6 ; Kesalahan

59.4K 5.5K 189
                                    

PASCA ACARA PEMAKAMAN Najla, Gema nyaris tidak pernah bisa tidur. Adik laki-laki dan ibu kandungnya memang sama-sama terpukul. Sang ibu bahkan menangis tersedu-sedu tiap mendengar nama Najla. Gema tahu, sekeras apa pun sang ibu pada adiknya, seorang ibu tetaplah seorang ibu. Beliau amat terpukul atas kematian sang putri kedua. Gema tahu perjuangan ibunya dalam mengasuh mereka seorang diri, tanpa kehadiran suami yang layak, terutama setelah perceraian.

Gema tak lagi menangis. Dia berusaha kuat di hadapan ibu dan adik lelakinya. Walaupun demikian, jauh di balik wajah kaku tersebut, Gema juga luluh lantak. Dia sendiri yang melihat kondisi mengenaskan Najla. Dia sendiri yang mendengar keluhan tentang permasalahan Najla. Dia sendiri yang melihat titik terendahnya ketika sang adik hampir mengakhiri hidupnya sendiri.

Gema berusaha untuk selalu ada untuk Najla.

Akan tetapi, Najla pergi karena dia ingin menyelamatkan seseorang yang bahkan tidak pantas untuk diselamatkan.

Gema terpukul.

Dia mungkin juga sudah hancur.

Naura berusaha untuk menghubunginya. Begitu pula dengan beberapa temannya yang lain. Usaha mereka semua sia-sia karena Gema telah berganti nomor ponsel. Dia tak lagi aktif di media sosial. Dalam seminggu itu, kesehariannya hanya diisi dengan kerja dan kerja. Tak ada ruang untuk termenung. Pasalnya, jika dia termenung hanya dengan pikirannya sendiri, dia akan kembali teringat adiknya.

Gema kacau. Dan dia paham betul akan keadaannya. Dia butuh waktu sebelum kembali menemui teman-teman lain.

Oleh karenanya, ketika seseorang datang sebelum dia pulih dari duka itu, dia hampir kelepasan kontrol.

Sagala Caturangga benar-benar tidak punya hati. Sosok itu dan ayahnya memang menghadiri acara pemakaman. Akan tetapi, tak ada sedikit pun raut simpatik dari wajah mereka.

Seolah hal tersebut masih belum cukup, pria ini tiba-tiba datang untuk mengganggunya—datang dengan tuntutan yang semakin membuatnya muak dan benci.

Sagala memintanya untuk menggantikan Najla.

Benar-benar pria sinting.

Piring-piring dan gelas teh di hadapannya bisa saja pecah akibat bantingan. Gema berusaha keras menekan kemarahannya.

"Kenapa gue harus setuju?" tandasnya saat itu.

Reaksi Gema seolah memang sudah diprediksi oleh Gala, sama seperti dulu.

"Karena kamu nggak punya pilihan." Gala melipat kedua tangan di depan dada. "Persiapan pernikahan sudah rampung. Kamu tau biaya yang saya keluarkan untuk pernikahan ini?"

Gema mengatupkan mulut.

Gala menatap Gema lurus-lurus.

"Dua miliar," ungkapnya. "Itu pun saya sudah sangat menekan biayanya, membuat pesta pernikahan sederhana untuk orang sekelas kami."

Kesombongan itu membuat Gema mual. Dia mendengkus.

"Dua miliar bukan jumlah yang banyak untuk orang-orang sekelas kalian," balas Gema, menandaskan level ekonomi sosial mereka yang berbeda. "Harusnya jumlah segitu nggak berarti buat lo."

Gala mengangguk.

"Memang," awalnya. "Tapi, saya nggak suka menghabiskan uang untuk hal yang sia-sia. Kecuali kamu bisa mengganti seluruh ... nggak, separuh biaya itu—kontan, dalam waktu dekat—baru saya mau berhenti mengungkit masalah pernikahan ini. "

Uang tabungannya bahkan belum cukup untuk menyewa apartemen. Bagaimana bisa dia mendapatkan uang satu miliar?

Gema tersenyum sinis.

Gugat. [END - Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang