S. We go we go

415 107 67
                                    

Sebuah keputusan selalu diambil berdasarkan akal sehat dan pertimbangan yang matang. Seharusnya. Namun, Jani tidak pernah benar-benar menggunakan pertimbangan yang matang ketika memutuskan untuk ikut Evan ke Solo dalam rangka kondangan di pernikahan sepupu Evan. Tidak pernah mempertimbangkannya dengan matang, karena pilihannya adalah Tante Vita yang ngambek atau mamahnya yang ngambek.

Tante Vita ngambek karena Jani gak mau ikut, sementara mamahnya ngambek karena Jani membantah perkataannya yang menyuruh Jani ikut kondangan ke Solo. Dua-duanya sama aja, membuat Jani gak punya pilihan lain.

Evan tidak pernah memaksanya. Belakangan malah seperti memberi bantuan agar Jani bisa tidak ikut ke Solo, yang membuat Jani agak heran. Dia pikir Evan akan membujuknya ikut ke Solo, tapi ternyata tidak. Ini bukan kecewa ya, Jani cuma bingung aja.

"Berangkat dulu ya, Tante, Om," pamit Evan setelah mencium tangan mamah dan papah Jani dan berpamitan dengan Anin.

Evan dan Jani lantas masuk ke mobil, kemudian memulai perjalanan mereka. Sengaja Evan berangkat malam hari karena katanya besok pagi-pagi sudah harus ikut pemberkatan di gereja, yang mana anggota keluarga pasti harus bersiap lebih awal.

"Tante Vita mana?" tanya Jani begitu mobil Evan mulai bergerak menjauhi halaman rumah Jani.

Evan memandang ke jalanan dengan fokus. "Udah berangkat duluan tadi pagi, naik kereta. Katanya gak mau gangguin kita berdua."

Jani menoleh dengan mata melebar. "Serius? Niat banget sih Tante Vita?"

"Lo gak tau seberapa gigihnya mami dalam melakukan sesuatu."

"Haha. Padahal di mobil juga mau ngapain ya?"

Evan menaikkan alisnya dan menoleh. Wajah Jani yang hanya diterangi oleh lampu-lampu jalan membuat ekspresi cewek itu tidak terlihat jelas, "Lo beneran tanya atau sekedar mancing, Jan?"

Jani ikut menoleh. "Ya.. Beneran tanya? Memang di mobil ngapain?"

Evan terkekeh lalu kembali meluruskan pandangannya ke depan. "Banyak, Jan. Banyak yang bisa dilakuin di mobil. Pegangan tangan, pelukan, ciuman, cuddling or more than that."

"More than what?"

"Dry humping or fuck, I guess?"

"In the car?!"

"Why not?"

Jani meresponnya dengan gelengan keheranan. "Emang gak malu apa diliatin orang? Aneh banget deh."

Evan terkekeh. Tanggapan Jani adalah sesuatu diluar ekspektasinya. Dia tidak berpikir Jani akan meresponnya dengan santai, karena kebanyakan perempuan minimal akan salah tingkah dalam obrolan dengan tema ini.

Tentu saja, Jani bukan salah satunya. Sejak awal, Evan memang mengkategorikan Jani sebegai cewek yang tidak masuk dalam klasifikasi mana pun. Bukan unik, Evan menyebutnya diluar nalar.

"Lo hari ini gak ada siaran emang, Van? Kalo gak salah lo tuh penyiar radio kan?" tanya Jani, kali ini sambil menyalakan radio. "Eh, boleh gue nyalain?"

Evan mengangguk. "Nyalain aja. Siaran gue setiap jam setengah 7 sampe 8 malem, Jan. Hari Senin, Selasa, Kamis, Sabtu.  Frekuensinya 96.5 FM."

"Komplit banget nyebutinnya."

"Dengan harapan lo juga dengerin suatu hari nanti," jawab Evan.

Jani lantas mengotak-atik saluran radio di depannya. Setiap masuk tol begini pasti sinyal radio jadi acak-acakan, padahal Jani mau dengerin 96.5 FM alias radionya Evan.

Sedang sibuk-sibuknya mencari saluran yang bagus, Evan tiba-tiba menginjak pedal rem, membuat badan Jani maju ke depan dengan kepala dan dada hampir membentur dashboard. Dia sudah siap merasakan sakit, tapi Jani tidak merasakannya.

Jalan Muda FM ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang