18 ; Kegigihan

60.4K 5.8K 221
                                    

MEMANCING GEMA AGAR mau bertemu dengannya sangatlah mudah. Seperti yang telah diprediksi, Gema benar-benar datang demi Rafa. Suara perempuan itu terdengar amat geram saat meneleponnya. Kemungkinan besar dia tahu alasan Gala yang tiba-tiba mau menghabiskan waktu dengan Rafa. Gala tak perlu menunggu lama hingga Gema tiba di sebuah mal tempat mereka berada.

Selagi duduk di salah satu bangku, Gala memandang kedatangan perempuan yang masih berstatus sebagai istrinya. Penampilan Gema sedikit berubah dari terakhir kali Gala melihatnya. Alih-alih rambut hitam panjang, warna rambut Gema kini bercorak hitam dan abu-abu. Pakaian panjang serba tertutup tak lagi membalut tubuh. Gema memang mengenakan sweater besar nan panjang, tetapi setelan itu kini dipadukan dengan rok pendek. Kaki jenjangnya terekspos bebas. Ketika Gema berhenti di depannya, Gala juga mendapati tindikan baru di masing-masing telinga sosok tersebut.

Gala memandangnya lurus. Dia belum sempat membuka suara ketika Gema bertanya, "Di mana Rafa?"

Gala mengedikkan dagu pada bangku di sampingnya.

"Duduk dulu. Aku mau ngomong."

Gema mengerling ke sekitar mereka, melihat lalu-lalang orang di dalam mal. Keributan kecil akan langsung memancing perhatian. Gala seolah sengaja memilih tempat terbuka seperti ini agar Gema mau menuruti keinginannya. Mau bagaimanapun juga, Gema tidak suka menjadi pusat perhatian akibat drama tidak jelas.

Gala memperhatikan Gema yang mengembuskan napas pendek. Perempuan itu melangkah mendekat dan duduk di sampingnya. Jarak di antara mereka cukup jauh meski keduanya masih dapat mendengar satu sama lain.

"Kamu sebaiknya menarik gugatan cerai itu," ucap Gala secara langsung. Dia menoleh pada Gema yang masih enggan melihatnya. "Perceraian yang kamu inginkan nggak akan pernah terjadi."

Gema tersenyum masam ketika mendengarnya.

"Udah kuduga, kamu masih aja menentang," ungkapnya. Dia menoleh, menatap Gala lurus-lurus. Tak ada ketakutan atau keraguan dari sorot mata itu. "Aku nggak akan mencabut gugatanku."

Gala sedikit mengerutkan dahi, masih tidak menyangka pada sikap keras kepala wanita ini.

"Kamu nggak akan menang. Percuma aja," tandasnya.

"Who knows?" timpal Gema. "Aku belum mencoba. Kalau kamu yakin bakal menang, kamu nggak perlu minta aku mencabut gugatan. Kita selesaikan masalah kita sekalian di pengadilan."

Gala mengatupkan rahangnya.

"Meski harus mengorbankan Rafa?" Gala memandang Gema lekat, terlampau lekat. "Dia nggak mau orang tuanya cerai. Nggak ada anak yang siap buat memilih harus tinggal dengan ayah atau ibunya."

Disebutnya nama Rafa berhasil memancing sisi sentimental Gema. Sosok itu membuka mulut, seolah hendak bicara. Dia mengalihkan pandangan.

"Rafa bakal mengerti kalau dia udah semakin dewasa," balas Gema pada akhirnya. Dia kembali menoleh pada Gala. Keraguan di matanya telah sirna, digantikan oleh keyakinan awalnya. "Dia juga nggak perlu memilih bakal tinggal sama siapa. Pengadilan bakal memutuskan masalah hak asuh anak. Yang perlu kamu lakukan tinggal menyewa pengacara dan mendatangi sidang. Kamu udah yakin bakal menang, 'kan?"

Gala hanya memandangnya kecut. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun.

Gema menegakkan diri. Dia berdiri dan mengedarkan pandangan, mendapati sebuah sektor permainan anak tak jauh dari tempat mereka berada. Perawakan putra kecilnya tampak dalam pandangan. Gema mengerling pada Gala. Dia berucap, "Seminggu lagi sidang pertama kita. Aku harap kamu datang biar masalah ini nggak berlarut-larut."

Kalaupun Gala ingin membalas ucapan itu, Gema tidak memberinya kesempatan untuk berucap. Perempuan tersebut telah beranjak pergi. Dari sudut matanya, Gala melihat Gema yang memeluk Rafa sebelum mengajaknya bicara. Mereka keluar dari tempat permainan anak itu tak lama kemudian. Gema menggunakan jalan yang tak mengharuskannya dan Rafa untuk kembali berpapasan dengan Gala.

Gugat. [END - Telah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang