Kedua Puluh Enam

2.2K 223 36
                                    

Di setiap detik milik sang waktu yang terus berputar menemani menitnya, tangan kiri Bintang yang tertempel infus pemuda itu angkat guna menutupi sinar dari lampu ruangan yang dirasa terlalu terang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di setiap detik milik sang waktu yang terus berputar menemani menitnya, tangan kiri Bintang yang tertempel infus pemuda itu angkat guna menutupi sinar dari lampu ruangan yang dirasa terlalu terang. Sejak jarum jam menunjukan pukul 9, Bintang sudah berbaring di ranjang setelah Dokter Arka kembali bertugas memeriksa keadaannya. Pemuda itu menatap dua sosok di depan pintu ruang rawat, keduanya nampak berbincang serius, entah sedang membicarakan apa. Mungkin perihal keadaannya yang kian memburuk.

Pemuda itu meringis, memegangi dadanya yang terasa sesak. Nasal canul yang menghiasi hidung bangirnya bahkan tak mampu membantu Bintang bernapas dengan baik dan teratur. Malam ini, rasa itu kian mendera Bintang dua kali lipat sakitnya.

Di sampingnya, Suster Dira masih sibuk merapikan obat-obatan yang baru saja diberikan kepada Bintang. Setelahnya wanita itu duduk pada kursi di samping ranjang Bintang. Si pemuda menoleh, perlahan tangannya yang memegang dada turun ke sisi tubuh. Pemuda itu menatap wajah sang suster yang perlahan tersenyum ke arahnya.

"Bin, kalau nanti tubuhnya sakit cepet bilang ke ayahnya. Supaya nanti Dokter Arka bisa cepet nanganin kamu. Oke?"

Bintang menarik napasnya yang masih sesak, nampak tak menghiraukan ucapan Suster Dira. Fokusnya justru kembali lagi pada Ayah dan Dokter Arka yang masih berbincang di depan pintu, suaranya sungguh sangat lirih, mungkin Suster Dira pun tak mampu mendengarnya.

Merasa tak ada gunanya juga berusaha mencuri dengar, atensi Bintang lantas kembali kepada suster Dira yang masih duduk diam di samping ranjangnya. Tangan pemuda itu terulur, menyerahkan sebuah kertas origami berwarna kuning yang sudah ia bentuk menjadi pesawat.

"Besok pagi kasih kertas ini untuk Dokter Arka ya, Sus."

Suster Dira mengulum bibir, tangannya terasa kaku seperti kayu. Wanita itu tak langsung mengambilnya, melainkan hanya diam menatap.

"Kamu enggak mau kasih sendiri, Bin? Mumpung orangnya ada, mau Suster panggilin?"

Bintang dengan cepat menolak. Dia sudah merencanakan semuanya untuk besok, tidak mungkin Bintang memberikannya sekarang. Pemuda itu kembali memasukan satu tangannya ke dalam selimut, nampak mencari sesuatu di dalam sana. Setelah Suster Dira akhirnya mengulurkan tangan untuk menerima, pemuda itu kembali mengeluarkan kertas origami berwarna biru dengan bentuk kupu-kupu.

"Ini untuk Suster, buka besok pagi juga."

"Kenapa Suster harus buka besok?"

"Karena malam ini Suster Dira masih bisa ngobrol sama saya," jawab Bintang kemudian mengembangkan senyum tipisnya.

Kali ini Suster Dira langsung mengambilnya, menyimpan dua kertas itu di atas pahanya untuk sementara waktu. Di hadapannya Bintang kembali memasukan satu tangan ke dalam selimut, mencari sesuatu lagi di dalam sana. Setelah cukup lama bergulat, pemuda itu mengeluarkan beberapa kertas origami lagi dengan berbagai warna berbeda. Entah kapan lelaki itu menyiapkannya.

1. Hug Me Star [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang