21 ; Umpan

57.1K 5.9K 512
                                    

"SETAU SAYA, SEBULAN yang lalu nyonya pergi ke Semarang buat menjenguk ibunya yang masuk rumah sakit. Nyonya waktu itu keburu-buru, bahkan sampai minta Hasna menjemput Rafa. Padahal Bapak tau sendiri, nyonya nggak pernah mengandalkan orang lain kalau sudah menyangkut Rafa. Saya masih ingat, nyonya kelihatan sangat panik."

Ucapan Pak Asep, yang pagi tadi mengajukan cuti pulang kampung, masih terngiang dalam benak. Pematik perdebatan besar Gala dengan Gema kini telah terjawab. Gema pulang begitu malam karena dia mengunjungi rumah sakit umum di Semarang hanya dalam satu hari. Sang istri tidak melarikan diri dari masalah, apalagi mencoba menghabiskan waktu dengan laki-laki lain. Gema pergi untuk menjenguk keluarganya. Kemungkinan besar, dia begitu panik setelah mendengar kondisi sang ibu yang masuk rumah sakit dengan tiba-tiba.

Pagi itu, Gala sempat memastikan kebenaran ucapan Pak Asep dengan langsung menghubungi nomor ayah mertuanya. Penjelasan yang dia dapat mengenai kondisi sang ibu mertua sudah cukup untuk mengonfirmasi kebenaran ucapan Pak Asep. Gala menuturkan harapan baik untuk kesehatan ibu mertuanya. Dia menutup telepon setelah berjanji untuk mengirimkan obat-obat herbal guna menjaga kesehatan sang ibu. Percakapan mereka berlangsung tanpa menyinggung topik mengenai Gema. Gala cukup lega ketika mengakhiri panggilan.

Dia menyandarkan diri pada punggung kursi kerja. Kedua mata menutup. Selang beberapa saat, dia menarik gagang telepon untuk memanggil asisten pribadinya.

Adit datang tak lama kemudian.

Tanpa melihat kehadiran sosok itu, Gala langsung bertanya, "Lo ada kontak orang dari pengadilan agama?"

Seketika, Adit mulai memahami arah pembicaraan mereka.

"Kalau kontak hakim sana, gue belum ada, adanya dari pengadilan negeri. Tapi, gue ada kenalan pengacara yang biasa menangani kasus perdata di pengadilan agama."

Gala mengalihkan perhatian dari layar komputer. Dia mengangguk pada asistennya.

"Hubungi dia buat ketemu gue besok siang."

Adit balik mengangguk.

"Gue usahakan. Kalau udah dikonfirmasi, nanti langsung gue kabari," ungkapnya. Dia mengerutkan kening samar dan memandang Gala dengan heran. "Lo akhirnya mau nyari pengacara?"

Gala mengerling tajam pada Adit.

Adit hampir berjengit dan meminta maaf. Untungnya, Gala mau menimpali pertanyaan itu.

"Gue harus menang," ujarnya telak.

Adit berdeham. Dengan kaku dia menimpali, "Yeah, udah seharusnya." Gala tidak merespons dan kini sudah lanjut berkutat dengan pekerjaan. Adit menahan diri untuk mengelus dada, mengingatkan diri pada gaji bulanan yang jumlahnya memang cukup besar. Dia hendak beranjak ketika teringat sesuatu yang perlu disampaikan.

Gala kembali menatapnya. Dia mengulang ucapan Adit.

"Undangan?"

Adit mengiakan.

"Undangan pesta dari Kiran Gasendra," terangnya. "Well, dia nggak mengirimkan undangan formal lewat email atau semacamnya, tapi gue diminta buat mengonfirmasi ke dia semisal lo mau datang. Kemarin, gue sempet ketemu dia di pameran. Dia bilang, lo diharapkan datang ke acara pesta kecil-kecilannya. Kata dia, pesta spesial cuma buat 'temen-temen'-nya."

Adit menatap Gala dengan ragu. Dia kembali bertanya, "Uhm, sejak kapan kalian kenal dekat? Terakhir gue denger, Nares nyumpahin dia seharian penuh. Gue nggak tau kalau sekarang kalian berteman."

Gala terdiam. Dia mengembuskan napas pendek.

"Nggak penting," komentarnya dengan nada tidak peduli. "Tolak undangannya. Gue nggak akan bisa datang."

Gugat. [END - Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang