|MSH 8| Kantin Sekolah

1.2K 105 89
                                    

Hanya kita yang mengerti, bagaimana orang lain pura-pura peduli. Karena tak ada yang paling mengerti di dunia ini, selain diri kita sendiri.
🌼🌼🌼
Happy Reading
Maaf kalau suka up telat ya.
Give me 50 komen
🌼🌼🌼

Bel istirahat sudah berbunyi lima menit yang lalu, seluruh siswa dan siswi tentu saja berjalan menuju kantin sekolah untuk mengisi perut masing-masing. Termasuk siswa di kelas 10 IPA 1. Keadaan kelas yang hanya menyisakan dua orang saja membuat Dinda sebagai teman Mentari bingung harus apa. Pasalnya sudah berapa kali ia mencoba untuk mengajaknya ke kantin, tapi tetap saja perempuan itu hanya terdiam sembari menatapnya.

"Ayo ke kantin," ajak Dinda yang memang sudah begitu lapar saat ini.

"Aku takut sama keramaian," balas Mentari pada teman barunya. "Kalau ada bunda sama ayah, mungkin aku berani keluar."

Dinda yang mendengar itu menatap teman sebangkunya. Sejujurnya ia bingung kenapa sang kakak meminta dirinya untuk berteman dengan orang aneh seperti Mentari, sampai sekarang bahkan yang ia ketahui adalah Mentari takut dengan keramaian itu saja tidak ada lagi. Namun ia berjanji pada diri sendiri, hari ini ia akan membuktikan apakah Mentari benar-benar takut keramaian atau tidak. Karena di dalam kelas pun sikapnya biasa saja tak ada yang membuatnya harus menjaga Mentari atau kakak nya harus membantu temannya ini.

"Ayo belajar sama gue. Gue yakin Lo pasti bisa," ajak Dinda sembari menarik tangan Mentari untuk ikut dengan dirinya.

"Tapi aku ---"

"Udah jangan banyak tanya, Lo harus bisa melewati ini biar gak terlihat lemah," sahut Dinda yang terus membawa Mentari menuju kantin sekolah.

Mentari hanya bisa pasrah menerima ajakan dari Dinda yang kasar menurutnya. Di koridor sekolah memang tak ada yang melihat dirinya, tapi begitu pintu kantin sekolah terbuka dan ia masuk ke dalamnya, ia sempat terhenti dan melepaskan genggaman tangan itu. Matanya menatap seisi kantin yang begitu ramai dengan banyak orang yang tentu saja sedang makan.

"Woy! Jangan di pintu. Lo pikir ini pintu nenek moyang Lo apa," tutur seorang pria bersama rombongannya. Rombongan itu termasuk Yuda yang melewati Mentari tanpa menoleh.

"Maaf, ya, kak," ucap Dinda sembari menarik Mentari untuk berada di sisinya, agar orang lain bisa melewati pintu masuk dengan benar.

"Lo kenapa, sih? Kok berhenti? Gue udah lapar banget. Ayo cari tempat duduk sebelum ramai," ajak Dinda lagi.

"Aku kembali ke kelas aja. Kamu makan aja," sahut Mentari pada Dinda.

"Terserah Lo. Gue mau makan aja dah. Kalau keluar pun pasti udah ramai banget. Jadi pilihan ada di tangan lo."

Dinda kemudian berjalan menuju pedagang sendiri meninggalkan Mentari yang masih terdiam. Berdirinya ia di sini dan beberapa pandangan orang yang terus melihatnya saat ini membuat ia tak bisa berkutik lagi. Kepalanya yang bahkan sudah pusing membuat ia hanya bisa terdiam di tempatnya. Beberapa orang yang menyenggolnya bahkan hanya bisa ia diamkan. Apa yang harus ia lakukan saat ini? Dalam hati ia memiliki keberanian, tapi ketika bertemu dengan orang banyak ia bingung harus bagaimana menghadapi situasi yang menurutnya begitu menakutkan saat ini.

"Jangan di jalan dong. Pakai nyenggol lagi," ucap seorang perempuan yang terkenal sebagai kakak kelas yang paling berkuasa di sini.

"Maaf kak. Tapi kakak yang nyenggol. Aku permisi mau ke kelas," balas Mentari membuat kakak kelas yang merasa tak di hargai itu menarik tangannya begitu kuat.

"Enak aja. Beliin gue minum sana. Gue tunggu di sana. Lo harus patuh sama gue, kalau lo gak mau ada masalah sama gue," ucap perempuan bernama Dela yang memang sangat berkuasa dengan hal ini.

"Tapi ----"

"Cepet buruan!" seru Dela sembari mendorong kuat tubuh Mentari hingga terdorong ke depan.

Mau tak mau Mentari menuruti apa yang dikatakan oleh kakak kelasnya. Bahkan ia tak bisa berkata-kata lagi. Yang ingin ia lakukan saat ini adalah keluar dengan aman dari kantin tanpa pingsan atau merasa begitu ketakutan. Mentari membeli satu jus mangga kemudian dengan keberanian yang ia kumpulkan, ia mencoba berjalan menerobos beberapa orang yang sedang makan,  tapi sayang rasa takutnya membuat ia harus menumpahkan minuman itu di meja orang lain.

"Anjir! Lo buta, ya?"

"Maaf, kak. Saya gak sengaja," ucap Mentari yang sudah terduduk di bawah dengan kepala yang begitu pusing saat ini. Bahkan untuk melihat beberapa orang yang menatapnya ia tak bisa karena tubuhnya bergetar hebat saat ini.

"Maaf aja gak cukup. Lo masih anak baru, tapi udah berani sama kakak kelas!" seru perempuan yang merasa tak terima ketika baju dan mejanya basah karena Mentari.

"Maaf, kak. Saya -----"

"Ada yang bisa gue bantu?"

"Kak? Ngapain?" tanya Mentari yang tak menyangka Yuda kembali menolongnya.

"Eh, kak Yuda. Gak kok. Bukan apa-apa. Ini adek kakak?" tanya perempuan itu berusaha untuk meredam emosinya.

"Bukan siapa-siapa. Tapi gue harap Lo paham, gak semua perkataan dan persepsi Lo benar. Dia juga udah minta maaf, kan? Masa Lo gak mau maafin."

"Bukan gitu kak. Aku udah maafin kok. Tadi cuman kesel aja."

"Makasih kalau lo udah mau mengerti."

Lagi dan lagi tangan Yuda meraih cepat tangan Mentari untuk ikut dan keluar dari kantin. Mungkin jika ia tak menjemput Mentari, adik kelasnya ini akan pingsan di tengah-tengah orang yang merasa kebingungan. Setelah keluar dari kantin, Yuda membawanya untuk ke taman belakang sekolah. Ia memberikan air mineral yang kemudian Mentari minum untuk membuatnya tenang saat ini. Setelah di rasa aman untuk di ajak berbicara, Yuda duduk di samping Mentari.

"Alasan Lo takut keramaian apa?" tanya Yuda langsung pada intinya.

Mentari tak menjawab. Ia hanya bisa terdiam sembari memegang botol mineral dengan dua tangannya.

"Gue bisa bantu, kalau lo kasih tahu alasannya," ucap Yuda lagi. "Lo harus bisa hidup normal. Lo harus bisa hadapi situasi ini."

"Jadi apa alasan Lo takut keramaian?" tanya Yuda lagi pada Mentari saat ini.

"Aku ngerasa kalau mereka lagi ngomongin aku dari tatapan mata mereka. Aku takut ketika orang-orang tatap aku dengan tatapan tak suka. Dari kecil bunda dan ayah gak pernah izinkan aku keluar rumah tanpa mereka. Teman bermain ku adalah guruku, sahabat curhatku adalah adikku. Sama sekali sepanjang hidup aku gak pernah benar-benar merasakan punya teman."

"Mari kita temanan." Yuda menyodorkan tangannya di hadapan Mentari. "Anggap aja, gue guru dan adik Lo. Gue akan bantu lo. Gue janji itu. Jadi gimana? Bisa terima sebagai teman?"

Mentari menatap manik mata Yuda yang begitu menyakinkan. Dari tatapannya saat ini, yang bisa ia lihat adalah tatapan ketulusan sebagai seorang teman.

"Teman?" tanya Yuda lagi.

"Teman."

Mentari menjabat tangan Yuda seraya tersenyum manis. Tentu saja senyuman itu membuat Yuda cepat-cepat memisahkan tangan dan menatap ke arah lain.

#TBC

Gimana part kali ini guys?

Semoga kalian suka ya.

Jangan lupa tinggalkan jejak.

Sampai bertemu di part selanjutnya 🌼

Mentari Sebelum Hujan (SQUEL RAINA HUJAN TELAH DATANG) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang