UM--21

1.5K 54 3
                                    

Hiii!
Semangat puasanya hari ini 💜
Happy Reading!!!

****

Memilih pendamping hidup tidak semudah yang dibayangkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Memilih pendamping hidup tidak semudah yang dibayangkan. Bak sepatu Cinderella yang tertinggal, memilih pasangan harus benar-benar penuh pertimbangan.

Dalam hal mencintai dan dicintai, kedua pasangan harus benar-benar memantapkan hati. Saling berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang diyakini.

Selain itu, setiap langkah yang dipilih tentunya tidak jauh dari ridho sang Pencipta. Sebab, karena ridho-Nya kemudahan akan didapatkan dan dijauhkan dari marabahaya. Maka dari itu selalu libatkan Allah SWT dalam setiap urusan.

“Jika ia mendekat padaKu sejengkal, Aku mendekat padanya sehasta, Jika ia mendekat padaKu sehasta, Aku mendekat padanya sedepa, dan jika ia datang kepadaKu dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan cepat. (HR. Bukhari)

6.30 wib.

Rintik-rintik gerimis membersihkan butiran debu di kawasan Aşkım Nur. Para penghuni Aşkım Nur juga sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Begitupula Novia, sudah beberapa hari terakhir ia menempati asrama ustadzah sendirian karena Putri masih belum kembali ke pesantren. Setelah merapikan pakaiannya, ia membawa buku LKS dan map biru berisi CV ta'aruf yang akan ia kembalikan.

"Assalamu'alaikum," ucapnya saat tiba di ruang guru. Tidak ada jawaban atas salam yang ia berikan karena belum ada seorang pun di sana. Novia melangkah menuju mejanya, ia menarik nafas sembari meyakinkan hatinya untuk mengembalikan map tersebut.

Dari kejauhan seseorang mendekat ke ruangan. Sama seperti yang dilakukan Novia sebelumnya, ia mengucapkan salam dan menuju ke ruangannya dengan mengabaikan Novia yang fokus membaca materi pelajaran.

"Wa'alaikumsalam," batin Novia dan berhenti sejenak menetralkan perasaannya.

Novia pov.

Apakah perasaan ini pantas di perjuangkan? Sementara, hanya ada satu hati yang menginginkan hati yang entah diberikan atau tidak untuk ditempati.

Pagi selalu begini, bercanda pada situasi pada hati yang menyendiri. Bukan maksudku untuk berduaan seperti ini. Lillahi, aku hanya ingin menepati tugasku menjadi guru yang datang tepat waktu.

Aku melirik ke arah ruangan ustadz Bilal. Terlihat samar-samar, ia sedang membaca buku seperti biasanya. Ya Allah, apakah akan ada masanya sepasang mata itu menatap mata ini dengan penuh kedamaian?

Astaghfirullah, dengan cepat aku memfokuskan kembali pikiranku. Ya Allah maafkan aku.

Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 7 kurang. Para guru mulai berdatangan termasuk pak Firdan.

Saat lonceng berbunyi, guru-guru segera melangkah untuk memasuki kelas mereka. Aku segera menghentikan pak Firdan yang juga akan segera memasuki kelas.

"Afwan pak Firdan. Ada yang mau saya sampaikan." ucapku sembari melihat para guru yang sepertinya tidak mempedulikan kami.

"Ada apa ustadzah? Apakah ustadzah sudah memutuskan?" tanya pak Firdan yang sudah tau maksud dan tujuanku.

Aku mengulurkan map biru pada pak Firdan. "Maaf sebelumnya pak Firdan. Dengan berat hati saya kembalikan CV sepupu bapak. Saya sedang memantaskan diri untuk seseorang pak." ucapku setenang mungkin. Aku berharap pak Firdan tidak tersinggung dengan keputusanku ini.

Pak Firdan mengambil map yang kuberikan tersebut. "Oh iya tidak apa-apa ustadzah, mapnya saya terima. Ustadzah berhak untuk menentukan pendamping yang tepat." ucap pak Firdan sembari tersenyum.

"Terimakasih sebelumnya pak Firdan. Saya jadi tidak enak hati." ucapku seadanya. Aku benar-benar takut pak Firdan tidak menerima keputusanku dan berpikir bahwa aku tidak menghargai niat baik sepupunya itu.

"Santai saja ustadzah, lagipula saya pikir sepupu saya juga akan mengerti dengan keputusan ustadzah karena kalian belum pernah bercengkrama." ucap Pak Firdan. "Kalau begitu saya ke kelas dulu ya, jangan terlalu dipikirkan." pak Firdan mengakhiri perbincangan kami dan meninggalkan ruangan. Begitupula denganku yang menyusul pak Firdan untuk masuk ke kelas.

Belajar mengajar selesai begitu saja. Setelah mengucapkan salam, aku bergegas menuju ruang guru untuk menyimpan peralatan mengajarku terlebih dahulu. Selanjutnya, aku mengitari asrama putri sebelum kembali ke asramaku. Akhir-akhir ini aku merasa bosan karena sendirian di asrama. Sebagian waktuku dihabiskan untuk bercengkrama bersama bu Ani.

"Hari ini perbaikan gizi ya bu." ucapku yang melihat bu Ani memasak sambal ayam.

"Iya Via, biasalah kalau malam jum'at kan kita selalu perbaikan gizi." ucap bu Ani yang masih fokus memasak. "Via kalau mau makan ada nasi kuning di dalam kantong hitam, tadi ibu belanja sekalian beli dua untuk Via satu." tawar bu Ani.

Aku tersenyum mendengarnya, "Bu Ani emang paling the best lah, makasih loh bu." ucapku yang segera mengambil nasi kuning yang dibelikan bu Ani. Hampir setiap hari aku mengunjungi bu Ani dan tak jarang juga beliau membelikanku makanan.

"Andai aja bu Ani ada anak laki-laki, pasti Via udah daftar jadi calon menantu." ucapku sembari terkekeh.

"Sayangnya nggak ada ya Vi," bu Ani terkekeh membalas ucapanku. "Tapi kalau mau nanti kamu ibu kenalin sama ponakan ibu. Umurnya lebih muda setahunanlah sama kamu. Dia guru juga di sekolahan swasta." ucap bu Ani terlihat bersemangat.

Aku terkekeh mendengarnya, "Bu Ani bisa aja," aku memakan sampai habis nasi kuning yang dibelikan bu Ani.

"Beneran loh Vi, kalau kamu mau nanti ibu comblangin." perkataan bu Ani terdengar serius. Aku berdiri untuk mengambil air minum.

"Nggak usah bu, Via sedang memantaskan diri sekarang." aku meneguk segelas air sampai tak bersisa.

Bu Ani langsung mematikan kompornya, "Kamu sudah ta'aruf atau bagaimana Vi?" raut wajahnya terlihat begitu penasaran.

"Belum bu, Via lagi memperbaiki diri aja. Do'ain aja agar perjalanan jodoh Via lancar." ucapku sembari tersenyum. Aku berniat tidak berbicara dengan siapapun perihal keputusanku memantaskan diri untuk ustadz Bilal. Aku takut Allah tidak meridhoi pilihanku ini.

"Oh gitu, kirain kamu udah ada calonnya. Pokoknya apapun yang berkaitan dengan kamu selalu ibu do'akan. Kamu itu sudah seperti anak ibu sendiri Vi, jadi ibu mau kamu mendapatkan yang terbaik." perkataan bu Ani terdengar tulus dengan tatapan mata yang begitu damai.

"Terimakasih bu Ani sudah menjadi ibu untuk Via disini. Via juga medo'akan yang terbaik untuk bu Ani." aku menggenggam tangan bu Ani.

Setelah berbicara panjang lebar, aku meninggalkan bu Ani yang melanjutkan tugasnya. Tujuanku saat ini adalah asrama dan bersiap untuk sholat ashar berjamaah.

Sembari menunggu adzan berkumandang, aku membaca buku sastra yang tergeletak di atas mejaku. Selain memutuskan untuk memantaskan diri, aku juga memutuskan untuk tidak mengirimkan secarik kertas lagi. Bukannya berhenti menulis, aku menyimpan tulisan-tulisan tersebut didalam buku kecil. Aku ingin membedakan diriku dengan para santri yang mengirimkan berbagai paket pada ustadz Bilal.

Aku ingin memantaskan diri dengan sebaik-baiknya. Mendekatkan diri pada Pencipta bukan hanya pada ciptaanNya. Jika memang Allah ridho dengan niat baikku, maka semuanya akan berjalan dengan penuh rahmat dan kebahagiaan.

Bismillah, dengan izinNya aku memantaskan diri karena Allah.

****

Tolong tinggalkan jejak 👣

See you in the next part.....

Ustadz Muda √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang