13. Tumbang

1.1K 107 2
                                    


Sudah tiga hari sejak Aleesha membakar dalamannya. Mau tidak mau, ia harus membeli dalaman laki-laki. Aleesha tidak mau mengambil risiko. Tidak ada yang tahu suatu hari nanti Brillian akan mengubrak-abrik isi lemarinya. Cowok seenak jidat itu benar-benar meresahkan.

Namun, tiga hari ini hidup Aleesha agak damai. Brillian jarang keluar dari ruangannya kecuali untuk meeting. Brillian masih suka mengomel. Tapi, kadarnya agak berkurang. Aleesha sih bersyukur. Setidaknya ia tidak mendengar celoteh sinis dan arogan dari cowok itu.

Jam sudah menunjukkan waktu malam. Aleesha merentangkan kedua tangannya. Dia menelengkan kepala ke kanan dan kiri bergantian. Akhirnya pekerjaan selesai. Leher Aleesha rasanya akan putus menghadap laptop seharian. Sesaat, menyadari Brillian belum keluar dari ruangannya, Aleesha bangkit dari kursi. Berjalan mendekat, tangannya kemudian mengetuk pintu tiga kali.

"Masuk!" Terdengar suara dari dalam. Aleesha membuka pintu, mendapati sang bos masih duduk berkutat dengan laptopnya. Aleesha melangkah masuk, berdiri di seberang Brillian.

"Pak, ini sudah malam-"

"Saya gak buta." Brillian memotong sinis. Aleesha beristighfar dalam hati. Ia bahkan belum menyelesaikam kalimat pertamanya. Brillian mendelik pada Aleesha sekilas sebelum akhirnya mengangkat wajah. "Kenapa? Saya masih sibuk, jadi bisa kamu menghilang dulu dari pandangan saya?"

"Ini sudah malam, Pak. Bapak belum makan sejak siang tadi. Mau saya belikan makanan untuk Bapak?"

"Alex, tolong. Masih banyak kerjaan yang mesti saya urus. Kamu boleh pulang lebih dulu." Brillian menolak keras. Meraih laporan dari rak di sebeah mejanya, membacanya sejenak sebelum akhirnya kembali duduk. Aleesha mengulum bibir. Tersenyum tipis.

"Kalau begitu, saya keluar dulu."

Brillian melirik lewat kelopak mata. Aleesha sudah berbalik dan menghilang di balik pintu. Brillian meletakkan laporannya. Ia menyandarkan punggung, jemarinya memijat pelipisnya yang agak berdenyut. Bahkan mata Brillian mulai perih. Sudah tiga hari ia tidak tidur. Kepala Brillian agak pening.

Di luar, Aleesha kembali mendudukkam diri di kursinya. Ia menatap pintu ruangan Brillian. Aleesha ingin pulang dan istirahat. Tapi, tidak mungkin ia mendahului Brillian. Meski cowok itu sudah mengizinkan, tapi Aleesha tidak tega. Ia mampu melihat jelas wajah penat Brillian. Kantung matanya yang kelihatan agak gelap, wajahnya yang sedikit pucat. Aleesha khawatir Brillian akan jatuh sakit.

Aleesha membuka ponselnya, memainkam permainan teka-teki demi membuang waktu. Menunggu Brillian hingga ia selesai dengan pekerjaannya. Ia melepas kacamatanya. Menaruhnya di atas meja. Aleesha memilih menyimpan kembali ponselnya. Waktu baru menunjukkan pukul delapan lebih. Namun, mata Aleesha sudah memberat. Ia menelungkupkan kepala di atas lipatan tangan. Memejamkan sepasang kelopak matanya.

Sampai tiba-tiba terdengar suara jatuh dari ruangan Brillian, membuat Aleesha kembali menginjak alam sadar. Cewek itu mengangkat kepala, berkedip dua kali. Tanpa aba-aba, ia segera masuk dalam ruangan Brillian. Melupakan kacamatanya di sudut meja.

Dalam ruang itu, Aleesha mendapati Brillian berpegangan pada rak. Beberapa buku besar jatuh di bawah kakinya. Sompoyongan, cowok itu kelihatan akan jatuh. Aleesha segera berlari, menangkap tubuh berat itu susah payah, Aleesha menyeret Brillian hingga terduduk di kursinya.

"Pak, Bapak gak apa-apa?" Aleesha bertanya khawatir. Wajah Brillian semakin pucat. Napasnya mulai terdengar tidak beraturan. Tidak sengaja memegang tangan Brillian, Aleesha tergugu saat sadar permukaan kulit cowok itu agak hangat. Aleesha lantas menempelkan telapak tangannya ke kening Brillian. "Bapak sakit?"

Brillian menepis tangan Aleesha. Dia menatap dingin cewek itu, lantas berusaha berdiri tertatih. "Saya gak sakit."

"Tapi, Bapak demam."

GIRL IN SUIT (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang