29 ; Renungan

52.4K 5.5K 234
                                    

GERIMIS TELAH REDA ketika mereka sampai di pelataran rumah sang bibi. Gema beranjak dari mobil tanpa membuka pembicaraan. Lelah fisik dan pikiran sudah cukup menguras tenaga. Akhir-akhir ini, obrolannya dengan Gala selalu berakhir dengan perdebatan. Dia sedang tak ingin menyia-nyiakan sisa energinya untuk hal yang tidak diperlukan.

Oleh karena itu, ketika mereka sudah sama-sama keluar mobil, Gema ingin segera beranjak. Dia menahan keinginan tersebut ketika merasakan hangat tangan yang menggenggamnya erat.

Gala memandangnya lekat. Dia berujar pelan, hampir terdengar samar.

"Aku udah denger kronologi kejadiannya dari ayah," awal sang pria. Dia memandang wajah pucat di hadapannya, melihat gurat lelah dan letih yang tampak kentara. "Kuharap kamu nggak terlalu menyalahkan diri karena kejadian ini. Dari awal, aku yang bilang ke kamu buat coba membicarakan masalah kita ke ayah dan ibu. Ini salah aku juga."

Gema terdiam. Dia memandang telapak tangan yang menggenggamnya.

"Kamu ngomong apa aja sama papa?" tanya Gema, merasakan rambatan rasa khawatir.

"Ngomongin kita yang memulai pernikahan dengan cara yang salah." Dia mengusap pelan pundak sosok di hadapannya. "Listen, aku nggak mencoba bujuk ayah kamu buat memihak salah satu di antara kita. Aku cuma jawab pertanyaan beliau, sekadarnya aja." Gala kembali memandang Gema yang sudah balik menatapnya. "Dari yang aku tangkap, papa kamu mendukung apa pun keputusan yang kamu buat. Aku cuma mau kamu tau itu."

Gema menatap Gala lekat.

"Dan kamu nggak merasa terancam dengan dukungan papa ke aku?"

"Sedikit, tapi nggak ada untungnya juga kalau aku memanfaatkan keadaan ini. Aku cuma bakal jadi lebih berengsek di mata kamu."

Gema tak membalas ketika mendengar pernyataan lugas itu. Dia masih mendengarkan ketika Gala melanjutkan, "Kita bakal selesaikan masalah pernikahan di pengadilan, kayak yang kamu mau. Untuk sekarang, aku harap kamu nggak terlalu menekan diri kamu karena kondisi ibu. Beliau akan membaik. Pihak rumah sakit bakal mengusahakan proses pemulihannya."

Gema hanya menatap, sulit untuk balas berucap. Perilaku Gala yang demikian masih sulit dicerna oleh otaknya, mulai dari kedatangannya kemari, bantuan yang dia beri, dan juga ... ini. Dibandingkan hari-hari yang lalu, Gala tampak jauh lebih tenang dan teduh, tidak meletup-letup dan memaksakan kehendak.

Nada bicaranya lembut, suara yang tak pernah Gema bayangkan dapat keluar dari mulut seorang Gala.

Gema mematung, merasa bingung sekaligus janggal. Dia bahkan masih terdiam ketika Gala mengusap puncak kepalanya.

"Istirahat yang cukup. Jaga kesehatan. Rafa bakal sedih kalau lihat bundanya ikut-ikutan sakit."

Gema mengerling pada uluran tangan sang pria. Ketika menyadari tatapan Gema, Gala langsung menarik tangannya.

"Telepon aku kalau kamu butuh sesuatu. Aku bakal di sini sampai besok. I hope you'll have a great sleep."

Gema menjawab dengan gumaman. Sebelum Gala beranjak, Gema sempat mengucapkan terima kasih, terima kasih atas bantuan yang dia berikan di rumah sakit tadi.

Gala tidak langsung menjawab. Dia menatapnya sesaat, lalu berujar, "Seperti yang udah seharusnya aku lakukan. You don't need to thank me."

Gema tak berkesempatan untuk membalas karena Gala sudah kembali memasuki mobil. Kendaraan tersebut berjalan keluar dari halaman rumah, terus melaju ke jalan raya.

Rentetan peristiwa yang terjadi malam ini masih bagaikan mimpi. Gema menarik napas pelan sebelum beranjak memasuki rumah. Dia memberi penjelasan singkat pada paman dan bibinya. Begitu menginjakkan kaki di kamar, dia langsung menjatuhkan pandangan pada Rafa yang masih terlelap. Hela napasnya teratur, ekspresi jahil dan ingin tahu kini tampak polos, terlihat damai tanpa beban.

Gugat. [END - Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang