31 ; Kesempatan

60K 5.8K 585
                                    

KALI TERAKHIRNYA MENEMUI Gema adalah dua hari lalu, saat dia ikut menjenguk sang mertua, itu pun dia terpaksa pulang cepat karena harus mengurus masalah pekerjaan. Mengosongkan jadwal bukan perkara mudah. Jabatan rangkap yang dipunyai bukan hanya menghasilkan tambahan uang, tetapi juga beban kerja yang lain. Kesibukan tersebut mampu mengalihkan perhatiannya dari kemelut pikiran. Namun, perpisahan yang menghadang tetap menyulitkannya untuk tidak memikirkan sang istri.

Sudah hampir dua bulan sejak Gema pergi dari rumah. Alasan apa lagi yang harus dia buat untuk dapat menemuinya? Tidak mungkin jika dia harus terus melibatkan Rafa. Anak itu selesai sekolah di siang hari, waktu yang jelas-jelas masih tergolong jam kerja. Jabatan Gala bukan sekadar label. Dia tetap harus bekerja dan mengerjakan setumpuk tugas. Tidak mungkin jika dia terus-terusan melakukan reschedule.

Akan lebih baik kalau mereka pulang. Dia tetap bisa menemui Rafa dan Gema ketika malam.

Gala kembali ke kantor setelah selesai makan siang dengan jejeran rekan direksi. Dia baru kembali duduk di ruangan ketika mendapati Adit yang mengetuk pintu.

Begitu diizinkan masuk, Adit langsung menyerahkan sebuah amplop surat ke atas meja. Sang asisten mengerutkan dahi dengan tidak percaya. Sebuah pertanyaan terlontar dari mulutnya.

"Lo abis ngapain Alea?" todong pria dewasa itu.

Gala mengerling rendah. Dia membaca pesan pada amplop tersebut, kemudian mulai membuka surat yang ada di dalamnya.

Setelah selesai membaca, dia kembali menatap Adit.

"Ada yang salah? Semua orang bisa minta resign, termasuk dia."

Adit mengembuskan napas panjang. Dia menyeret bangku yang di dekat meja kerja Gala.

"Masalahnya, cari pengganti dia tuh nggak gampang. Lo mau bikin pusing anak HR lagi? Dia baru masuk sini enam bulan, belum juga setahun, tapi udah lo depak aja."

"Dia yang resign, bukan gue depak," koreksi Gala. Dia menunjuk amplop surat di depannya. "Dan ini baru surat pemberitahuan. Dia baru bisa resign tiga bulan lagi, setelah menuntaskan pekerjaannya. Waktu tiga bulan nggak cukup buat cari kandidat baru?"

"Gue tau. Tapi, dia anaknya manajer BUMN, adiknya konsultan bisnis yang ngurus LMT—"

"Terus?" tantang Gala. Dia menegakkan diri selagi menatap lurus asistennya. "Denger, dari awal dia dicalonkan, emang gue nge-approve dia? Sekretaris Umum di perusahaan ini bukan mainan. Gue perlu orang yang super experienced, bukan anak hijau kayak dia yang baru nyemplung ke dunia kerja. Selama ini yang ngurus jadwal gue juga elo 'kan? Dia masih keteteran dan perlu banyak arahan. Pace kerjanya masih lambat. Gue butuh orang yang lebih cekatan."

"Bukannya lo mau menerima orang yang mau belajar?"

Gala mengangguk.

"Selama mereka udah ada basic skill-nya, gue terima. At least yang udah ada pengalaman di bidang ini selama lima tahun," tandas Gala. "Kenapa lo nge-acc rekomendasi mentah kayak gitu? Kalau gini terus, lama-lama gue ganti lo sekalian sama asisten baru."

Saat itu, Adit hampir tersedak ludahnya sendiri.

Gala menyandarkan diri pada punggung kursi. Dia mengembuskan napas pendek.

"Gue tetap mau ganti sekretaris. Cari kandidat yang nggak bakal cepet kedistraksi dan nggak gampang dibodohi. Kalau bisa, cari sekretaris laki-laki atau perempuan yang udah nikah, pastikan mereka nggak naksir sama bos sendiri." Gala mengerling pada Adit, melihatnya yang sudah mau mendengarkan. "Lo dikasih duit berapa sama kakaknya Alea?"

"Bukan dikasih duit, gue sama Hans udah sering kerja bareng, lo tau sendiri dia juga deket sama kita. Nggak enak gue kalau nolak permintaannya."

"Bos lo itu gue, bukan dia," tandas Gala, masih tak habis pikir. "Kalau mau tetap pertahanin Alea, kirim dia ke divisi lain. CFO kita lagi butuh sekretaris baru juga, sekretaris lamanya lagi cuti lahiran. Lo cari kandidat baru buat gue."

Gugat. [END - Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang