SAMBUNGAN TELEPON GALA sama sekali tak bisa terhubung dengan Gema. Seluruh panggilan darinya tidak pernah diangkat. Kemungkinan besar, Gema mengganti nomor ponselnya atau bahkan memblokir kontaknya.
Jarum jam dinding telah menunjukkan pukul sembilan malam. Gala memandang layar ponsel yang lagi-lagi gagal menghubungi kontak bernama Gemala. Dia mengatupkan mulut sebelum memasukkan ponsel ke dalam saku. Barang-barang bawaan mulai dimasukkan ke dalam tas. Gala beranjak dari kantor dengan langkah lebar. Dia menoleh ketika mendengar suara langkah yang tergopoh-gopoh.
Sekretarisnya, Alea, berjalan dengan kerepotan. Dia mengapit sebuah ponsel di antara pundak dan telinga, sementara tangan yang lain sibuk memilah dokumen dari sebuah map plastik. Napasnya sedikit memburu ketika dia berhenti di hadapan Gala. Perempuan muda ini sepertinya sudah ingin menghampirinya sejak beberapa saat lalu, tetapi Gala tidak kunjung mendengar panggilannya.
Dia mematikan sambungan telepon entah dari siapa itu, lalu menyimpannya langsung ke dalam tas. Senyumnya tampak gugup ketika dia mendongak untuk menatap Gala.
"Saya mau menyampaikan dokumen ini untuk Bapak," ungkapnya selagi menyodorkan sebuah map kecokelatan. "Tim Penelitian dan Pengembangan perlu tanda tangan Bapak untuk perizinan peluncuran produk baru."
Gala menerimanya dengan satu tangan. Dia sedikit membuka isi map itu.
"Harus sekarang?" Gala mengerling pada sosok tersebut. "Kamu nggak liat, saya sudah mau pulang?"
Alea menahan ringis.
"Tidak untuk sekarang, Pak. Mereka membutuhkan perizinan itu untuk besok pagi, tapi saya baru mendapatkan dokumen itu tadi sore. Saya memberikannya sekarang agar saya bisa langsung memberikannya lagi pada mereka."
Gala mengembuskan napas pendek.
"Kalau mereka minta sesuatu yang mendadak, tolak mereka. Kelalaian mereka bukan urusan kamu."
Alea, yang notabennya adalah seorang sekretaris baru, langsung berdeham. Dia menunduk selagi meminta maaf.
Gala mengembalikan dokumen itu pada Alea.
"Jangan terus-terusan minta maaf kalau kamu memang nggak bersalah," tegurnya. "Saya tandatangani besok pagi. Besok kamu ke kantor saya."
Alea menerima dokumen itu. Dia mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Gala hendak berbalik untuk lanjut melangkah. Dia sedikit mundur ketika mendapati Alea yang hampir terjatuh. Perempuan itu tergelincir oleh sepatu heels-nya sendiri. Dia tidak jadi jatuh berkat Gala yang menahan bahu dan tangannya.
Alea terkesiap, kentara sekali kaget oleh insiden yang dialaminya sendiri. Gala mengerutkan dahi ketika melihat kecerobohan itu. Dia membantu sang wanita muda untuk kembali berdiri tegak. Matanya mengerling pada sepatu hak tinggi yang dipakai sosok tersebut.
"Kantor saya tidak punya aturan yang mengharuskan karyawan perempuan memakai sepatu heels," komentarnya spontan. "Kamu kalau nggak terbiasa pakai hak tinggi, jangan memaksakan diri. Saya nggak mau ada kecelakaan karena hal sepele semacam ini di kantor."
Alea menatap Gala. Wajahnya tampak merah, teramat malu pada perilaku buruknya ini. Dia kembali meminta maaf. Kali ini, Gala menjawab hanya dengan gumaman saja. Gala beranjak setelah memastikan kalau Alea tidak terkilir atau apa pun. Dia mengendarai mobil pribadinya untuk kembali ke rumah.
Gerbang rumah besar itu langsung dibuka begitu satpam rumah mereka mendapati kehadiran Gala. Gala memarkirkan mobil di dalam garasi. Dia hendak langsung masuk rumahnya ketika melihat Pak Asep yang sedang bermain catur dengan satpam. Pria kelahiran Bandung itu mengangguk sopan padanya ketika pandangan mereka bersinggungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gugat. [END - Telah Terbit]
RomanceTelah diterbitkan - tiga chapter akhir dipindah pada platform karyakarsa ** Setelah menjalani pernikahan hampa selama hampir delapan tahun, Gema akhirnya mendapatkan alasan valid untuk mengajukan gugatan cerai pada sang suami, Sagala Caturangga. Ke...