W. The truth they can't believe

396 93 26
                                    

Dihadapkan oleh program KKN bahkan sebelum libur semester berakhir tentu bukan hal yang begitu menyenangkan. Evan belum sempat liburan, tapi sudah harus pergi ke sebuah lokasi yang sudah diputuskan oleh pihak kampusnya untuk menjalankan salah satu SKS wajib bagi mahasiswa di kampus tempatnya belajar.

Syukurlah tempatnya tidak sehoror cerita sejenis KKN Desa Penari yang bahkan sampai dibuat film dan laris manis di pasaran. Meski Evan tidak penakut, tapi kalau dihadapkan dengan situasi yang seperti di KKN Desa Penari ya jelas Evan tetap akan takut.

Berada satu kelompok dengan Malik membuat hidupnya juga sedikit terjamin. Malik menanggung hampir sebagian besar pengeluaran, sekalian kampanye tipis-tipis ke warga dengan mengatakan bahwa bapaknya Malik adalah anggota DPR (bukan untuk ditiru).

"Sepi bener ya pada balik," ujar Malik menyusul Evan duduk di teras posko KKN mereka.

"Lo kenapa gak balik sekalian?"

"Nanti kamu sendirian dong, sayang?" goda Malik sembari menempel-nempel ke Evan.

Evan melirik jijik. Lokasi mereka gak jauh-jauh amat dari rumah, kebetulan cuma di kabupatennya. Jaraknya paling sekitar 2 jam lah kalau lagi sial, kalau enggak sih 1 jam 30 menit juga sampai. Makanya beberapa memilih pulang ke rumah saat program kerja sedang sepi atau saat weekend.

"Kagak. Di rumah lagi gak ada orang juga, orang tua gue lagi kunjungan kerja ke Sulawesi minggu ini," ujar Malik tiba-tiba sudah memangku gitar.

Evan mengangguk. "Oh."

Evan sendiri gak pulang karena jadwal pulangnya adalah saat siaran radio. Jadi ya sore Evan pulang, pagi udah ke posko lagi. Begitulah, Evan gak dapat ijin dari Kang Bian jika meninggalkan posisi DJ selama sebulan penuh.

"Lagu apa ya kalo buat orang galau?" gumam Malik sembari memetik asal senar-senar gitar di tangannya.

Evan mengerutkan dahi. "Siapa yang galau? Lo galau?"

"Lah, ya bukan lah. Hari gini gue galau?" kata Malik pede. "Elu yang galau kan?"

"Kok gue sih?!"

"Gak apa-apa, gak perlu denial gitu lah, Van. Pura-pura kuat tuh susah, Van, walau gue akui lo keren juga aktingnya."

Evan makin bingung. "Napa sih anjing? Mabok ya lu?"

"Kalo mau nangisin Jani gak apa-apa kok, Van. Gue kalo jadi elu juga nangis dikit," ujar Malik sembari memainkan gitarnya dengan nada acak tapi enak didengar.

Evan menghela nafas. "Sok tau banget dah."

"Tau, Van, gue tuh. Sini curhat aja, Van. Jangan dipendem sendiri, ntar bisa bikin cepet mati."

Evan merenung sesaat.

"Tuh kan, pasti lo tuh nahan banget kan, Van? Emang Jani tuh tega banget, anjing. Apa gak berkaca ya, dulu dia ditinggal cowoknya kayak gimana galaunya," gerutu Malik.

Evan menghela nafas. "Jani tuh anaknya emang stubborn gitu, Lik?"

Malik mengangguk. "Banget, Van. Tapi sebenernya tuh tergantung dia lagi sama siapa. Kalo sama gue, sama si Jamal, atau si Erin tuh beuhhhh gak bisa dibilangin. Tapi sama cowoknya yang dulu, nurut banget Jani tuh. Oh sama si Dimi juga bisa lah nego dikit."

Evan mengangguk-angguk. "Ohhh."

"Eh tapi lo jujur aja dah sama gue, putusnya tuh kenapa? Berantem dan dia gak mau ngalah apa gimana?"

"Enggak."

"Lo yang ngalah dong, Van," cecar Malik. "Maksud gue, lo tuh masa mengatasi Jani gak bisa? Setau gue ini kan trik lo menggaet para wanita."

Jalan Muda FM ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang