KALI TERAKHIR GEMA mengunjungi gedung ini adalah delapan tahun silam, waktu ketika dia masih direpotkan oleh urusan pernikahan. Tatanan interior gedung tak lagi diingatnya. Dia tak pernah berkunjung ke sini lagi setelah menikah dengan Gala. Selain karena Gala yang tak pernah mengajak kemari, tetapi juga karena Gema yang tak memiliki kepentingan untuk ke sini. Sekarang adalah kunjungan pertamanya setelah bertahun-tahun.
Sejauh mata memandang, dia bisa melihat polesan interior kantor yang tampak lebih modern. Ruang pertemuannya ada yang memiliki desain terbuka dengan dinding berupa kaca. Ruang rekreasi juga kemungkinan sudah diperbanyak. Gema tak bisa begitu memastikan karena kini dia hanya mengeksplorasi lantai khusus untuk jejeran direktur alih-alih staf biasa. Koridor kantor cukup sepi. Suasananya senyap, sampai Gema bisa mendengar suara ketukan kakinya sendiri.
Rangkulan sang pria masih menetap di pundaknya. Perhatian Gema kembali pada sang suami ketika mengingat alasan kedatangannya kemari. Dia menoleh, menatap bekas noda yang mengotori kemeja Gala.
"Gimana bisa kemeja kamu ketumpahan air teh?" tanyanya.
Gala mengembuskan napas pendek. Suasana hatinya tampak keruh.
"Ada OB yang nggak sengaja numpahin teh waktu papasan," jelasnya, terdengar kesal.
Gambaran kejadian tersebut langsung terlintas di kepala. Gema bisa membayangkan kekhawatiran dan kepanikan yang dirasakan si office boy. Harinya pasti langsung hancur setelah bertindak ceroboh di hadapan bos besarnya. Gema tak kuasa untuk tidak lanjut bertanya, "OB-nya gimana? Kamu pecat?"
Dengkusan rendah terdengar.
"Aku kelihatan kayak diktator?" Gala bertanya balik. Sebelum Gema membalas, dia menambahkan, "Dia masih kerja. Sekarang cuma dikasih peringatan. Kalau cerobohnya keterusan dalam bulan ini, baru dia keluar."
Gema tertawa rendah.
"Dulu aku sering denger kamu yang kayak diktator, nggak pernah menoleransi kesalahan kecil," balasnya. Dia mengerling pada Gala. Bibirnya masih menampakkan jejak tawa. "Untung dulu aku nggak jadi masuk ke perusahaan ini."
Kaku di wajah sang pria mulai pudar. Dia mengulas senyuman samar.
"Kalaupun jadi, kamu bakal bertahan di sini. Aku yakin, kinerjamu bagus. Kamu bukan tipe pegawai yang slack off dan ceroboh."
Gala bukanlah sosok yang mudah memberi pujian sebagai bentuk basa-basi. Dia lebih senang berterus terang, tak peduli jika ucapannya terlampau tajam untuk diungkapkan. Kecenderungan ini meyakinkan Gema bahwa pujian Gala bukan sekadar omong kosong belaka.
Gema menoleh, menatap suaminya. Dia lalu bergumam mengiakan dan tersenyum hangat.
"I guess so. Aku bakal meminimalkan kecerobohan, biar nggak perlu bermasalah sama bos galak kayak kamu."
Ocehan itu memancing dengkusan tawa. Gala mengeratkan rangkulan dan menunjuk koridor yang akan mengantarkan mereka menuju kantor. Langkahnya terhenti ketika mendengar langkah kaki seseorang.
Sosok wanita muda berjalan dengan tergopoh. Dia memegang berkas dokumen di kedua tangan. Suaranya terdengar segan sekaligus gugup ketika memanggil nama sang atasan.
"Pak Sagala, a-ada titipan dokumen dari Bu Rianti, beliau memerlukan tanda tangan Bapak untuk pertemuan besar nanti. Mohon maaf bila saya—" Pandangan semakin jelas. Dia terpaku ketika melihat sang atasan yang tengah merangkul seorang wanita. Gestur mereka tampak akrab dan dekat. Dia mengerjap ketika berkontak mata dengan wanita itu.
Pandangan langsung dialihkan.
Dia membasahi tenggorokan dan menelan keinginan untuk segera enyah. Ada sengatan rasa kesal, malu, dan gugup yang menyesakkan dada. Telapak tangan menahan kepal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gugat. [END - Telah Terbit]
RomanceTelah diterbitkan - tiga chapter akhir dipindah pada platform karyakarsa ** Setelah menjalani pernikahan hampa selama hampir delapan tahun, Gema akhirnya mendapatkan alasan valid untuk mengajukan gugatan cerai pada sang suami, Sagala Caturangga. Ke...