Brillian mengecil, ia memicing tajam pada Aleesha. Dengan ngegas, ia berkata, "Apa? Jadi, kamu menganggap pergi sama saya itu musibah buat kamu?"
Aleesha mengerutkan dahi. "Kok jalur bicara Bapak malah belok ke situ, sih? Saya gak bilang Bapak pembawa musibah."
Brilian menunjuk. Melangkah dua kali mendekat ke saah Aleesha. Sedang cewek itu terus mundur menjaga jarak aman. "Itu! Kamu bermaksud bilang kayak gitu, kan, barusan?"
Berdecak, Aleesha membalas kesal, "Enggak, Pak. Bisa gak, sih, nethink-nya dikurangin dikit sama saya?"
"Enggak bisa. Sikap kamu selalu bikin saya curiga sejak awal."
KAMU SEDANG MEMBACA
GIRL IN SUIT (SUDAH TERBIT)
RomanceAleesha Wijaya rela menyamar sebagai laki-laki dan menjadi sekretaris Brillian Langitra, CEO perusahaan saingan sang kakak, Keandra, untuk mengulik informasi dan menjatuhkan perusahaannya. Demi sang kakak yang selama ini membencinya, Aleesha bahkan...