27 ; Urgensi

50.5K 5.4K 819
                                    

ALEA SEPERTI TERHIPNOTIS. Kontras reaksi tersebut—jika dibandingkan dengan sang istri—membuat Gala menahan dengkus.

Dia yakin, Alea merespons tanpa berpikir. Perempuan itu terlampau terkejut untuk sekadar menjernihkan otak.

Dentingan elevator memaksa mereka kembali berjalan. Gerakan tersebut, seolah menggelitik kesadaran sang perempuan, terlebih ketika Gala berujar, "Saya sudah menikah. Kamu masih mau?"

Alea langsung melebarkan mata. Dia melangkah mundur dengan ekspresi horor di wajahnya.

"Bapak sudah menikah?!" tanyanya, terkejut bukan main. Dia langsung menutup mulut ketika sadar bahwa suaranya terlampau keras. "Ah, maaf. S-Saya kaget—nggak tau, saya kira—"

"Saya nggak kelihatan seperti orang yang sudah berkeluarga?"

Alea menelan rasa malunya. Dia mengangguk.

"Saya kira Bapak masih lajang ...."

"Dan itu membebaskan kamu buat mengiakan permintaan saya?"

Alea mati kutu, tidak bisa menjawab.

Gala mengajaknya berjalan selagi melanjutkan ucapan. Dia memasukkan kedua tangan ke dalam saku.

"Saya sudah menikah dan punya anak laki-laki berumur tujuh tahun," terangnya. "Saya tanya kamu begitu karena saya lihat, kamu tertarik sama saya." Dia menoleh untuk menatap Alea. "Kamu tau, kantor melarang adanya hubungan personal antar karyawannya?"

Alea kembali mengangguk.

Gala berhenti berjalan. Dia menatapnya lurus-lurus, kali ini dengan sorot tegas.

"Kakak kamu yang merekomendasikan nama kamu buat bekerja di sini. Setelah bekerja hampir setengah tahun, saya perhatikan kamu masih kurang memahami aturan kantor. Jangankan peraturan kantor, kamu sendiri belum bisa memberi batasan baik buruk buat diri kamu sendiri," ujar Gala, sangat tidak habis pikir. "Kasus seperti ini sudah banyak terjadi di lingkungan kerja, bawahan yang dirayu atasan dan mau-mau saja menuruti keinginannya. Awalnya mungkin sama-sama suka, tapi nggak jarang juga kami dapat laporan tentang kasus pelecehan. Kamu mau hal yang kayak gitu menimpa kamu?"

Alea masih terdiam, dia menunduk, bungkam.

Gala mengembuskan napas pendek.

"Saya cuma menguji kamu tadi, biar kamu lebih belajar. Bukan maksud saya mau melecehkan kamu. Saya cuma mengingatkan kamu agar lebih awas dengan lingkungan kantor. Saya nggak bisa terus mengingatkan kamu tentang peraturan kantor," ungkapnya, kaku. "Biasanya saya lebih keras dari ini. Kondisi saya juga lagi sangat buruk. Kamu beruntung saya masih mau mengevaluasi kamu."

Saat itu, Alea menggumamkan maaf. Dia masih tidak berani untuk balik menatapnya.

Gala sudah memprediksi respons yang demikian. Dia mengingatkan Alea untuk meminta laptop pengganti agar kinerjanya tidak terhambat. Begitu mengucapkan hal itu, dia beranjak pergi, meninggalkan pegawai muda yang seolah baru saja kehilangan sepaket harga diri.

Alea sangat malu. Gala menyadarinya.

Akan tetapi, dia tetap perlu memberi peringatan atas perilaku longgar anak buahnya itu.

Beberapa saat lalu, dia mengajak Alea makan malam memang hanya untuk menemaninya makan, dia belum makan sejak siang. Tawaran tidur itu juga disengaja. Dia mencoba bertanya, untuk memastikan ketertarikan Alea padanya. Dengan masalah rumah tangga yang menimpa, dia ingin mengonfirmasi, apakah masih ada orang yang menginginkannya?

Respons Alea memberi jawaban nyata.

Ada, tetap ada orang yang ingin menjadi pasangannya, atau paling tidak tertarik padanya.

Gugat. [END - Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang