Aleesha meneguk ludah.Sial, sial, sial. Bisa-bisanya ia selalu dihadapkan situasi yang sama. Aleesha tidak paham. Kenapa semesta terus mengujinya seperti ini? Melihat Brillian untuk kesekian kalinya shirtless membuat bulu kuduk Aleesha meremang. Ia bergidik. Aleesha bahkan tidak berani menatap ke arah cowok yang baru saja melepas kemejanya itu.
Menunduk, mundur beberapa demi menjaga jarak aman, punggung Aleesha membentur dinding. Brillian menoleh. Menaikkan sebelah alis melihat gerak-gerik sekretarisnya yang aneh.
"Kamu ngapain mundur-mundur?" Brillian melepas kemejanya. Memutar badan sepenuhnya menghadap Aleesha. Memperlihatkan dada dan otot perutnya terang-terangan. Aleesha langsung membuang muka. Bernapas dengan bibir terbuka. Melihat Brillian begini, ia seolah kehabisan udara.
"Sini." Brillian memerintah. Aleesha menatap cowok itu ragu-ragu. Namun, pada akhirnya, Aleesha tetap menurut setelah diberi pelototan tajam sang bos.
"Ke–kenapa, Pak?"
"Kamu mikir apa?" Brillian memicingkan mata. Aleesha berdiri dua meter di depan Brillian. Menggelengkan kepala dua kali. Sayang, Billian tidak percaya. Ia maju selangkah, mempertipis jarak. "Kamu gak mikir saya gay dan bakal nerkam kamu, kan?"
Aleesha menggeleng keras.
Brillian berdengus. "Bukannya udah saya bilang. Saya normal. Walaupun gak tertarik sama perempuan, saya lebih gak sudi berhubungan sama sesama pisang."
Pisang apaan, anjir?! Batin Aleesha histeris.
"Tolong ambilin salep dalam laci." Brillian meminta, menunjuk dengan dagu ke arah laci nakas di sebelah ranjang. Aleesha buru-buru membukanya, mengambil obat yang diminta dan menyerahkannya pada Brillian.
Brillian duduk membelakangi Aleesha. Memperlihatkan punggungnya yang memerah. "Tolong."
Tidak ada jawaban dari Aleesha. Merasa luka Brillian lumayan parah, Aleesha segera duduk di tepi kasur. Membuka obat itu, mengoleskannya pelan-pelan ke luka Brillian. Brillian menundukkan kepala, sesekali meringis. Membuat Aleesha dilanda khawatir.
"Bapak gak mau ke rumah sakit aja?"
"Gak perlu." Brillian menolak untuk lagi dan lagi. Aleesha berdecak dalam hati. Bosnya ini keras kepala sekali. "Ini bukan luka yang parah."
"Tapi, Bapak kesakitan."
"Saya gak akan kesakitan kalo gak luka. Yang namanya luka pasti sakit. Sekecil apa pun itu."
Aleesha mengangguk, membenarkan perkataan Brillian. Ia diam, melanjutkan aktivitasnya mengobati Brillian. Begitu selesai, Aleehaa tersenyum puas. Menutup kembali salep di tangannya lantas menyimpannya kembali dalam laci.
"Udah, Pak. Masih sakit?"
"Salep ini gak akan kerja secepet itu." Brilian melirik jengah Aleesha. Cewek itu menggembungkan pipi.
"Ya, kan, cuma nanya aja, Pak. Kalau gitu saya balik ke kamar saya, ya, Pak. Mau istirahat."
"No. Ada berkas file yang harus kamu periksa dulu. Bisa?" Brillian memutar arah duduknya menghadap Aleesha. Lagi-lagi dengan kurang ajarnya memamerkan kotak-kotak itu pada Aleesha. Aleesha kembali mundur. Jaga jarak jaga hati.
"Tapi, ini udah malem. Besok aja gak bisa, Pak?"
"Justru besok mau saya pake. Gak banyak. Kamu ambil aja berkas di ruangan saya. Gak saya kunci. File-nya ada di atas meja, kamu bisa langsung ngerjain di sana."
Aleesha berdecak.
"Maksud kamu ngedecak apa? Gak terima?" Brillian bertanya seraya menyipitkan mata. Aleesha tersenyum, menggelengkan kepala buru-buru.
"Manggil cicak, Pak. Iya, gitu."
"Ya, udah sana. Selesaiin habis itu kamu boleh balik ke kamar kamu."
Semena-mena!
Aleesha cuma bisa menyuarakannya dalam hati. Ia mengangguk pasrah. Lalu berbalik, keluar dari kamar Brillian. Cewek itu mendelik ke arah pintu yang barusan ia tutup. Semua rencana Aleesha untuk menyegarkan pikiran kacau. Pertama cowok itu menganggu ikut keluar bersama. Lantas sekarang memberi tugas seenak jidat.
Tidak ada pilihan lain. Cewek itu mau tidak mau melangkahkan tungkai-tungkai kecilnya menuju ruangan kantor pribadi Brillian. Ia membuka pintu, berjalan masuk dan duduk di meja kerja Brillian. Aleesha mengambil berkas file di atas meja. Membukanya membacanya beberapa lama.
"Hah? Kontrak kerjasama sama Perusahaan Jang Group?"
Aleesha membelalak. Dia membuka halaman demi halaman. Membacanya saksama. Perusahaan Jang Group. Perusahaan besar yang ada di Indonesia. Pemilik pertambangan terbesar. Aleesha tidak menyangka Brillian akan benar-benar semudah itu merayu CEO Jang Group untuk menjalin kerjasama.
"Brillian Langitra. Kekuatannya emang gak pernah ada yang tahu." Aleesha berdecak. Dia mengambil file lain. Lalu membukanya dan kembali membacanya.
Aleesha kira hanya ada satu file yang mesti dia periksa. Tapi, nyatanya ada lebih dari lima file yang menumpuk di tengah meja. Brillian memang menyebalkan.
Lama Aleesha berkutat dengan file laporan perusahaan, perlahan rasa kantuk menyapanya. Seolah mengusap-usap kepala Aleesha, meninabobokan cewek yang menyangga dagu dengan satu tangannya itu. Aleesha berkedip beberapa kali. Ia melepas kacamatanya. Melipat dan menaruhnya di sudut meja.
Aleesha menidurkan kepala. Tangamnya masih memegang laporan. Namun, pelan-pelan matanya terpejam. Dan kesadaran Aleesha mulai menghilang.
"Alex, apa kamu udah sele–?" Brillian menggantungkan pertanyaannya menyadari Alex tertidur di mejanya. Brillian menghela napas. Menghampiri, berdiri di seberang meja. Brillian memangil, "Alex, kembali ke ruangan kamu."
"Ngh." Aleesha melenguh.
Brillian mengernyitkan dahi. Lantas kembali menghela sabar. Dia mengambil alih laporan di tangan Aleesha. Membawanya semua ke meja setinggi lutut dalam ruangan itu. Brillian duduk di sofa tunggal. Menggantikan tugas Aleesha, Brillian mulai membukai file-file perusahaannya.
"Hah, gini banget punya sekretaris." Brillian berdecak. Ia menolehkan kepala. Dark jarak sekitar tiga meter, Brillian mampu melihat wajah Aleesha. Ia mencerap baik-baik wajah itu. Tanpa sadar Brillian menelengkan kepala, menyilangkan kaki, dan menyangga dagu.
"Dia ... kok kelihatan manis?" Brillian bergumam. Sesaat tersadar, Brillian menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menepuk pipinya dua kali. "Sadar, Bri! Sadar! Lo boleh ngebenci cewek tapi jangan belok juga, Sat?!" Brillian menepuki pipinya berkali-kali.
Brillian meraup wajahnya. Menumpukan kedua siku di atas lutut. Memejamkan mata. Ada apa dengan Brillian? Kenapa sikapnya akhir-akhirnya agak berbeda dengan sebelumnya?
"Ngh, Mama."
Brillian menoleh. Aleesha tampak tidak tenang dalam tidurnya. Dahinya mengerut. Ada bulir-bulir keringat mulai terbentuk si dahinya. Brillian masih diam di sofa dia berada. Sampai melihat tangan Aleesha bergerak. Berusaha menggapai sesuatu. Cewek itu masih belum bisa tenang.
"Ma...."
Brillian berdiri, mendekat ke arah Aleesha. Ragu sejenak, namun akhirnya Brillian kalah. Dia meraih tangan mungil itu. Menggenggamnya. Brillian tersentak merasakan tangan Aleesha yang mengerat. Semakin menggenggam tangan besar miliknya dan membuat jantung Brillian berdegub kencang.
Di saat Aleesha mulai tenang, Brillian malah dilanda gusar. Dia menatap tangan mereka berdua.
Kenapa Brillian merasa ada yang berbeda? Tangan Aleesha begitu kecil seakan pas di tangan Brillian. Brillian yakin seandainya ia mengeratkan sedikit tangannya, maka jari-jemari mungil itu akan hancur.
Brillian menarik tangannya. Berusaha mengurai genggaman tangan mereka. Tapi, Aleesha tidak membiarkan. Cowok itu terus mencoba melepas tangannya. Namun, Aleesha kembali melenguh. Malah menarik tangan Brillian dan menjadikannya bantal.
"Hangat...."
Brillian memalingkan muka. Mendesah kasar. "Sial, kenapa gue deg-degan, sih?"
***
Hai, gimana sama part ini? Vkte dan komentar dibutuhkan. Jangan lupa follow akun saya juga.
Pye-pye!
![](https://img.wattpad.com/cover/315141772-288-k15857.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
GIRL IN SUIT (SUDAH TERBIT)
RomansaAleesha Wijaya rela menyamar sebagai laki-laki dan menjadi sekretaris Brillian Langitra, CEO perusahaan saingan sang kakak, Keandra, untuk mengulik informasi dan menjatuhkan perusahaannya. Demi sang kakak yang selama ini membencinya, Aleesha bahkan...