Jakarta, 2000
°°°
"KENAPA AKU HARUS pulang kalau bisa belajar di sini?" Seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun berkata dengan datar selagi mengisi buku latihan. Pria paruh baya berdiri di samping meja, sedang mencoba berbincang dengan seorang guru sekolah dasar.
Rambut panjangnya disanggul rapi. Sorot matanya hangat. Guru itu tersenyum pada pria yang tadi mengajaknya bicara.
"Guru-guru di sini pulang sore, Pak, tidak apa-apa kalau Sagala masih mau di sekolah. Kami bisa mengawasi," jelasnya lugas. Dia menoleh pada anak lelaki yang duduk di belakang meja guru. "Minggu depan, dia juga ada lomba cerdas cermat bersama anak-anak kelas 6. Tadi kami sempat membimbingnya bersama murid lain. Jadi, tidak apa-apa semisal Sagala masih mau belajar."
Pria paruh baya itu mengangguk sopan. Hanya saja, dia berujar, "Terima kasih banyak, Bu. Tapi, ini saya disuruh bapaknya Den Gala buat menjemput. Den Gala sebaiknya belajar di rumah saja." Dia menatap anak lelaki yang masih fokus pada buku latihan miliknya. Tanpa rasa peduli pada sekitar, dia mengisi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang tertulis pada buku tersebut. Pria itu lantas berucap, "Ayo, Den, belajarnya bisa dilanjut di rumah. Kalau di rumah nanti bisa sekalian disiapkan makanan sama Bi Tuti."
"Aku belum lapar," ujar Gala kecil. "Pak Yanto aja pulang, nanti balik lagi."
Pria bernama Yanto itu menghela napas pelan.
"Saya disuruh Bapak buat menjemput Den Gala," ulangnya. "Kalau Den Gala ndak ikut pulang, nanti Bapak tanya saya lagi."
Gala kecil berdecak.
"Kalau gitu Pak Yanto tunggu aku di sini," tukasnya. "Aku belum mau pulang."
Membujuk anak lelaki majikannya tak pernah mudah. Yanto sedang lelah memutar otak untuk membujuk. Oleh karenanya, dia mengikuti kemauan Gala.
Dia mengangguk segan pada sang guru, lalu menanyakan lokasi kantin sekolah.
Pria yang bekerja sebagai sopir itu kembali menghampiri Gala ketika sore. Dia berterima kasih pada sang guru, kemudian berjalan keluar area sekolah bersama Gala.
Selama perjalanan pulang, Gala diam saja, seperti biasa. Dia hanya memandang jendela guna melihat jalan raya dan gedung-gedung bangunan.
Sesampainya di rumah, Gala diantar Yanto untuk menemui asisten rumah tangga mereka, Bi Tuti. Dia diarahkan untuk mandi dan makan. Setelah selesai, dia kembali diantar ke tempat les piano.
Air wajah anak lelaki itu terlihat lebih hidup ketika mendengar penjelasan dari guru musiknya. Dia memperhatikan dan mengikuti contoh yang diberikan guru les tersebut sampai dia dapat menyelesaikan satu lagu penuh.
Suasana hatinya tampak membaik selepas menghadiri les privat. Tak seperti siang tadi, kini dia bersedia menjawab pertanyaan remeh sopirnya ketika mereka sedang dalam perjalanan pulang. Kemurungan di wajahnya tak begitu tampak. Dia menyerahkan tas pada Bi Tuti sebelum ikut beranjak ke dalam rumah besar di hadapannya.
"Menu makan malam nanti apa, Bi?" tanya Gala, merasakan perut yang sudah meraung ingin diisi.
Bi Tuti menoleh. Dia tersenyum.
"Sup ikan, Den. Den Gala katanya suka ikan, 'kan?"
"Ikan laut, bukan?" tanyanya lagi.
Bi Tuti mengangguk. Respons tersebut sedikit menarik senyuman di bibir sang anak. Dia membiarkan asisten rumah tangganya kembali ke dapur. Sementara itu, dia bergegas menaiki tangga untuk kembali ke kamar. Gala hendak menarik kenop pintu kamarnya ketika mendengar suara pecahan barang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gugat. [END - Telah Terbit]
RomanceTelah diterbitkan - tiga chapter akhir dipindah pada platform karyakarsa ** Setelah menjalani pernikahan hampa selama hampir delapan tahun, Gema akhirnya mendapatkan alasan valid untuk mengajukan gugatan cerai pada sang suami, Sagala Caturangga. Ke...