GEJOLAK EMOSI PASCA kejadian tadi malam belum juga reda.
Tidurnya tak nyenyak. Gema seperti diteror. Ketika berhasil memejamkan mata, dia tiba-tiba mendapatkan mimpi mengenai adiknya, Najla. Pada mimpi itu, Najla mengucapkan terima kasih karena selalu menolongnya. Dia juga sempat meminta maaf karena selalu merepotkan dan membebani sang kakak.
Gema terbangun dengan mata basah. Kepalanya berdenyut nyeri. Gema mencoba mengalihkan perhatian dengan membuatkan bekal makanan untuk Rafa. Dia keluar rumah di pagi buta, masih bersama Rafa yang setengah mengantuk dan protes karena sang ibu ingin sarapan di luar.
Gema ingin meminta maaf pada anaknya, tapi dia tidak bisa. Dia hanya dapat mengusap pelan kepala anak itu selagi memberi tanggapan yang jauh dari kata jujur.
Begitu mengantarkan Rafa ke sekolah, Gema langsung mengarahkan mobil menuju track tempat lari di area Gelora Bung Karno. Gema berganti pakaian di toilet. Begitu keluar bilik, dia menatap citra dirinya yang hanya mengenakan tank top ketat. Memar kemerahan yang ditinggalkan Gala tampak begitu jelas pada leher dan tulang selangkanya. Refleksi pada kaca itu membuatnya muak.
Gema menarik napas pelan. Dia mengikat tinggi rambut panjangnya, kemudian mengenakan jaket sport yang dibawa. Resleting jaket itu ditarik hingga menutupi leher.
Gema menenggak air mineral. Dia menggenggam botol tersebut sebelum mulai berlari.
Lelah fisik mungkin akan membuatnya lupa pada rasa lelah yang lain.
oOo
Pontianak, 2014.
"Pernikahan Gala dan Najla bisa direncanakan karena Gala memang bertanggung jawab setelah menghamili Najla. Kondisi itu nggak berlaku buat aku, Ma," ungkap Gema dengan nada memohon.
Saat ini, dia sedang mengunjungi ibunya setelah mendapatkan penawaran gila dari Gala. Mulutnya mungkin telah mengucapkan persetujuan parsial. Namun, Gema tetap bersikukuh untuk mencoba bicara dulu dengan kedua orang tuanya. Gala membiarkan Gema mendiskusikan hal tersebut dengan ayah dan ibunya. Dia mau melakukannya karena dia sudah sangat yakin pada keberpihakan orang tua Gema.
Hal tersebut dapat dilihat dari respons dan reaksi sang bunda.
Erina mengembuskan napas panjang setelah mendengar penjelasan berbelit putri sulungnya. Dia berhenti melipat pakaian.
"Kondisi kamu memang beda dari mendiang adik kamu. Tapi, memangnya kamu punya pilihan selain menikah sama dia?" tanyanya tegas.
"Aku bisa kerja, Ma. Aku bisa mendaftar kerja di luar negeri—"
"Mau tinggal di mana kamu kalau kerja di luar? Memangnya kamu yakin bakal langsung sukses?" Erina mengerutkan dahi dalam-dalam. "Kerja di luar negeri itu penuh risiko, Mala. Kamu bakal jadi sebatang kara di sana. Siapa yang menjamin kalau kamu malah mati di negeri orang?"
"Mama nyumpahin aku buat mati—"
"Hush, omongan kamu itu, lho," potong Erina langsung. Dia kembali mengembuskan napas panjang. "Mama nggak bisa kasih izin kamu buat kerja di luar negeri. Kalaupun iya, Nak Gala mau duitnya dibayar kontan secepatnya. Memangnya kamu udah ada duit berapa? Lima ratus juta ada?"
Tentu saja tidak. Bayangkan saja, Gema baru fokus bekerja sekitar tiga tahun. Jumlah gajinya itu sudah terpotong untuk biaya hidup di Jakarta dan biaya sekolah serta kuliah adik-adiknya. Tabungan Gema bahkan belum cukup untuk membeli mobil bekas. Nominal lima ratus juta mungkin baru akan terkumpul kalau dia menjual ginjal.
Gema pun menggeleng. Respons tersebut membuat ibunya berdecak keras.
"Nah, 'kan. Mama sama papamu nggak akan bisa bantu. Rumah ini harganya bisa sampai satu miliar. Tapi, kalau rumahnya dijual dan kita nggak ada pegangan duit lagi, Mama sama papa harus tinggal di mana? Ngontrak lagi kayak dulu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gugat. [END - Telah Terbit]
RomanceTelah diterbitkan - tiga chapter akhir dipindah pada platform karyakarsa ** Setelah menjalani pernikahan hampa selama hampir delapan tahun, Gema akhirnya mendapatkan alasan valid untuk mengajukan gugatan cerai pada sang suami, Sagala Caturangga. Ke...