BERSIKAP BIASA SAJA, ketika kemuakan sudah memenuhi rongga dada tidaklah mudah. Gema merasa enggan untuk melihat Gala. Dia tidak ingin menyapa, apalagi berbasa-basi dengannya. Keberadaan Gala sering kali membuatnya tak nyaman. Gema tak bisa lagi duduk hanya berdua, atau sekadar berada di ruangan yang sama. Gala mengingatkannya pada kekangan, jalan hidup yang salah, dan penyesalan terhadap pernikahan mereka.
Jalan buntu di hadapannya membuat Gema semakin frustrasi. Dia lelah dan kini belum menemukan jalan terbaik untuk masalahnya sendiri. Jika perceraian itu tidak dapat dilakukan, kemungkinan besar hidupnya akan terus seperti ini; stagnan dan harus terus mengikuti alur yang telah dipersiapkan Gala untuknya.
Bagi Gala, Gema hanyalah istri pajangan. Gema sekadar aksesori yang akan dia kenakan pada momen-momen tertentu. Contohnya malam ini, saat ketika dia membutuhkan pasangan untuk menemaninya menghadiri sebuah pesta perayaan seorang anggota dewan.
Gema mematut diri di depan cermin. Rambut hitam panjang tergerai lurus melalui pundak. Gaun elegan nan panjang melekat pada tubuh semampai, lengan gaun itu mencapai siku, terlihat begitu tertutup dan sopan. Riasan yang memoles wajahnya juga terlihat sederhana dan minimalis, tidak mencolok ataupun terlalu menarik perhatian. Jika dilihat sekilas, seluruh penampilan itu terlihat sangat layak. Dia cantik, lebih cantik daripada saat dulu dia bersolek dengan menggunakan kosmetik dengan harga yang jauh lebih terjangkau.
Gema pantas disandingkan dengan Gala dan segala kemewahannya. Akan tetapi, di saat yang sama, dia juga mendapati sosok yang amat membosankan dari cermin itu; gambaran seorang wanita yang tak mempunyai ambisi, sosok yang hidup hanya sebagai pelengkap citra sosial sang suami, sosok yang dicetak untuk patuh dan mengikuti ucapan sang suami tanpa mempertanyakan baik tidaknya keputusan tersebut bagi dirinya sendiri.
Cermin itu seolah tidak menampilkan diri Gema yang sebenarnya, meski sosok yang ada di dalam sana memang merupakan dirinya.
Dia hampir membenci dirinya sendiri akibat kondisi ini.
Suara-suara memojokkan dalam sudut kepala pun langsung ditekan dalam-dalam. Dia menarik napas panjang.
Solusi itu akan dia dapatkan, meski bukan sekarang.
Gema mengangguk pelan. Dia berbalik untuk memilih tas yang hendak dikenakan. Kedatangan sang suami, yang telah siap untuk berangkat, sempat menghentikan langkahnya. Saat itu, Gema hanya mengerling. Dia lalu kembali berjalan untuk membuka lemari khusus penyimpanan tas.
"Lima tahunan ini, kerja di mana kamu?"
Suara berat yang terdengar membuat Gema berhenti memilah tas. Pandangannya langsung terpaku.
"Kamu buka rekening baru, 'kan? Buat menampung uang gaji kamu?" ungkap pria itu lagi. "Nominalnya dolar. Kamu kerja freelance buat klien luar? Uang bulanan yang aku kasih ke kamu belum cukup?"
Gala berjalan mendekat. Dia berhenti tepat di samping Gema. Begitu perempuan itu menoleh dan menatapnya, dia lanjut bertanya, "Lima ratus juta masih belum cukup?"
Gala menatapnya lurus selagi menunjukkan buku tabungan milik Gema.
Gema mendongak. Jantungnya sedikit bertalu.
"Kamu sengaja liat dan ambil barang-barang pribadi aku?" timpalnya, sedikit menekan.
Gala melirik pada buku tabungan itu.
"Maksud kamu ini?" Dia kembali melihat Gema. "Kamu ninggalin ini di tas sekolahnya Rafa. Tas itu kebetulan lagi ada di sofa depan. Aku nggak sengaja liat." Gala menggeleng, tampak tidak menyangka. "Harusnya aku emang nggak liat ini, 'kan? Kamu menyembunyikan fakta bahwa kamu kerja, semua itu kamu lakukan biar nantinya kamu siap buat cerai dari aku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gugat. [END - Telah Terbit]
RomanceTelah diterbitkan - tiga chapter akhir dipindah pada platform karyakarsa ** Setelah menjalani pernikahan hampa selama hampir delapan tahun, Gema akhirnya mendapatkan alasan valid untuk mengajukan gugatan cerai pada sang suami, Sagala Caturangga. Ke...