16. PELET

17.7K 1K 24
                                    

Selamat membaca

***


Rasanya Windi ingin sekali pergi dari ruangan mewah tersebut. Siapa lagi kalau bukan Brian pelakunya.

Setelah Brian sukses membuat Windi diserbu oleh orang-orang, lelaki itu tampak cuek berbincang dengan para rekan bisnisnya. Entah kenapa acara yang semula hanya perpisahan biasa, kini menjadi acara formal yang dihadiri para pemegang saham Biotech.

Windi hanya ditinggali Vino yang sekarang ada di pangkuannya. Bocah itu asyik dengan kudapan yang dibeli tadi sebelum menghampiri Windi.

Vino tampak acuh dengan sekitar yang menatap penuh selidik. Walaupun dirinya masih kecil, namun cukup paham jika orang-orang tersebut penasaran dengan hubungan papinya.

"Tante ngapain liat-liat Pino telus?? Pino ndak suka ya..." ucap Vino dengan mengeratkan tangannya ke leher Windi. Anak itu tidak suka saat gerak-geriknya terlalu diperhatikan oleh orang lain.

Windi sontak terkejut saat lehernya dipeluk terlalu erat oleh Vino. "Hey, kamu kenapa Vino?"

"Pino ndak cuka diliatin tante jelek itu!" Vino semakin membenamkan wajahnya diceruk leher Windi.

Bukannya pergi dengan ucapan Vino. Retno malah duduk didepan Windi. Tentunya dengan raut wajah penasaran.

"Pake pelet apa kamu?!" Tuding Retno.

Windi menutupi telinga Vino dengan telapak tangannya yang mungil. Kasihan masih kecil denger nyinyiran orang dewasa.

"Kamu godain pake apa, kok bisa sih pak Brian nyantol sama kamu?!" 

Gerakkan tangan Windi yang mengusap Vino berhenti. Pertanyaan yang sudah bisa ditebak jika hubungan mereka terungkap. Sebenarnya Windi juga bingung dengan kepastian hubungan mereka. Secara kan dari awal Windi nggak pernah mau diajakkin menikah. Namun sifat keras kepala Brian membuat Windi akhirnya tunduk dan luluh.

Entah perasaan apa yang sebenarnya Brian rasakan.

"Maksud Mbak Retno apa ya?"

"Ya gitu.... Kok Pak Brian mau sih sama karyawan modelan kamu ini." Retno menunjuk tubuh Windi dari atas sampai bawah.

Oke! Windi merasa saangat bersalah terhadap dirinya yang hanya mengenakan blouse sederhana tanpa brand. Kalo ngerti mau direndahkan seperti ini, Windi akan mengenakan baju terbaiknya.

Gini-gini juga Windi punya koleksi yang menurutnya sangat mahal.  Berlogo kan B untuk sebuah hijab serta baju yang ia punya. Tentunya hasil menabung berbulan-bulan.

"Maaf mbak, saya tidak seperti yang mbak Retno pikirkan. Saya dekat dengan Pak Brian memang dengan niat menemani Vino bermain saja, tidak lebih. Terlepas Vino dan ayahnya yang memiliki perasaan lebih itu di luar  kuasa saya."

Perut Windi mendadak mual dengan apa yang ia ucapkan sendiri. Kalo Brian denger, pasti akan diledek habis-habisan.

"Sombong sekali kamu Windi." Retno mendekati Windi dan berbisik, "Hubungan rumah tangga mereka belum berakhir, Jangan merasa di atas langit dengan Brian yang sekarang memilih kamu. Karena posisi kamu tak jauh seperti penghibur baginya."

Windi mematung. Tubuh serta pikirannya seperti disadarkan oleh kenyataan pahit. Perempuan itu seakan lupa bahwa bukan mencintai dan menerima Brian yang berat, melainkan melepaskan lelaki itu dari jerat masa lalunya.

"Tante jelek habis ngapain mami akoh!! Mami.. mami...." Vino menepuk-nepuk kedua pipi Windi.

"Husstt... sayang nggak boleh berisik. Ayo sekarang kita temuin papi, lalu pulang..." Windi menurunkan Vino. Dia tidak memiliki cukup tenaga untuk menggendong bocah gembul itu.

Please LoVe Me, CITO! [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang