GEMA MENUNGGU JAWABAN Kiran. Dia masih memicingkan mata, waspada.
Di hadapannya, Kiran malah bersandar santai pada terali balkon. Dia melipat kedua tangan di depan dada.
"Laki lo pengusaha," awal Kiran. "Cara pikir kami cukup sama. Gue nggak pakai cara licik. Kami negosiasi kayak biasa." Dia menaikkan sebelah alis. "Lo curigaan banget sama temen sendiri."
Gema mengembuskan napas pendek. Dia menegakkan badan.
"Bukan curiga, gue cuma penasaran. Dia bukan orang yang gampang diajak kerja sama bareng orang yang belum dia percaya, contohnya lo. Kalau dia sampai ngebolehin perusahaan rival kerja sama, pasti ada sesuatunya."
Kiran mengangguk.
"Betul. Sesuatu itu wujudnya profit," terang Kiran. Dia menjentikkan jari. "See? Cara mikir pengusaha mah gampang. Kami suka keuntungan. Dia liat peluang besar di perusahaan gue. Dan gue juga mikir hal yang sama. Gitu aja, simple."
Gema masih kurang percaya. Dia menatap dengan skeptis.
"Karena kerja sama itu tiba-tiba lo jadi akur sama dia?" Gema menyandarkan punggung. "Gue kira dulu lo anti sama laki gue."
"Bukan anti, gue cuma nggak mau berurusan sama dia, repot," aku Kiran. "Dia nggak bisa disamain kayak pengusaha boomer yang kebijakannya udah sering ketinggalan zaman. Ngelawan perusahaan yang dipimpin dia bakal ngerepotin banget. Gue males. Biar nggak jadi lawan lagi, mendingan gue kerja bareng dia sekalian. Toh gue tau kompetensinya."
Gema sudah cukup lama mengenal Kiran untuk dapat memahami cara pikir yang demikian. Dia menggeleng pelan, tak habis pikir dengan isi otak sang kawan.
"Jadi, lo kerja bareng dia murni buat urusan perusahaan? Bukan karena adiknya pernah bikin masalah sama lo?" tanya Gema lagi. Dia menatap Kiran lamat-lamat. "Lo nggak lagi balas dendam atau semacamnya 'kan?"
Kiran menatapnya sesaat.
"Lo denger apa aja tentang gue?" tembaknya langsung.
Gema langsung tersenyum, tahu betul pada intuisi Kiran yang memang cukup tajam.
"People talks," ungkap Gema. "Anggap aja gue tau kelakuan berengsek lo yang nggak akan gue tolerir saking gobloknya."
Dengkusan rendah terdengar. Kiran tertawa kering.
"Serem lo," komentarnya.
Gema berdecak pelan.
"Gue temen lo. Gue nggak mau temen gue kelewat bajingan," ungkapnya. "Apalagi kalau bajingan ke cewek, perempuan sepolos Aruna," tambah Gema, menekankan. "Tell me. Lo mau berurusan sama Gala bukan karena mau nargetin adiknya, 'kan? Cuma karena dia ngerusuhin idup lo?"
Kiran tak langsung menjawab.
Gema menyipitkan mata, mulai sangat curiga. Dia hendak berucap ketika ponselnya bergetar. Obrolannya dengan sang kawan terhenti untuk beberapa saat. Gema menerima panggilan telepon yang ternyata berasal dari Gala. Dia hendak beranjak, tepat ketika dia ingat pada ketiadaan Rafa. Oleh karenanya, dia menyebutkan lokasi keberadaannya.
Sambungan telepon dimatikan. Kiran segera berbicara sebelum Gema lanjut menginterogasi dan memberi wejangan lain.
"Urusan gue sama Gala murni karena masalah perusahaan, bukan karena urusan personal. Gue dikasih kepercayaan sama keluarga buat mimpin Prasada. Dan Runa, lo nggak perlu khawatir, gue nggak sebajingan itu. She's my lover now. Gue nggak akan nyakitin dia."
Kiran mengembuskan napas pendek, lalu menguraikan lipatan tangannya.
"Lo baru ketemu dia dua kali. Kenapa protektif banget, dah?" ujarnya heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gugat. [END - Telah Terbit]
RomansaTelah diterbitkan - tiga chapter akhir dipindah pada platform karyakarsa ** Setelah menjalani pernikahan hampa selama hampir delapan tahun, Gema akhirnya mendapatkan alasan valid untuk mengajukan gugatan cerai pada sang suami, Sagala Caturangga. Ke...