55 ; Duri

59.9K 6.5K 407
                                    

BERITA KEHAMILAN GEMA dan perkembangan hubungan mereka merupakan dua hal terbaik yang terjadi dalam hidup Gala. Selama beberapa hari terakhir, dia mulai mengenal arti kepuasan hidup. Masalah pekerjaan masih cukup membebani. Namun demikian, keberadaan keluarga kecil mereka berhasil mengurangi seluruh beban itu. Dia memiliki alasan untuk pulang, juga dorongan yang lebih besar untuk mempertahankan pekerjaannya yang sekarang.

Dengan kondisi hidup yang telah membaik, Gala tak bisa membayangkan kedatangan masalah lain yang dapat menekannya. Gugatan cerai Gema adalah titik masalah tertinggi yang hampir membuatnya tak lagi dapat berfungsi normal. Masalah-masalah lain yang hadir, takkan lebih buruk dari tuntutan Gema untuk menyudahi pernikahan mereka.

Paling tidak, itulah gagasan yang sempat bercokol di kepala Gala. Dia sedikit luput pada masalah bawaan yang sejak dulu merepotkannya.

Gedoran pintu terdengar sangat memekakan telinga. Gala baru saja pulang kantor dan tengah mendengar penuturan Rafa mengenai hari pertama ujian. Keributan yang muncul langsung merusak momen kecilnya dengan keluarga.

Di samping Gala, Gema mengerutkan kening samar. Dia sedikit menegakkan diri, lalu menoleh pada Gala.

"Siapa?" tanyanya dengan khawatir.

Gedoran pintu dan teriakan samar dari luar sana sudah cukup untuk menjawab pertanyaan Gema. Gala tahu betul dalang di balik perilaku buruk ini.

Ekspresi teduh dan rileks kini menjadi kaku.

Gema menatap Gala dengan cemas sekaligus bingung. Rafa ikut menuturkan pertanyaan seperti Gema, dimakan penasaran oleh tamu tidak sopan di luar sana.

Gala tak menjawab pertanyaan istri dan anaknya. Dia hanya berdiri, lalu meminta Gema beranjak dan membawa Rafa.

"Kamu ke lantai atas sama Rafa," tutur Gala saat itu. "Kalau perlu ke loteng. Jangan turun sebelum aku bilang turun."

Gema menatap khawatir. Kening mengerut semakin dalam, mulut tampak mengatup. Dia kentara sekali tidak suka dengan perintah sepihak itu. Dia menginginkan penjelasan.

"Ada apa?" sergahnya. "Tamu itu—"

Gedoran semakin keras, kini diikuti suara pertengkaran yang semakin jelas.

Gala menatap koridor dekat ruang tamu. Rahangnya mengeras.

"Bawa Rafa ke atas," tandasnya lagi, lalu beranjak pergi.

Gema tampak dilema. Ekspresi keras sang pria berhasil meyakinkannya untuk menurut. Apa pun keributan yang dibawa si tamu, akan lebih baik jika anak mereka tak menyaksikannya.

Gala sempat menoleh untuk memastikan Gema yang telah membawa pergi Rafa. Dia mengembuskan napas pelan ketika melihat istrinya menuntun Rafa ke atas selagi membujuknya agar mau pergi. Dia lanjut berjalan setelahnya. Bentakan dan teriakan marah semakin jelas di telinga, kali ini minus gedoran pintu. Dia menatap pintu sesaat sebelum membuka kunci rumah.

Sumber keributan langsung tampak dalam pandangan. Pak Ridwan dan Pak Asep terlihat sedang menahan tindakan agresif adik majikan mereka. Mereka memegang masing-masing lengan Nares. Keduanya langsung menoleh pada Gala saat melihat pintu yang terbuka.

Pak Ridwan, pria dengan perawakan bongsor, berucap dengan spontan, "Pak Gala, ini Mas Nares maksa—"

"Bangsat! Lepas! Urusan gue bukan sama kalian, Anjing!" umpat pria yang merupakan adik sambung dari sang majikan. Dia menatap Gala nyalang. Rahangnya mengeras. Manik mata memperlihatkan kemurkaan. "Pengecut! Lo mau dilindungin sama orang-orang ini?! Lepasin gue!" tandasnya.

Gala menatap lurus Nares. Tanpa melihat kedua pegawai rumahnya, dia berkata, "Lepasin dia."

Pak Ridwan menatap Pak Asep, terlihat gamang. Dia lalu melihat majikannya.

Gugat. [END - Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang