43 ; Awal Mereka

66.3K 5.5K 380
                                    

Jakarta, 2014

°°°

PEMBICARAAN PENTING DENGAN ayah kandung dan ibu sambungnya selalu menguji kesabaran. Sore itu, Gala mendatangi kediaman orang tuanya untuk makan malam bersama. Undangan semacam ini begitu jarang dipenuhi. Inisiatifnya untuk datang sudah cukup memperlihatkan maksud lain yang hendak dia sampaikan.

Hardana sudah mengenali perubahan sikap putranya yang kini telah dewasa. Tak lagi seperti dulu, Gala semakin sulit untuk diarahkan. Sekarang dia lebih senang mengambil keputusan sendiri tanpa mengikutsertakannya dalam membuat keputusan. Kecenderungan tersebut begitu merepotkan ketika sang anak membuat keputusan penting yang amat berbeda dengannya. Bekal yang dia tanamkan untuk anak ini kini mulai berbuah, mulai dari kecerdasan, kedisiplinan, dan juga kemampuan memengaruhi orang lain. Akan tetapi, kini sang anak malah lepas dari genggamannya.

Hardana menatap Gala awas. Dia menyelesaikan suapan makan sebelum mendengarkan ucapan yang disampaikan oleh anak sulungnya.

Gala memberi tahu mengenai rencana pernikahan.

"Saya akan tetap menikah, seperti masukan dari Ayah," jelas sosok itu, mengawali.

Hardana mengunyah dengan malas. Dia mengalihkan pandangan.

"Calon istrimu yang nggak pantas itu sekarang sudah meninggal," timpalnya. "Nasib baik mungkin masih berada di tangan kita. Dari awal aku sudah bilang, kamu nggak perlu bertanggung jawab atas kesalahan remeh semacam itu. Lihat saja sekarang. Calonmu pergi dari dunia," terangnya, dia menahan dengkus, kemudian kembali melihat Gala. "Aku ada beberapa kenalan yang bisa mengenalkan kamu dengan orang yang bisa jadi pengganti calonmu."

"Nggak perlu, saya sudah dapat penggantinya," balas Gala seketika.

Hardana mengerutkan kening. Dianti, yang duduk di samping suaminya, ikut menimpali, "Yakin pilihanmu benar? Ayahmu ini dulu buat pilihan sendiri, sok sokan bertanggung jawab dan sebagainya, cuma karena lihat keganjenan ibu kandungmu. Kamu lupa sama kelangsungan pernikahan mereka?"

Gala menatap Dianti. Dia mengulurkan tangan untuk mengambil gelas, meminum air mineral dengan tenang.

"Saya menikahinya bukan karena kasihan, beda dengan ayah," terang Gala. Dia menatap Dianti. "Orang yang saya pilih sangat bisa dibanggakan. Riwayat pendidikan dan pekerjaan dia bagus. Selama saya ketemu dia, saya bisa lihat kalau dia juga pandai beradaptasi. Penampilannya menarik. Bakal mudah saja bagi dia buat fit in sama kehidupan saya."

"Latar belakang keluarga dan ekonominya?" tanya Dianti lagi, terdengar skeptis. "Ayahmu dulu coba-coba menikah sama orang biasa dan hasilnya buruk. Kamu mau mengulang kesalahan ayah kamu?"

Gala menatapnya sesaat, lalu mengembuskan napas pelan.

"Latar belakang bukan masalah selama dia bisa membawa diri dengan baik. Kami sudah bicara. Dia bakal mengikuti aturan dari saya," balas Gala. Dia menatap ayah dan ibunya lurus-lurus. "Yang sekarang diperlukan itu cuma pernikahannya, 'kan? Urusan bagaimana kelangsungan pernikahan itu bisa saya pikirkan sendiri. Kalian cuma mau saya menikah."

"Kamu harus tetap menikah sama orang dari keluarga berada," tandas Hardana. "Kayak ibumu ini. Kami menikah dan sama-sama mendapatkan untung. Kakek Wijaya mau bekerja sama dengan kita setelah ibumu menikah dengan ayah. Untuk perempuan yang kamu bilang itu, apa keuntungan yang bisa dia bawa?"

"Ayah mau saya menikah dengan perempuan pilihan Ayah?" tutur Gala. "Orang dari keluarga siapa? Wicaksana? Pak Pangestu? Atau kenalan pejabat Ayah itu?" Gala mengerutkan kening samar. "Ayah memangnya nggak tau anak-anak mereka? Cucu keluarga Wicaksana masuk kampus negeri bareng karyawan saya. Semua alumni angkatan mereka tau kalau orang ini masuk karena sogokan ayahnya. Anak Pak Pangestu juga cukup bermasalah. Cyntia itu selebriti yang lagi naik daun, 'kan?" tanya Gala. "Kemarin dia baru terkena kasus perselingkuhan. Ada juga yang bilang kalau dia melacurkan diri buat bersenang-senang. Ayah mau pasangan saya punya jejak nama yang buruk begitu?"

Gugat. [END - Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang