15 ; Pecah

55.5K 5.8K 322
                                    

JARUM JAM TELAH menunjukkan pukul satu dini hari. Gema merasakan pegal di seluruh tubuh begitu keluar dari taksi. Dia berterima kasih singkat kepada satpam yang telah membukakan pintu gerbang untuknya. Komentar penjaga keamanan itu—mengenai Gema yang tumben baru pulang malam—hanya dibalas dengan senyuman tipis. Dia membenarkan blazer panjang yang dikenakan, lalu lanjut berjalan hingga ke depan pintu utama.

Kondisi pintu yang terkunci tidak begitu mengejutkan Gema. Dia merogoh tas guna mengambil kunci duplikat. Keningnya mengerut samar ketika tidak kunjung menemukan benda tersebut.

Gema mendekati lampu teras yang tak begitu terang. Dia membuka ritsleting tas lebar-lebar. Lima menit dia berdiri di sana, hanya untuk mengasumsikan bahwa kemungkinan besar dia sangat terburu-buru pergi sampai lupa membawa kunci duplikat.

Rasa lelah dan stres yang menumpuk seolah memperburuk daya ingatnya.

Atau mungkin dia saja yang sudah tak lagi semuda dulu.

Gema meringis ketika memikirkan hal itu.

Dia menyerah untuk mencari kunci. Bel pintu rumah ditekan sekali, diikuti oleh ketukan sebanyak tiga kali.

Pintu yang tak kunjung terbuka mulai menguji kesabaran Gema. Dia merogoh tas lagi, hendak menyalakan ponsel untuk menelepon Hasna. Niatan itu sirna berkat pintu rumah yang telah terbuka.

Yang dilihatnya bukanlah Hasna, tetapi suaminya.

Gala masih mengenakan setelan kerja. Pakaian itu tampak cukup lusuh, tak lagi necis dan tertata. Kedua lengan kemeja telah digulung hingga siku. Dua kancing atas kemejanya terbuka. Hanya sisa harum parfum yang masih cukup dikenali Gema.

Pandangan mereka bertemu sekilas. Gema tak menatap suaminya lama-lama. Dia membenarkan posisi tas di pundaknya, lalu mendorong daun pintu untuk memperlebar akses untuk masuk.

Gema tak mengucapkan sepatah kata pun. Dia menghindari Gala. Gerak-geriknya begitu kentara.

Gala memandangnya yang bersikap acuh tak acuh. Gema merasakan sorot tajam dari belakang. Dia berusaha keras untuk tetap mengabaikan. Langkahnya diperlebar. Dia hendak menaiki tangga ketika mendengar gebrakan pintu yang amat tiba-tiba, keras suaranya cukup untuk membuat dia berjengit kaget.

Kesabaran dalam benak Gema mulai menipis. Tujuh tahun mereka tinggal bersama. Sekarang adalah pertama kalinya Gala bersikap kasar seperti ini, seperti malam kemarin, ketika dia dipaksa sampai dirinya mempertanyakan harga diri yang telah dia bangun selama bertahun-tahun.

Gema membalikkan badan. Dia mendongak, menatap mata tajam lelaki yang sedang berjalan menghampirinya.

"Kamu nggak perlu banting-banting pintu kalau mau ngomong sama aku," ujar Gema dengan nada monoton, sama sekali tak terkesan dengan perilaku agresif suaminya.

Gala mengerutkan dahi. Ekspresinya kaku. Dia terlihat lebih marah dari hari-hari sebelumnya, seolah ada pematik besar yang akhirnya membakar sisa sumbu kesabaran yang dia punya.

"Nggak perlu? Buktinya, kamu baru mau lihat aku setelah aku banting pintu itu."

Gema menatap dengan tidak setuju. Dia mengeratkan genggaman pada selempang tas tangannya, menatap awas Gala yang kini hanya berjarak dua langkah dari tempatnya berdiri.

"Dari mana kamu?" tanya Gala kaku. Dia memperhatikan Gema, melihat setelan celana jeans yang dipadukan dengan baju model turtleneck dan blazer panjang, indikasi yang memperlihatkan bahwa Gema tidak hanya pergi untuk berjalan-jalan ke sebuah mal semata. Gema tidak menyukai blazer panjang. Dia baru akan memakainya ketika hendak berpergian jauh. Ekspresi Gala tampak gelap. Dia kembali bertanya, "Kamu masih ingat rumah?"

Gugat. [END - Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang