Jakarta, 2022
°°°
LANGIT PAGI MASIH tampak gelap. Jalan raya masih lengang. Aktivitas harian penghuni kota belum dimulai, tak terkecuali dua insan yang masih terlelap dan hanyut dalam alam bawah sadar mereka.
Jam dinding terdengar nyaring di antara kesunyian. Gala mengerutkan kening dan membuka mata dengan cepat ketika tidurnya dibayangi mimpi yang tak diinginkan. Beliak pada mata menunjukkan keterkejutan. Napas sedikit memburu. Hangat yang bergelung di sampingnya langsung mengalihkan perhatian. Helaan lega terlepas dari bibir begitu dia mendapati seorang wanita yang masih tertidur pulas. Napasnya teratur. Wajahnya diliputi ketenangan, berbeda dari ekspresi marah dan kecewa yang sempat hadir dalam alam mimpi sang pria.
Ketakutan dan kekhawatiran untuk kembali ditinggalkan mungkin terlalu besar. Gala tak habis pikir, setelah kemajuan hubungan mereka pun dia masih dihantui luka di masa lalu.
Semakin dia terbuka pada seseorang, semakin besar kepercayaan yang dia berikan pada orang itu. Pengkhianatan sang orang tua benar-benar berbekas besar sampai dia sulit mempercayai orang lain seperti ini.
Kronologi pernikahannya dengan Gema sempat hadir dalam memori. Perseteruan mereka telah menyadarkan tentang betapa egoisnya dia. Semua tuduhan Gema sama sekali tak bisa ditampik. Dia terlampau tak peduli sehingga tak jarang, dia mengutarakan hal yang menyakitkan sang istri. Belum lagi mengenai rentetan aturan sepihak yang membuat Gema sesak. Tindakan dan perilakunya memang berengsek. Tak heran Gema sampai menggugat cerai dan menginginkan perpisahan.
Manik mata menatap sisi wajah sang wanita. Gala mengulurkan tangan dan mengusap pelan puncak kepalanya. Dia sedikit mengeratkan pelukan selagi merasakan kehadiran Gema.
Sosok ini sudah memberinya kesempatan. Dia takkan kembali menyia-nyiakannya, takkan lagi.
"Udah pagi?" gumam Gema tiba-tiba, sudah ikut terbangun. Suaranya terdengar serak dan masih mengantuk.
"Tidur lagi aja," balas Gala, dia mengusap pundak sosok di sampingnya.
Gema beringsut mendekat dan melingkarkan sebelah lengan pada leher sang suami. Dia berbaring miring, mencoba untuk sepenuhnya merangkul. Tindakan Gema, yang kini tak lagi segan ataupun menahan diri untuk bersikap semacam ini, menarik senyuman samar di bibir Gala. Dia menarik napas pelan dan ikut berbaring miring untuk meraupnya dalam pelukan. Hangat napas Gema menerpa leher. Dia menyandarkan kepala pada pundak sang pria. Gala mengusap rambut panjang Gema.
"Kamu nggak berangkat pagi?" gumam Gema, sedikit teredam akibat pelukan mereka.
"Berangkat pagi, nanti," timpal Gala. Dia menatap helaian panjang di sela jemarinya. "Emangnya kamu mau gini sampai pagi?"
Gema mengembuskan napas pelan.
"Hangat," balas Gema, masih dengan nada yang rendah. "Kamu nggak mau dipeluk-peluk?"
Kala itu, Gala hanya menahan dengkus dan mengeratkan pelukan, tidak membalas dengan bahasa verbal. Dia kembali mengusap puncak kepala Gema dan memintanya kembali tidur. Mereka masih punya waktu untuk beristirahat.
Gema, yang memang masih mengantuk, bagai terkena sugesti. Dia kembali terlelap selang beberapa lama. Barulah ketika matahari mulai menyusupi tirai kamar mereka, dia membuka mata. Gala sudah beranjak dari ranjang. Dia bahkan sudah terlihat segar. Ada jejak air di rambut gelapnya.
Gema menggelung rambut panjang miliknya sendiri. Dia tersenyum malas ketika pandangan mereka bertemu. Sepasang netra memperhatikan kemeja yang membalut tubuh sang pria. Dia lantas berucap, "You always look good in suit. Aku udah pernah ngomong itu belum?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gugat. [END - Telah Terbit]
RomanceTelah diterbitkan - tiga chapter akhir dipindah pada platform karyakarsa ** Setelah menjalani pernikahan hampa selama hampir delapan tahun, Gema akhirnya mendapatkan alasan valid untuk mengajukan gugatan cerai pada sang suami, Sagala Caturangga. Ke...