Dulu dikasih kesempatan disia-siakan, sekarang mati-matian berjuang melawan pahitnya kenyataan. Memang kalau harapan lebih besar akan mengalahkan banyak anala yang menghadang.
|Mentari Sebelum Hujan|Manusia itu makhluk yang serba salah. Berjuang salah, enggak berjuang juga salah. Sebenarnya ini hanya masalah waktu, terkadang kita menyia-nyiakan apa yang harusnya kita perjuangkan karena keegoisan. Lalu ketika takdir sudah berubah dan berpaling baru sadar apa yang telah dilakukan. Tuhan sebenarnya sudah memberikan kesempatan, tapi terkadang manusia yang menyia-nyiakan. Giliran sudah tenggelam baru hadir dan memberikan perjuangan. Mungkin itu lah yang saat ini Dion rasakan. Ada penyesalan yang dulu ia lakukan, namun berhenti berjuang juga akan menimbulkan rasa sakit yang tak bisa ia jabarkan.
"Mau kemana nak? Kok bawa tas gede?" Rahmah yang berada di meja makan menatap anak perempuannya yang baru saja turun. Anak perempuan yang ia lihat membawa tas besar dengan pakaian santai bukan pakaian kerja.
Saskia menaruh tas itu tepat di samping tempat duduknya. Ia meraih bakwan jagung lalu melahapnya. Tentu saja tak lupa ia memasukan sebuah sup kesukaan nya.
"Eh, kok pertanyaan mama gak di jawab," balas Rahmah yang melihat sang anak malah makan dengan lahap.
"Mau ke rumah bunda Raina," sahut Saskia pada sang bunda membuat seorang pria berjas yang siap berkerja menatapnya. Tatapan tajam namun diam dalam tempatnya.
"Kamu gak kerja?" tanya Rahmah lagi.
Saskia terlihat menggelengkan kepalanya. Ia sudah mengambil cuti beberapa hari untuk ikut dalam perayaan dan berdoa untuk Raina sahabatnya. Dua wanita yang sama-sama penting dalam hidupnya. Ia menganggap Raina sebagai sahabatnya, sementara Mentari sebagai keponakannya. Keponakan yang ia sayangi.
"Saskia ambil cuti. Kali ini kita juga merayakan ulang tahun Mentari sama anak yatim-piatu ma. Saskia gak mau absen. Saskia juga udah bawa banyak hadiah buat Mentari. Gak sabar mau ke sana," balas Saskia begitu antusias.
Rahmah tersenyum mendengar anaknya. Saskia selalu bersemangat ketika membicarakan ponakannya. "Mama titip salam buat bunda Irin, ya. Maaf kepada mama yang kaya gini gak bisa hadir di tengah-tengah mereka."
"Siap ma. Santai aja ma. Mereka juga pasti mengerti kondisi mama kok," balas Saskia tersenyum pada sang mama, kemudian menatap Dion yang seolah mencari sesuatu dalam ponselnya.
Dion yang mendengar hal tersebut tentu tak tinggal diam ditempatnya. Ia segera menghubungi nomor seseorang lalu menunggu mereka menjawabnya. Setelah telepon tersambung dengan tegasnya Dion meminta bantuan dan memaksakan kehendaknya.
"Pesankan banyak makanan, hadiah, ke perumahan Citra Garden. Hari ini batalkan semua agenda rapat saya dengan klien."
"Ha? Gimana pak? Ini rapat dengan kolega penting pak ---"
"Laksanakan perintah saya."
"Tapi pak -----"
Tut.
Dion mengakhiri pembicaraannya. Ia menatap dua wanita yang begitu terkejut terutama Saskia yang kehilangan kata-katanya, namun terlihat tak suka mendengarnya. Dion saat ini tidak peduli. Yang ia pikirkan saat ini adalah ia harus bertemu dengan Mentari. Bertahun-tahun ia menahan segala beban di hati, kini saatnya ia bertemu dan memperkenalkan dirinya sebagai ayahnya. Ayah kandungnya bukan gurunya.
"Ini saatnya. Saatnya gue ketemu anak gue. Saatnya gue ketemu Surya dan keluarganya. Gue gak bisa hidup dalam penyesalan, rasa bersalah, dan Cemen kaya gini, sas," ucap Dion dengan tatapan tajamnya menatap dua wanita yang terdiam di tempatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mentari Sebelum Hujan (SQUEL RAINA HUJAN TELAH DATANG)
Fiksi PenggemarAkan banyak ujian di hidupmu jika kamu benar-benar berjuang melalui proses yang ada. Setiap tetesan air mata, doa yang selalu teriring untuk pencapaiannya, nyatanya kembali pada takdir yang menentukan semuanya. ~Mentari Putri Diana~ Bercerita tent...