Sejauh tungkai lesunya menapak, Bintang tidak pernah benar-benar mendapatkan sebuah rasa bernama bahagia. Terlebih setelah kematian Bunda dan hilangnya Bumi--saudara kembar Bintang. Setelah itu hidup Bintang nyaris tak memiliki tujuan. Kendati di rumah tempatnya bernaung ia tak pernah benar-benar sendirian, namun Bintang tetap kesepian.
Raga ayah dan kakaknya memang selalu kembali pulang ke rumah, namun mereka tidak pernah benar-benar mendekap Bintang. Mereka tidak pernah memberikan kehangatan untuk Bintang. Mereka pulang hanya untuk memastikan bahwa Bintang masih hidup, lalu kembali pergi setelah hal yang ingin mereka pastikan tertangkap oleh netra. Yaitu berupa keberadaan Bintang yang terkadang sedang bermain piano di ruang tengah, atau sedang melukis di halaman samping.
Bintang sudah cukup kebal jika harus diperintahkan untuk mengeluh. Dibandingkan mengeluh kemudian membuat drama menjadi si paling tersakiti, anak itu memilih untuk menyibukkan diri dengan bermain alat musik. Lalu jika merasa bosan, Bintang akan beralih dari kegiatannya, dia akan melukis banyak hal dengan warna gelap saat suasana hatinya sedang tidak baik.
Dari pojok kamar, tepat di depan meja belajarnya, terlihat sosok tinggi pemilik ruangan suram ini sedang mencoreti buku yang biasa ia bawa ke sekolah. Sebuah buku bersampul polos berwarna hitam dengan banyak gambaran-gambaran yang dibuat oleh sang empunya buku.
Di samping buku banyak tergeletak mulai dari pensil hingga cat air dan kuasnya. Sebenarnya Bintang lebih menyukai menggambar dengan media kanvas, namun kali ini dia sedang malas untuk menuju gudang kecil di samping kamarnya itu. Karena itulah, lebih baik menggambar di buku sketsanya saja.
Sebuah ketukan pintu yang pemuda itu yakini adalah milik pelayanan pribadinya terdengar samar-samar masuk ke dalam rungu Bintang. Sebelum membuka pintu, Bintang sempat melirik ke arah jam dinding di pojokan kamar dekat almari, dan benar saja, sekarang saatnya Bintang meminum kembali obatnya.
Pemuda itu lantas beranjak, mendekati pintu berbahan kayu jati yang sengaja ia kunci dari dalam. Saat pintu sudah terbuka, terlihat sosok wanita berusia sekitar 30 tahunan berpakaian rapi berdiri di depan Bintang.
"Selamat malam Tuan, sudah pukul sembilan. Waktunya anda minum obat."
Bintang hanya diam, tak berniat membalas walau hanya sekedar anggukan. Manik pemuda itu memincing curiga, lalu bergulir menatap ke arah meja makan di lantai satu.
"Gue lagi males ketemu Bang Riksa, bawa makanan sama obatnya ke halaman samping aja, Mbak."
Mata wanita di depan Bintang itu ikut bergulir menatap ke arah Antariksa. Pemuda 19 tahun itu sedang sibuk bermain game di ponsel.
"Tapi kamu jarang ketemu abangmu loh, Bintang. Itu orangnya udah ada bukannya jadi kesempatan kamu untuk ngobrol?" Wanita dewasa itu berbisik, tidak ingin panggilan lancangnya didengar oleh Antariksa. Padahal jika laki-laki itu sedang tidak di rumah, Bintang sendiri yang malah menyuruhnya memanggil begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
1. Hug Me Star [END]
Acak(#HUGMESTARSERIES) Perihal sebuah asa yang dilenyapkan semesta. Juga tujuan yang tak lagi ada. Bagi Bintang, hidupnya hanya tentang sampai kapan ia akan bertahan dan kapan kepergian itu terlaksana. Kendati gadis itu hadir untuk mengukir tawa, menc...