50 ; Sisi Lain

57.1K 6.2K 321
                                    

HARI PERNIKAHAN SAHABATNYA akan segera tiba. Sejak seminggu yang lalu, Gema telah memikirkan hadiah spesial untuk Naura. Daftar panjang hadiah telah dibuatnya, mulai dari perhiasan, furnitur rumah, hingga paket peralatan dapur. Sayangnya, dari daftar hadiah itu, tak ada opsi yang memberi kesan spesial. Dulu, dia perlu menyisihkan uang untuk membelikan hadiah. Usaha itu lebih terasa. Alhasil, hadiah yang diberikan juga lebih berkesan, berbeda dengan kondisinya yang sekarang. Membeli barang adalah suatu kemudahan. Dia merasa kurang jika hanya memberikan hadiah berupa barang belian.

Oleh karena itu, di tengah rambatan dilema, Gema mendapatkan dorongan untuk kembali menyentuh kanvas. Hobi yang sempat ditinggalkan pada akhirnya kembali dilakukan. Gema menghabiskan seharian penuh untuk berbelanja peralatan lukis baru. Tak hanya itu, dia juga meminta bantuan Pak Asep untuk membersihkan salah satu ruangan yang tak terpakai di rumah mereka. Selama ini, ruangan itu selalu terkunci. Gema tak pernah penasaran untuk memeriksa. Setidaknya, sampai dia membutuhkan ruang khusus untuk membuat hadiah pernikahan sang sahabat.

Ruangan itu berada di lantai satu, tepat di seberang gudang. Gema, Hasna, dan Pak Asep hendak membersihkannya ketika Gema mendapati sebuah barang yang tak disangka-sangka ada.

Sebuah instrumen musik tersimpan di dalam sana. Ketika Gema menarik kain yang menyelubunginya, dia langsung diperlihatkan pada sebuah piano usang yang kentara sekali sudah lama tak terpakai. Debu yang tebal mengitari bekas kain penutup. Gema mengibaskan tangan dan sedikit terbatuk setelah menarik kain tersebut. Jemari menyentuh tuts piano dan menekannya pelan. Suara berupa tangga nada mengalun rendah di telinga. Gema kembali menekan beberapa tuts yang lain. Piano tersebut ternyata masih berfungsi dengan cukup baik, meski suara yang dihasilkan tidak sekeras piano aktif yang sering digunakan.

Hasna menghampiri Gema tak lama kemudian. Dia memandang majikannya. Kedua mata membulat. Dia menatap Gema dengan penasaran.

"Ibu bisa mainin piano juga, Bu?" tanyanya.

Gema masih memandang benda tersebut. Dia tersenyum samar.

"Enggak, bukan punyaku," balasnya. "Aku nggak pernah main alat musik."

Pak Asep ikut bergabung dengan mereka. Dia membawa sapu dan alat untuk bersih-bersih. Pandangannya sama-sama jatuh pada Gema dan instrumen musik di depannya.

"Ah, itu," ujar pria tersebut. "Saya lupa, ternyata masih ada piano di sini."

Gema menoleh.

"Pak Asep tau ada piano?"

Pria itu mengangguk.

"Iya, dulu sebelum Nyonya tinggal di rumah ini, saya sempat bantu Bapak pindahan dari apartemen. Salah satu barangnya itu, piano," ungkapnya. Dia menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Saya kira Bapak udah lama jual piano ini, ternyata masih disimpan."

Gema terdiam, baru tahu tentang satu fakta ini. Gala sama sekali tak memperlihatkan ketertarikan pada seni musik. Untuk seni rupa saja dia hanya sedikit tertarik. Dulu, dia sempat memintanya untuk terus melukis agar lukisan tersebut bisa dipajang di rumah mereka. Gema menolak karena masih memiliki dorongan untuk melawan Gala. Gala tak begitu mempermasalahkannya meskipun Gema enggan untuk kembali menyentuh kanvas. Pria itu tak begitu peduli.

Bagaimana bisa sosok yang hidupnya dikelilingi oleh bisnis dan bisnis ternyata menyimpan ketertarikan pada musik?

Gala tak terlihat seperti penggila seni—sangat kontras dengan Panca, adik Gema, yang mati-matian menekuni dunia musik sampai dia sering berselisih dengan ibu mereka.

Gema mengembuskan napas pendek. Dia kira dirinya sudah mulai mengenal Gala. Nyatanya, ada banyak hal yang belum dia ketahui tentang suaminya.

"Pianonya kita pindah juga, Nya?" tanya Pak Asep.

Gugat. [END - Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang