X. Today, five years after that bitter

332 91 16
                                    

Pahit manisnya hidup, jatuh bangunnya menjadi florist. Jani sudah merasakan semuanya dalam lima tahun belakangan. Memang benar bahwa hidup tidak berakhir ketika lulus kuliah, malahan hidup yang sesungguhnya baru dimulai saat itu. Aduh, Jadi jadi kedengeran sangat bijaksana saat ini kan?

Tapi serius, Jani benar-benar kelimpungan menjalani hidup sebagai manusia seutuhnya, terutama lima tahun terakhir. Awalnya lulus kuliah dia disibukkan cari kerja, baru kerja satu tahunan tiba-tiba Airin menyerahkan toko bunganya untuk Jani kelola karena kakak sepupunya itu menikah dan dilarang bekerja oleh sang suami, setelah Jani resign dan mengurus florist datanglah pandemi yang membuat usahanya hampir gulung tikar. Wah, perjuangan yang sangat panjang dan melelahkan jika Jani boleh jujur.

Sepuluh kali, bahkan lebih, Jani hampir menyerah. Hampir, karena dia berpikir dia belum sempat berfoya-foya menghamburkan uang untuk kesenangan hidupnya.

"Mbak, pihak supplier tadi ada telfon katanya bunga mawar mereka kena wabah ulat bulu, jadi pada jelek gitu dan kemungkinan cuma bisa ngirim setengah dari biasanya. Gimana?"

Jani menyadarkan diri. Usaha memang tidak mengkhianati hasil. Dirinya boleh saja hampir kehilangan kewarasan beberapa tahun terakhir, tapi peningkatan pesat dari usaha yang dia kelola sangatlah membuatnya bisa tersenyum setiap harinya. Setidaknya setahun belakangan Amortentia berkembang pesat, bahkan juga berani membuka dua cabang baru. Minggu lalu baru aja cabang ketiganya diresmikan.

"Gak apa-apa, Er, daripada gak ada sama sekali. Tapi coba minta ke supplier lain buat nambah barang ya?" ujar Jani kepada Erika, pegawai yang setia ada di sampingnya semenjak Amortentia Florist ada di tangannya.

Erika ini adalah tangan kanan Jani pokoknya. Jani sudah sangat percaya kepada Erika.

Erika mengangguk sambil menuliskan sesuatu di Ipad yang dia pegang. "Oke, Mbak."

"Ada lagi?"

"Itu aja yang paling urgent. Yang lain tadi udah clear kok, gak perlu sampe Mbak Jani," kata Erika. "Oh, tadi Anin ngutang buket bunga buat sempro temen katanya. Kata dia bilangin ke Mbak Jani aja."

Jani mendecakkan lidah. "Memang kurang ajar itu bocah satu."

"Hahaha. Gue liatnya pas dia udah mau keluar soalnya, Mbak. Pegawai lain gak berani ngelarangnya," kata Erika.

"Ya udah, biarin aja. Nanti biar gue urusin di rumah."

"Oke, Mbak," ujar Erika. "Oh ada lagi, Mas Juan nunggu Mbak Jani di luar."

Jani yang sedang membereskan barang-barangnya lantas berhenti. "Daritadi?"

"Iya. Gue udah bilang buat nelfon Mbak Jani aja kalo penting, tapi katanya gak apa-apa dia tunggu aja sampe Mbak Jani selesai kerja."

Helaan nafas spontan keluar dari bibir Jani. Juan itu, terlalu pantang menyerah. Mereka putus nyambung beberapa kali, bukan pacaran ya tapi komunikasinya, mengingat Juan sering banget harus ke luar kota. Tapi ya udah, cowok itu tidak pernah berhenti menyukai Jani, yang malah membuat Jani kelelahan menghadapinya.

Apa menurut kalian Jani hanya terjebak oleh satu laki-laki? Gak. Beberapa kali juga Jani dekat dengan yang lain. Kenalan Airin lah, pelanggannya, pernah juga distributor yang sering mengirim bunga ke toko. Jani menolak semuanya, dengan alasan belum mau pacaran. Klasik, tapi juga bodoh karena beberapa diantaranya sudah sangat mapan hanya untuk diajak berpacaran.

Jani masih belum mau berpacaran. Entah, dia juga ragu-ragu dengan statement ini. Tapi, Jani memang merasa kurang cocok dengan mereka semua untuk diajak menjalin suatu hubungan. Walau dia juga ada sedikit keinginan untuk bermanja-manja dengan ayank, tapi di sisi lain juga rasanya males banget.

Jalan Muda FM ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang